Kejadian itu tak pernah kulupakan, sungguh peristiwa yang kadang terngiang-ngiang dalam pikiranku, membuat tubuhku kaku dan keringat dingin, juga meneteskan air mata. Aku melihat dengan mata kepalaku tak kuasa menahan diri, seorang yang sedang berbaring menhadapi sakaratul maut, dan aku hanya bisa menatapnya dan berzikir. Di samping itu juga banyak orang yang mentalkin dua kalimat syahadat.
Pada beberapa hari yang lalu tepatnya di bulan Ramadan. Setiap kali aku liburan sekolah, biasanya aku mengikuti agenda tahunan yaitu pasantren kilat, sekaligus iktikaf di masjid daerah kota Garut, Jawa Barat. Pada saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Di sana aku banyak belajar hal-hal yang bermanfat; mengaji pagi dan petang, bertani, dan masih banyak lagi.
Tibalah sepuluh hari terakhir Ramadan, jemaah pengajian berdatangan dari berbagai kota untuk melaksanakan ibadah iktikaf, tak kusangka masjid ini penuh. Nah, ada salah satu jemaah jauh-jauh dari Kalimantan, ia sengaja membawa anak dan istrinya untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah, sebut saja pak Amin namanya. Pak Amin adalah seorang yang dikenal baik akhlaknya dan dia salah satu dai di kampung halamannya.
Malam itu terasa sangat dingin, angin berhembus dengan kencang karena masjid yang kita singgahi berada di daerah pegunungan, wajar saja kalau sangat dingin, aku yang duduk di dalam masjid berbebekal selimut dan secangkir teh hangat, sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sampai salat tahajud berjamaah tiba.
Subuh pun tiba, setelah menunaikan salat subuh berjamaah biasanya kami mengadakan tadabur Al-Qur’an sampai syuruk. Saat pengajian berlangsung ada seseorang yang bersila dan membungkukkan badannya, dalam kedaan kaku karena udara yang sangat dingin, dan “Ya Allah... ternyata pak Amin!” akhirnya salah satu orang ada yang menyediakan tempat untuk pak Amin beristirahat.
Ketika pak Amin sedang berbaring dia tak kuasa menahan rasa sakit dengan penyakitnya yang selama ini dideritanya. Dia hanya mengucapkan “Allah, Allah, Allah...” sambil terengah-engah saat bernapas.
Kemudian pak Amin memanggil salah satu ustaz yang ada di masjid itu, sebut saja pak Abdul, dan berpesan padanya “Pak, tolong jaga anak dan istri saya,” Kata pak Amin sambil menahan rasa sakit. “Baik pak, insya Allah bapak kuat,” ujar pak Abdul sambil meneteskan air mata.
Di balik sitar shaf salat ada istri dan anak perempuannya yang masih kecil, menangis dan mejerit sambil memanggil “Abi... abi... abi... jangan tinggalin aku.” aku pun yang mendengarnya ikut menangis, setelah kalimat syahadat diucapkan, akhirnya pak Amin menghebuskan nafas terakhirnya, denyut jantung dan nadinya pun tak berdetak lagi. Anak dan istrinya harus merelakan kerpergian pak Amin “Yang sabar, Bu. Insya Allah bapak husnul khatimah,” ujar pak Abdul sambil menahan tangis.
Menjelang beberapa jam kemudian aku melihat kejadian yang luar biasa, yang membuat kami semua terkejut, tiba-tiba pak Amin melontarkan kalimat “Sungguh surga dan neraka benar adanya maka bertakwalah kepada Allah!” tak lama kemudian pak Amin muntah darah dan akhirya sadarkan diri. “Subhanallah...!” keluarga pak Amin pun menghampiri pak Amin yang sedang berbaring dalam keadaan lemah tak berdaya.
Setelah kejadian itu, kami pun melaksanakan kegiatan iktikaf di sisa sepuluh hari terakhir Ramadan seperti biasa. Aku berharap dengan kejadian yang menimpa pak Amin menjadi pelajaran untuk kita semua.
Ketika dirimu diberikan kesempatan hidup yang kedua, apa yang kamu perbuat? apakah jadi lebih baik atau masih terlena dengan dunia yang fana ini?
Oleh: Muhammad Royyan Hidayat
Sumber ilustrasi: Kompas.com
0 Comments
Posting Komentar