Hujan dan Harapan

 

    Terlihat lamunan seorang tunawisma dengan pakaian compang-camping tengah duduk termenung di sebuah batu di pinggiran jalan kota, sembari meletakkan jejarinya di pipi dengan bertumpu siku di paha. Menatap kebisingan di depannya dengan basah kuyup, seakan air tak bisa membuatnya berlarian dan kedinginan.

 

Lamunan itu menggambarkan sebuah harapan kecil di tengah kehidupannya sekarang.

 

Aku membaca lamunan orang itu, di balik jendela dengan lampu kuning di atas kepalaku, mendengarkan suara desing mesin kopi yang bercampur aduk dengan ocehan orang-orang di belakangku. Seketika aku berfikir, mengapa dia tidak meminta lebih kepada Tuhan, yang bisa membuatnya kaya dengan segala harta dunia.

 

Nampak jelas di mataku sebuah harapan di atas kepalanya, tentang dirinya yang hanya ingin memiliki tempat bernaung walau seluas dua kali tinggi tubuhnya, memiliki kehidupan statis seperti kebanyakan orang di kota ini, makan setiap hari dan melakukan kegiatan yang sama sepanjan tahun. Sesederhana itu.

 

Hujan memang waktu terbaik untuk berharap dan mengkhayal. Ajaib, apa yang kita bisikan dalam hati mungkin saja bisa terkabul tanpa nanti. Begitulah yang kudengar dari orang-orang setempat. Dalam hujan ini aku menitipkan sebuah harapan kecil, andai aku bisa membantu orang itu mewujudkan harapan kecilnya. 

 

Aku pun beranjak, meninggalkan segelas kopi yang kini tinggal separuhnya. Terdengar suara kendaraan bermotor yang semakin merasuki telingaku dengan kasar ketika aku membuka pintu. Angin berhembus kencang seakan berbicara kepadaku jika harapan seseorang akan terkabul. 

 

Kututup mulutku dengan masker, berlari menuju orang tunawisma itu, membawa beberapa dompet dan tas yang kupinjam tanpa kata. Suara-suara orang berteriak mulai terdengar menyibak derasnya hujan. 

 

“Copet! Itu kejar copetnya!” 

 

Semua orang berlari mengejarku, hingga sampailah aku di depan wajah tunawisma itu, “Ini ada sedikit oleh-oleh untukmu, sekarang berlarilah, akan ada baku tembak!”

 

Tak disuruh dua kali, orang itu berlari sambil menggenggam dompet dan tas yang telah kuberi seutuhnya. Tapi sayang, dia berlari seperti kuda yang tak diberi makan. Aku pun lolos, menyisakan dia yang telah dikerumuni banyak orang. 

 

***

 

Matahari perlahan naik, bau tanah yang bercampur air merasuk ke saluran udara rumahku, suara ayam berkokok mulai terdengar. Aku beranjak, memulai hari, menyeduh kopi panas pertamaku di hari ini. Kunyalakan televisi, berita pagi ini. Seorang reporter wanita di dalamnya melaporkan adanya pencurian semalam. Kulihat lamat-lamat foto di berita itu. Hey, itu orang tunawisma semalam?

 

“Tadi malam ada copet, hati-hati ya kalau keluar rumah,” sela Ayahku. “Ada-ada saja orang jaman sekarang, itu copet kayaknya kena sembilan tahun penjara.”

 

“Iya, Yah.”

 

Ayahku pun pergi, sembari mengantungkan pistol di pinggang dan mengencangkan lencana di seragamnya. Aku menatap harapan ayahku di atas kepalanya, melihat diriku sendiri dengan seragam sepertinya.

 

Aku hanya tersenyum tipis, mengingat kata orang-orang tentang hujan yang bisa mengabulkan harapan. Lihatlah, sekarang tunawisma itu punya tempat bernaung dan diberi makan setiap hari, pun dengan kegiatan statis yang diharapkannya.

 

Malam itu dua harapan telah terkabul. 

 

 

Oleh: Muhammad Yusuf Zakaria Zahir Zulkifli Ali

Mahasiswa International University of Africa

Sumber ilustrasi: Wallpapers.com

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak