Sepertinya kejadian itu masih tersimpan rapi di album drive milik bersama. Kalau bisa disebut ia tiada terulang sebab hanya tinggal lembaran-lembaran drive yang boleh kumuh dan usang, boleh dibaca asal jangan tersulut emosi, cukup tandai saja orang-orang yang begini. Barangkali lembaran tadi menjadi bukti bahwa masih ada orang yang berlagak sosialis namun otak kapitalis tak lagi idealis, karena terseret jiwa borjuis.
“Sebenarnya kau ini aktivis?”
Balkon yang tadinya sunyi terpecah oleh pertanyaan Abil pada Andik. Namun Andik tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia hanya tertawa dengan senyum yang di kernyitkan dekat bibirnya itu.
“Mengapa kau hanya tersenyum, ndik?” tanya Abil sembari membalik halaman dari album drive di handphone nya.
“Ya, seperti itulah ndik. Terserah kau mau sebut aku ini apa, aktivis atau sebutan lainnya. Memang pada masa itu, aku dan teman-teman hanya ingin mengeluarkan unek-unek kami. Dan kami merasa perlu bertindak atas matinya demokrasi pada saat itu.”
“Gaya bicaramu memang mirip betul dengan orang idealis. Dari album drive ini, dan beberapa tulisanmu di facebook, aku agak heran kau malah memilih kuliah di negara arab. Harusnya kau lebih cocok berkuliah di Indonesia saja, yang penuh dengan gerakan kemahasiswaan.”
“Ya mungkin inilah garis hidupku yang mencerdaskan bangsa melalui hal spiritual.”
“Kalau menjadi inisiator kepengurusan mahasiswa baru? Kau merasa tertarik?”
“Kalau menjadi pembimbing mahasiswa baru godaannya sangat besar. Sistem yang amburadul membuat idealisme mati. Sangat sulit untuk mengubah sistem yang sudah terlanjur hanyut itu.”
“Maksudnya?”
“Ada beberapa kasus tentang kepengurusan maba, yang dinilai sangat kotor. Contoh, adanya dana yang diminta berkali-kali kepada maba dengan alasan untuk mengurus ini dan itu tanpa perincian yang jelas, tanpa pembuktian yang jelas. Ada juga maba yang dimintai beberapa uang tambahan untuk upah pembimbing, padahal di setoran pertama sudah ada bayaran untuk itu, dan yang lebih parah, ada maba yang dimintai bagasinya oleh pembimbing berkilo-kilo tanpa bayaran!”
“Heran, padahal mereka itu sudah dapat upah dari uang yang disetorkan. Tapi tetap saja lapar sama uang maba. Apa mereka nyaman dengan uang yang statusnya seperti itu?”
“Ya, semua kembali ke pandangan masing-masing. Memang subjektif. Mungkin dengan upah jasa tadi itu belum cukup bagi mereka. Jadi, ya apa boleh buat? Mereka berbuat sesukanya. Aku bukan ngeyel karena banyak mempertanyakan, tapi hanya mencoba bersikap yang tepat. Bayangkan saja, seorang pembimbing mahasiswa baru menarik uang di luar rincian dana yang dikirimkan, dan itu masuk kantong pribadi, tidak pantas kah untuk dikritik?”
“Sebenarnya masih banyak lagi, hanya saja aku malas membuka memoar itu kembali."
“Tapi kau menjadi dibenci oleh pembimbing itu dan semua dedengkot nya.”
“Ya, itu konsekuensi. Itulah yang dinamakan sistem yang masih amburadul. Banyak orang idealis yang luntur idealismenya karena masuk ke dalam sistem seperti itu. dan juga aku pernah bertemu dengan beberapa orang. Kata mereka, idealisme itu semakin tua semakin berkurang dan ini benar-benar pas dengan kata Tan Malaka bahwa “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda." Makanya dulu banyak aktivis mahasiswa yang kini menjadi pengurus ini dan itu atau malah menjadi pejabat, sudah berani memonopolikan uang. Karena idealisme mereka luntur. Dulu mereka berkoar-koar tentang demokrasi, tentang korupsi, eh setelah jadi pejabat sungguhan malah dirinya sendiri yang kemakan omongan sendiri.”
“Memang perasaan dikhianati, ditipu dan lain sebagainya, pada akhirnya melahirkan krisis kepercayaan pada saat ini. Manusia memang sulit lepas dari masa lampaunya. Apa yang dialaminya dan yang dilihatnya akan selalu berbekas pada dirinya. Bekas-bekas ini akan selalu membersamai hidupnya. Takutnya jika korban-korban pengkhianatan dan pembohongan ini membekas sangat dalam pada diri, maka akan terjadi yang namanya pengulangan historis. Apa yang orang lakukan pada mereka dahulu, akan mereka lakukan juga untuk orang-orang setelahnya dan begitu seterusnya.”
Dan terakhir, saya berharap kepada para penggerak, pembimbing dan pengurus mahasiswa baru atau apalah namanya itu, saya masih dengan kepercayaan saya dan beberapa kawan-kawan yang lain bahwa transformasi itu pasti, dan para calon-calon intelek hanya dapat terbit dari gerakan moral, intelektual, dan spiritual. Gerakan kita sekarang lah yang menentukan apakah calon intelek tadi muncul sebagai risalah atau malah audiensi sana sini tanpa aksi.
Oleh: Abdul Aziz
Mahasiswa International University of Africa
Sumber ilustrasi: Instagram @ziabdza
0 Comments
Posting Komentar