Lalu lalang orang-orang yang hendak kembali ke rumah setelah festival itu, menemaninya untuk semakin yakin melepaskan segala kesedihan. Saat itu juga. Ia sudah tidak peduli apa kata orang. Ia tak akan menganggap hal-hal yang membuatnya tertekan semakin menekannya. Ia ingin melepaskannya.
Entah sudah hembusan nafas dalam ke berapa dan entah berapa lama ia sudah memejamkan mata, nampaknya ia sudah benar-benar memutuskan untuk melepas. Sudah terbayangkan di genggaman tangan nya, sebuah harapan yang dipegang erat, seperti menggenggam tangkai bunga yang harum semerbak aromanya.
Esok, ketika ia kembali ke kampung halamannya yang dipenuhi salju, ia ingin memandang orang-orang yang dijumpainya dengan senyum merekah tanpa ada kepalsuan. Di sebuah gang kecil, lampu temaram kuning masih berpijar menaungi kedai mie mungil. Sembari melahap, imajinasi di dalam otaknya terus menari. Menari dengan riang gembira. Hari esok, baginya adalah hari untuk memulai kehidupan barunya. Hari-hari suramnya yang tak kunjung berhenti, seakan hanya kegelapan yang menolak cahaya. Begitupun keputusasaan yang tak menerima harapan, esok tidak akan demikian
Ia kembali ke rumah. Keseruan festival tadi masih menyisakan kebahagiaan. Bayang-bayang binar kembang api yang meluncur ke langit terlihat seperti pancaran kebahagiaan baginya. Ia merebahkan diri dikasur. Menatap keluar jendela. Menyimak bintang-bintang. Ia seperti menyusun ribuan bintang dilangit. Menyusunnya seperti ia menyusun kenangan pahit masa lalunya. Ia susun supaya ia percaya diri untuk melangkah kedepannya. Entah akan jadi apa susunan bintang-bintang itu. Matanya berpaling ke bulan. Ia berucap syukur kepada pencipta langit dan bumi. Bersyukur atas Sang Pemberi Harapan. Sang Kasih. Maha Menyayangi. Ia kembali memutar memori suram yang telah lalu. Sempat ia berpikir untuk pergi menjauh dari kerumunan orang. Lalu ia berpikir dunia yang ditinggalkannya akan baik baik saja. Sebuah dunia tanpa ia didalamnya. Namun kini, pikiran itu sudah ia campakkan. Ia buang sejauh-jauhnya. Hal yang ia ingin peluk sekarang, yang ingin ia jaga, yang ingin ia pelihara, tak lain dan tak bukan, adalah harapan.
Musim ini, adalah musim panas terakhirnya di kota ini. Kota yang membimbingnya kepada keyakinan. Kota yang pernah membuatnya sesak oleh banyak hal. Tapi juga kota yang akhirnya membantunya menemukan harapan. Meski musim dingin yang kaku dan bisu. Meski hujan deras mengguyur. Di dalam benaknya kini, tak ada musim dingin yang tak menjumpa musim semi. Tak ada hujan yang tak berhenti. Tak ada kepahitan dan kesengsaraan yang terus bertahan. Pada musim panas terakhir ini, ia ingin ucapkan terimakasih. Kepada semua hal baik. Kepada setiap cahaya. Karena di musim panas berikutnya, hidup yang lebih berarti sudah menantinya.
Ia memasang headset di telinga. Menekan tombol play pada platform musik ponselnya. Hikaru Nara, sebuah lagu dari Goose House membuatnya semakin yakin akan keputusannya.
"Jawabannya apakah selalu kebetulan? Ataukah tak terelakkan?
Jalan yang kau pilih itulah, yang akan menjadi takdirmu. Harapan dan kegundahan yang kau genggam erat itulah yang akan menjadi cahaya penggerak hati kita berdua."
Lirik yang sangat memberikan arti baginya. Ia terpejam. Tertidur. Bersama dengan keindahan mimpinya. Meskipun ia tahu, pada harapan yang ia langitkan, pada keputusan yang ia tanamkan, akan ada kerikil penyesalan yang siap sedia membersamai. Namun kini ia tahu cara memeluk penyesalan sedikit demi sedikit.
*Cerita diatas hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan pengalaman harap dipendam.
Sumber ilustrasi: twitter @akinecoco987
Oleh: Muhammad Hasan Albanna
University of the Holy Quran
0 Comments
Posting Komentar