Generasi Literat, Jawaban Praktis Hadapi Tantangan Era Disrupsi


Bukan tanpa alasan manusia diciptakan memiliki akal pikiran. Dalam menjalankan fungsinya, manusia pun dikaruniai panca indra sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya. Sedari usia anak-anak hingga dewasa, berbekal akal dan panca indra, manusia tidak berhenti memproses setiap kejadian yang dialami selama hidupnya. Hal tersebut melahirkan banyak pengetahuan yang akan membentuk pola pikir dan sudut pandang. Kenyataan ini pada akhirnya menuntut kecakapan dalam mengelola data. Menurut para ahli, data sendiri adalah keterangan yang benar dan nyata, atau informasi yang diperoleh dari suatu pengamatan, baik itu berupa kata, angka, lambang, gambar, huruf-huruf yang menyatakan suatu pemikiran, objek, serta kondisi dan situasi. Merujuk kepada kalimat pertama, alasan manusia memiliki akal ialah untuk mentransformasi data menjadi keterampilan dalam berperilaku, baik perilaku aktif maupun pasif. Implementasi aktif bisa diwujudkan dengan kemampuan berbicara (orasi), sedangkan pasif bisa dikategorikan pada kemampuan melek wacana (literasi).
Dewasa ini, pembiasaan orasi dan literasi sudah dianggap seperti budaya. Budaya orasi meliputi kebudayaan masyarakat dalam bertutur kata, sementara budaya literasi meliputi budaya baca dan tulis. Literasi merupakan kebutuhan dasar seseorang sebelum berorasi. Oleh karenanya, literasi dalam konteks kebahasaan adalah kemampuan seseorang dalam membaca, menyimak, dan menulis. Seseorang dikatakan literat apabila bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan berbuat sesuatu berdasarkan pemahaman terhadap isi bacaan tersebut. Dalam perkembangannya, dunia literasi tidak hanya dimaknai baca dan tulis, melainkan kemampuan memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Seorang literat diharapkan memiliki kompetensi hidup dan memahami realitas. Jelasnya, seorang literat mesti adaptif dan memiliki sikap bertanggung jawab.
Mewujudkan generasi literat ditengah benturan teknologi bukan perkara yang mudah. Pasalnya, akses informasi menjadi tidak terbendung akibat arus media yang tersebar cepat ke penjuru dunia. Dan menyoal kemajuan zaman, kebutuhan manusia akan semakin kompleks. Memasuki abad ke-21 manusia sudah mampu menciptakan beragam teknologi yang dapat mempermudah pekerjaan. Dengan bantuan tersebut, sebuah alat mampu mengerjakan tugas layaknya seorang manusia, seperti mengambil keputusan, memecahkan masalah, serta menemukan informasi. Perkembangan diatas sudah pasti mempengaruhi dunia secara utuh dalam setiap aspek kehidupan. Perubahan ini memicu berbagai macam inovasi dan merubah pandangan secara masif yang akhirnya melahirkan disrupsi di berbagai sektor masyarakat, utamanya bagi generasi muda.
Disrupsi menurut KBBI adalah hal tercabut dari akarnya. Hal disini dapat diartikan sebagai suatu pergerakan yang tidak lagi linier. Fenomena disrupsi menjelaskan perubahan besar-besaran terhadap sistem dan tatanan fundamental menuju pola yang baru. Sebagai contoh, munculnya media digital yang lebih praktis menggantikan media cetak untuk menyebarluaskan data. Menurut Survei Status Literasi Digital Indonesia tahun 2022, hanya 1,8% dari responden yang masih mengakses berita melalui media cetak, sisanya melakukan pencarian melalui media sosial. Hasil ini membuktikan disrupsi telah merubah kebiasaan lama menuju kebiasaan baru.
Persoalan berikutnya yang perlu diperhatikan yaitu, penyebaran berita melalui media tidak memiliki keteraturan alias abstrak. Semua maklumat bisa ditulis dan diunggah untuk kemudian diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Adalah mungkin pemuatan isi berita mengandung kebenaran atau kebohongan yang menyebabkan disinformasi dalam memperoleh berita. Pertanyaannya, sudahkah kita memiliki prinsip ideal ketika bertempur melawan arus deras informasi? Garis besarnya, penulis menjawab bahwa perlunya menjadi literat untuk bisa bertahan mengikuti rentetan disrupsi yang sudah dan akan terus terjadi.
Gee, seorang pakar linguistik Amerika Serikat memaparkan menjadi literat berarti mengetahui lebih dari sekedar membaca dan menulis. Menurut pendapatnya, literasi adalah konstruksi sosial, dimana literat memiliki makna mampu memproduksi, menginterpretasi, dan memahami dengan baik kebutuhan sosial yang berbeda-beda. Ia juga menambahkan poin dari literat yakni kemampuan dimana kita bisa mengerti secara dalam suatu persoalan bahkan mempertanyakannya. Sederhananya, apabila seseorang mulai menanyakan hasil dari interpretasi dirinya setelah menerima sesuatu, ia telah berhasil disebut sebagai literat.
Dalam konteks diatas, penulis akan memberikan contoh kecil bagaimana konsep literat bisa diaplikasikan guna mengarungi era disrupsi. Sudah menjadi fakta umum bahwa sekarang manusia semakin difasilitasi dengan adanya teknologi kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence). Dimulai dari layanan serba online seperti transportasi, belanja, bahkan kebutuhan pendidikan maupun finansial. Munculnya sistem kuliah daring yang menawarkan belajar di rumah tanpa bepergian merupakan kejadian nyata perubahan zaman. Dilengkapi dengan fitur aplikasi penunjang belajar, kita semakin dibuat mudah melaksanakan proses belajar mengajar.
Namun, perubahan selalu menghasilkan dampak positif dan juga negatif. Penelitian mengungkapkan tidak terbatasnya akses ternyata dapat memicu kemalasan berpikir, keinginan instan juga kelemahan emosi. Jika efek negatif disamping terjadi secara domino, maka sudah dipastikan sebuah generasi akan mudah jatuh dan cenderung kalah bersaing. Akibatnya, ketidakmampuan dalam merespon perubahan menghasilkan produk gagal yang jika dibiarkan terlalu lama, akan berdampak pada kemunduran. Manusia-manusia yang hanya menginginkan hasil instan, menelan bulat-bulat transisi dunia tanpa mengolah terlebih dahulu dapat dibenarkan ia tidak memiliki pola pikir literat. Seperti halnya pelajar yang selalu disodorkan bahan pembelajaran, apabila ia menggunakannya untuk proses mencerna ilmu dengan membaca betul-betul, menelaah dan mencari jawaban atas ketidaktahuan dirinya, usaha ini akan membentuk karakter yang berhati-hati dan tegas. Sebaliknya, ketika tidak pernah mendalami suatu keilmuan, akan tetapi hanya membaca ringkasan atau bahkan ulasan singkat di media sosial, kebiasaan ini akan melahirkan sosok yang mudah terpengaruh dan rentan terkena gangguan mental.
Maraknya pengidap gangguan mental bisa diakibatkan kurangnya panduan menjadi literat dalam mekanisme pengelolaan emosi. Tidak mampunya seseorang dalam bereaksi terhadap dinamika perkembangan dunia dapat mengundang pikiran stress, cemas berlebihan (anxiety), gelisah dan ketidakstabilan. Dalam hal ini, manusia harus arif, meletakkan kebutuhan dirinya sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Pengertian sebagai makhluk biologis, menyadarkan manusia akan kodratnya yang dapat menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Makhluk sosial menumbuhkan kesadaran akan pengorganisasian manusia sebagai modal sosial. Jadi, kemajuan zaman perlu diimbangi untuk membentuk tatanan sosial (Fukuyama, 1999).
Pernyataan diatas akan berseberangan apabila manusia tidak sanggup mengontrol dirinya. Bahwa kreativitas dan inovasi diperlukan untuk menjembatani antara kemampuan diri dan perkembangan zaman. Menurut Christenssen (1997) perubahan melalui inovasi menjadi sebuah keniscayaan yang mutlak harus dilakukan. Dengan demikian, menjadi seorang literat dirasa sangat ideal dalam menghadapi perubahan apapun dari masa ke masa.
 Pada akhirnya, untuk mendapat pemahaman seorang literat dapat dirumuskan dalam tiga hal, yakni memiliki kemampuan literasi dasar, mampu berkompetensi, dan mempunyai karakter yang berkualitas. Jika dirincikan, literasi dasar memiliki enam aspek, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewarganegaraan. Setelah menguasai literasi dasar itulah seorang literat diharapkan mampu mencapai empat komponen penting, yaitu kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi dan kolaborasi. Sehingga dampak besar dari budaya literasi adalah meningkatnya kualitas seseorang menjadi lebih religious, nasionalis, mandiri dan berintegritas. Tidak peduli dunia berubah sedemikian rupa, seorang literat dipercaya mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia dinamis dan modern serta menjalani peranan penting sebagai makhluk yang diamanahi untuk mengatur alam semesta.

Wallahu a’lam bish shawaab.


Oleh: Amanda Dheazeta
(Juara 1 Lomba Menulis Esai El-Nilein Festival 2023)
Sumber gambar: inc.magazine
Universistas : IUA



Gee, J.P. (2015). Literacy and Education. New York, NY: Routledge.
From.m.kumparan.com. (29 September 2021). Siapa sih orang yang disebut literat? Diakses pada 7 Februari 2023 pada https://kumparan.com
Handayani, Sri Ana (2020) Humaniora dan Era Disrupsi, Vol. 1 No. 1, hlm 10-12.




Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak