Aku
menyusuri kota kecil yang sedang di sapa senja keemasan. Langkah kecilku
melewati pedagang-pedagang asongan dengan wajah lelah yang masih tersenyum
mendorong gerobak, laki-laki paruh baya yang tampak berdiri di pinggir jalan
sambil mengenggam baju abaya yang kentara sesekali merayu manusia yang lewat
untuk melirik dagangannya, aku bahkan ikut tersenyum saat beberapa tukang ojek
melintas sekelabat, buru-buru pulang tidak sabar sebab hidungnya sudah mencium
bau masakan lezat istrinya. Tukang-tukang ojek yang sadar dengan tarikan
bibirku, mengerem mendadak, takut-takut ada gadis remaja setengah gila yang
senyum tanpa sebab.
Terminal Ibu
Kota ramai, seramai hatiku yang sejak tadi memperhatikan wajah laki-laki yang
berjuang melintasi kerasnya hidup. Wajah-wajah lelah dengan keringat samar yang
tampak di dahi keras mereka, mengingatkanku pada seorang laki-laki, yang kini
bayangannya sempurna tenggelam di pikiranku. Memanggil rindu.
Aku menaiki
bis dengan warna yang sama, di pangkalan yang sama, dengan kernet yang sama,
duduk di kursi yang sama; di pinggir jendela yang langsung menghadap langit
dengan penduduk bumi yang selalu hiruk-pikuk dengan hidupnya.
Tring!
Bunyi pesan
masuk terdengar dari ponselku. Tanganku merogoh saku rok tempat benda pipih itu
sejak tadi diam membisu.
Halo Purnama Kedua Belas,
Panjang
umur! Laki-laki yang tadi bayangannya tenggelam dalam pikiranku mengirim pesan.
Dan kali ini pikiranku mengingat, sejak kapan sosok itu memanggil namaku dengan
panggilan indah; purnama kedua belas.
***
Lobi bandara
di penuhi manusia yang hilir mudik. Gadis kecil berkepang dua yang sejak tadi
tidak paham dengan gelagat mamanya yang tiba-tiba mengajaknya ke bandara sudah
lupa dengan kejanggalan itu. Dia bahkan sudah lupa kalau beberapa hari lalu
merengek bilang rindu pada satu sosok dalam hidupnya. Sekarang ia sudah asyik
lari-lari bersama teman-temannya yang juga melapor kalau ibu mereka tiba-tiba
mengajak ke bandara. Sama-sama misteriusnya. Sama-sama anehnya seperti mamanya.
“Rembulaan
…” Salah satu temannya meneriaki namanya.
Gadis
berkepang dua itu tanpa di panggil dua kali sudah berlari mendekat. Temannya
menujuk jendela besar yang menampilkan manusia yang sedang mengantri koper di
hadapan sebuah mesin deteksi besar.
“Liatt!
Keren kann! Mesinnya bisa ngeluarin koper sendiri ..” Temannya berteriak itu
tepat di kupingnya.
Rembulan
ingin marah, bilang kalau temannya tidak boleh teriak-teriak begitu karena itu
bikin kupingnya sakit. Tapi tidak jadi karena gadis berkepang dua bernama
Rembulan itu juga sudah takjub dengan hilir mudik manusia di balik jendela,
sedang mengantri koper-koper keluar dari mesin deteksi besar yang belum pernah
dilihatnya.
“Kalau kita
bisa masuk, kita bisa liat pesawat langsung,” Rembulan menoleh ke temannya, dia
menunjuk pintu masuk yang sedang di jaga oleh dua sekuriti berbadan besar.
“Emang kamu
tahu dari mana kalau ruangan ini bisa nganterin kita liat pesawat?”
Rembulan
menunjuk papan tulisan di atas mereka ‘Pintu
Kedatangan Internasional’. Itu tandanya mereka sedang berhadapan dengan
hiruk pikuk manusia yang baru saja datang dari berbagai belahan dunia. Naik
apa? Tentu saja naik pesawat.
“Wah iyaa …”
“Nah coba
kita cari dulu di mana arah biar bisa liat pesawat langsung, “ kata Rembulan.
Ia menempelkan wajah bulatnya ke jendela besar, mencari di mana ia dan temannya
bisa menerobos masuk untuk lihat pesawat.
Tok … tok … tok
Belum juga
lama melancarkan misi observasinya, seorang laki-laki mengetuk jendela tepat di
hadapan wajah bulatnya yang menempel sempurna. Rembulan terlonjak kaget. Sontak
dijauhkan wajahnya itu dari jendela yang sudah berembun karena hembusan
nafasnya.
“Hai
Rembulaan …” Laki-laki itu menyapa ramah. Rambulan tidak dengar, tapi ia bisa
membaca mulut laki-laki itu yang fasih menyebut namanya.
Rembulan
melongo. Beberapa detik, laki-laki itu tetap melambai, menyisakan Rembulan yang
susah payah mengumpulkan ingatannya tentang sosok itu.
“Apa bener?”
Gadis
berkepang dua itu bergumam sambil tetap mematung. Kali ini satu nama sekelabat
muncul. Tapi dia tidak yakin. Bukannya laki-laki yang lewat dalam pikirannya
itu sedang di negeri yang jauh? Bertahun-tahun belum muncul? Alih-alih menjawab
sapaan ramahmya, Rembulan langusng berlari menjauh, meninggalkan laki-laki yang
memberinya senyum hangat di balik jendela besar itu.
“Maa ..
Mamaa … Mama mana?” Tubuh kecilnya merengsek melewati lalu-lalang manusia di
bandara.
“Maa …
Penting Ma …” teriakannya membuat beberapa orang menoleh, mata indahnya sudah
mulai berair. Teringat beberapa hari lalu, satu sosok muncul di mimpi tidurnya,
namun saat ingin direngkuh, Rembulan keburu bangun.
“Maa ...”
Gadis kecil itu yang melihat sosok mamanya, langsung menghambur di tubuhnya.
“Ma, Aku tadi liat orang mirip Papa di sana, Ma. Beneran, Ma! Ayo Ma, nanti
orangnya keburu ilang.”
Kali ini
Rembulan menangis. Menarik tangan mamanya keras. Ia ingin mamanya memastikan
kalau itu memang papanya yang sudah bertahun-tahun hanya di temuinya lewat
panggilan suara.
“Rembulan …”
Suara itu lagi.
Gadis kecil
berkepang dua itu menoleh. Laki-laki yang tadi menyapanya di balik jendela
berjalan mendekat.
“Papaa …”
Kali ini ingatannya tentang sosok itu utuh sudah. Seutuh purnama. Langkah
kecilnya berlari mendekat, melompat ke dalam pelukan laki-laki yang di
panggilnya Papa. Mamanya mengikuti di belakang, misi memberi kejutan gadis
kecilnya yang banyak bertanya itu berhasil sudah.
“Halo Rembulan, kaget nggak?”
Laki-laki itu menyapanya sekali lagi.
Mata bekas
berair menangis itu mengangguk. Teramat terharu menyaksikan pertemuan putri dan
papa yang terpisah bertahun-tahun itu. Senja yang membungkus kota pergi, menyisakan
malam yang menyelimuti dengan purnama yang menggantung di langit.
Laki-laki
itu menatap mata putrinya yang berkilau indah di depannya, “Sejak kapan putri
Papa punya tatapan seindah itu?”
“Tatapan
apa, Pa?” Rembulan tidak mengerti.
“Rembulan
pernah melihat cahaya purnama di bulan kedua belas? Tatapan Rembulan secantik
itu ternyata. Tetap jadi perempuan yang indah seperti purnama. Bahkan walaupun
tidak tersentuh, tetap memberi keindahan untuk sekitar. Besok lusa kalau
Rembulan sudah besar, Papa mau buat puisi judulnya Purnama Kedua Belas, spesial
buat Rembulan,” jawab Papa.
***
Aku
menghembuskan nafas saat cerita purnama
kedua belas itu selesai di putar otakku. Bis kota yang kutumpangi sejak
beberapa menit lalu sudah melaju, menyisakan deru roda pelan dan suara AC yang
berdesis. Aku melihat pantulan mataku lewat jendela bis yang berembun. Mencari
benarkah ada cahaya purnama kedua belas
tenggelam di sana? Apa pancaran itu memang hanya bisa di baca oleh
laki-laki yang memanggilku dengan nama yang terlalu indah itu?
Aku membuka
pesan dari Papa, benar saja, ada puisi di sana, berjudul Purnama Kedua Belas.
Engkaukah itu purnama kedua belas,
yang tenggelam dalam mata putriku
menunjukkan jejak-jejak pulang
bersekutu dengan rindu
Engkauhkah itu purnama kedua belas,
yang bersemayam dalam mata putriku
membuat rapuh bertemu utuh,
yang menenggelamkanku di dasar sinarmu
Aku tersenyum membaca puisi yang ditulis Papa, sesuai janjinya pada gadis kepang dua dulu di bandara. Pandanganku beralih ke luar jendela. Di luar sana senja sudah digantikan dengan malam, menampilkan purnama yang menggantung indah. Seindah tatapan yang tenggelam dalam mata si purnama kedua belas.
Faradilla Awwaluna Musyafa'
Mahasiswi International University of Africa
Sumber ilustrasi : Pinterest
0 Comments
Posting Komentar