Jejak Mamak


            Telepon itu terus berdering, sudah kesekian kalinya ia berteriak meminta untuk diangkat. Namun si empunya masih asik terlelap dalam ranah mimpi. Padahal biasanya ia tak pernah senyenyak ini dalam tidurnya. Seakan semesta ingin membuat dirinya terlelap lebih jauh lagi dalam mimpi yang sangat indah. Mimpi yang terasa nyata itu memecahkan celengan rindu yang telah lama ia pendam. Kepulangannya di tanah air, menatap teduh wajah mamaknya yang mulai menua. Nyatanya ia sudah merantau cukup lama dari tanah air.

            Namun, suara telepon yang terus berdering itu akhirya berhasil menghancurkan mimpi pemiliknya. Dengan setengah sadar ia meraih gawainya. Masih jam tiga pagi waktu Sudan. Notifikasi dua puluh panggilan tak terjawab membuatnya terbangun seratus persen. Entah mengapa ia memiliki firasat buruk soal ini.

Sekali lagi gawaiku berbunyi, tertulis di sana ‘Abang Jahil’. Firasat burukku semakin meningkat. Tak biasanya abang menelepon. Menjawab chatku saja aku sudah sujud syukur. Ini? Malah menelepon. Aku takut, sungguh aku takut. Aku belum siap dengan hal ini.

            Aku terus-terusan beristighafar dalam hati sembari menyakinkan bahwa ini bukanlah hal buruk.  Dengan mengumpulkan segenap keberanian, aku mengangkat panggilan itu. Terdengar suara abangku yang sedikit parau. Entah apa yang sedang terjadi di sana.

            “Tumben bang menelpon. Ada apa?” aku tak mau berlama-lama dalam kegelisahan. Aku tak mau berimajinasi buruk terlalu lama.

            “Adik mau pulang, nggak?” aku tersentak kaget. Aku tahu ini sudah pasti kabar buruk. Aku tahu ini bukanlah kabar bahagia. Aku tahu inilah saat aku untuk kuat.

            “Bang, sebenarnya ada apa, Bang? Mamak sehat kan?” aku teringat mimpiku yang sangat indah itu. Mimpi ketika aku memeluk mamaku di bandara Soekarno Hatta. Ketika aku menyentuh tangannya yang mulai keriput. Senyum mamak yang begitu teduh, semua terasa nyata bagiku. Atau jangan-jangan itu sebuah tanda.

            “Dik, mungkin Allah sudah ngasih adik kabar dulu ya? Abang jadi lebih tenang. Iya dik mamak sehat. Amat sehat malah. Saking sehatnya mamak udah nggak akan nangis lagi nahan rindu ketemu adik". Deg, aku terdiam cukup lama mencoba mencerna apa yang abang katakan padaku.

            “Hah? Gimana bang? Gak nahan rindu lagi?” aku masih bertanya-tanya atau lebih tepatnya memastikan sembari berharap tentang sebuah keajaiban.

            “Iya, kan bisa liat adik sepuasnya dari langit. Nanti, jangan lupa sholat ghoib ya dik.”

            “Abangggg…” Suaraku bergetar hebat. “Abang bohong, kan?”

            “Pemakaman nanti jam sebelas. Nanti abang telepon lagi, ya. Adik tenangin diri dulu”.

            Duniaku seketika gelap, buram bayangan-bayangan mamak ada di mana-mana. Teringat ribuan kesalahanku padanya. Tentang aku yang jarang mengabarinya. Yang berkata sedikit acuh soal kekhawatirannya. Tentang aku yang masih mengeluh soal ini dan itu. Padahal baru tadi aku mimpi tentangnya. Ah, siapa sangka dalam mimpi itulah terakhir kali aku bertemu dengannya. Air mataku masih aja mengalir. Dadaku terasa sesak. Membayangkan tentang apa yang terjadi setelah ini.

            Siapa yang akan bertanya tentang keadaanku lagi? Siapa yang bisa aku ceritakan tentang semua hal lagi? Siapa yang akan menjaga adik-adikku di rumah? Siapa yang akan memasakkan untukku ketika aku pulang nanti? Siapa yang akan kupeluk nantinya? Ya Allah, aku hamba-Mu yang lemah tanpa-Mu aku lemah. Ya Allah, yang maha kuat kuatkan aku. Ya Allah yang memberikan kesabaran pada Nabi Ayub sabarkan aku, ya Allah.

            Entah berapa lama aku menangis. Tanpa sadar aku membangunkan kawan sekamarku. Aku hanya menangis, dan menangis. Aku hanya bisa bilang “Ummi..” kawanku memeluk dengan sangat erat sepertinya ia faham apa yang telah terjadi.

            Teringat soal perkataan mamak sebelum aku pergi kesini “Dik, nanti kalau misalkan mamak atau bapak meninggal kamu nggak usah pulang, ya”  Aku membantah dengan cepat “Enggak adik bakal pulang”. Takdir Allah selalu mengejutkan ternyata itu benar-benar terjadi.

            Satu hal ingin aku terus-terus sampaikan pada mamak “maafin adek ya, Mak” kalimat yang ingin aku sampaikan berulang  kali. Nyata bisa dihitung jari aku mengatakan itu. Sejam lebih aku menangis. Sampai pada akhirnya aku menyadari aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Aku kuat.

            Kawan-kawanku mulai berdatangan mencoba untuk tetap hadir memberikan sedikit semangat. “Bikin orang tuamu bangga, ya,” kalimat yang aku suka. Aku tahu aku masih punya kesempatan untuk berbakti. Aku masih punya dua kartu terakhir dalam berbakti, satu berbakti pada bapak, yang kedua berdoa untuk mamak.

            Saat itu, banyak orang yang tak kukenal menghubungiku mengatakan ribuan terima kasih.

            “Dik, mamakmu orag baik. Ibu berterimakasih pada mamakmu. Kamu yang kuat-kuat, ya”. Aku tersenyum membaca pesan itu. Nyatanya mamak meninggalkan banyak jejak di mana-mana. Dan itulah penyemangatku.

            Mak, apapun itu adik bersyukur terlahir dari rahim mamak. Adik bersyukur punya mamak yang seperti mamak. Adik punya ribuan kesalahan. Maafin adik ya, Mak. Mak, adek disini cuma bisa mendoakan mamak sebagai pengobat rindu adik. Makasih dan maaf sudah jadi mamaknya adik.


Kuni Abida Kamila

Mahasiswi International University of Africa

Sumber ilustrasi : Pinterest


Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak