Penyesalan

 


      Sore itu ayah memanggilku dan ibu untuk berdiskusi di ruang keluarga. Aku memilih duduk di antara ayah dan ibu. Ayah menatapku lekat hingga tak berkedip, membuat tubuhku meremang. Tidak pernah sebelumnya ayah menatapku seperti ini. Langsung saja aku mengalihkan pandanganku dari ayah. Tak berapa lama kemudian ayah membuka suaranya “kau ingin menikah atau melanjutkan pendidikanmu?”. Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan dari ayah, buru-buru aku menjawab “tentu saja aku ingin melanjutkan pendidikanku, yah”. “Kalau begitu berjanjilah pada ayah, kau tidak akan menikah sebelum menyelesaikan pendidikanmu”. “Baik yah, aku akan berjanji pada ayah dan diriku sendiri’. “Bagus, ayah sudah mendaftarkanmu di Universitas yang ada di Kota ini”. ”Tapi yah, aku ingin kuliah ke luar negeri”. Ayah mendengus kesal mendengar perkataanku yang membangkang keputusannya.

       Dalam hati aku berdoa, semoga saja hati ayah luluh untuk mengikuti keinginanku. Selama ini apapun yang aku inginkan ayah selalu mengabulkannya. Aku yakin kali ini ayah juga akan mengabulkannya. Ibu hanya diam saja mendengar obrolan aku dan ayah. Ibu selalu mendukung keputusan ayah, selama itu masih dalam lingkup kebaikan. Cukup lama ayah diam tampak memikirkan sesuatu. Kali ini wajah ayah terlihat murung, tatapan tajam sudah sirna sejak aku melontarkan keinginanku untuk kuliah di luar negeri.

     “Nak, selama ini apapun keinginanmu ayah kabulkan. Tapi untuk keinginan kali ni ayah sulit untuk mengabulkannya”. Aku tertunduk mendengar perkataan ayah. Muncul rasa sedih, marah, dan kesal terhadap ayah karena tak mengabulkan keinginanku. Kemudian aku berdiri langsung menuju kamar dan menangis. Ibu masuk ke kamar kemudian menenangkanku. Aku menumpahkan segala rasa sedihku dalam dekapan ibu.

      Pagi itu seluruh penghuni rumah libur. Kami menghabiskan liburan bersama keluarga. Kami berkumpul di halaman belakang rumah sambil melihat pemandangan gunung yang begitu indah serta tumbuhan berwarna hijau menjulang tinggi. Sungguh indah ciptaan Tuhan, hingga kita tak mampu mendustakan. “Nak, apakah kamu yakin ingin kuliah keluar negeri” ayah bertanya lagi. “Iya yah, aku sangat ingin kuliah di luar negeri, aku sudah mendaftar yah dan aku lulus, tinggal menunggu jadwal keberangkatan”. Ayah kembali menatapku serius, aku mendekat pada ayah serta menggenggam tangan ayah. “Yah, aku berjanji tidak akan menikah sebelum selesai pendidikanku. Aku akan menjaga diriku di negeri orang nantinya, ayah tak perlu risau, anak ayah ini sudah besar dan pemberani”. Seketika ayah tersenyum mendengar ucapanku. “Baiklah, ayah mengizinkanmu untuk kuliah keluar negeri, gapailah cita-citamu setinggi-tngginya, nak. Melihat kesungguhanmu, keraguan ayah menghilang”.

   Aku langsung memeluk ayah dan mengucapkan terima kasih pada ayah karena sudah mengikuti keinginanku. Satu perkataan ayah yang membuatku tertegun dan aku tak bisa manjwabnya. “Suatu saat jika ayah sakit ataupun sudah tiada, apakah kamu bisa kembali ke negara kita hari itu juga”. Kemudian ibu yang menanggapi perkataan ayah. “Yah, maut sudah diatur oleh Allah, jadi kita hanya perlu menyiapkan bekal saja. Jika suatu saat kita dipanggil maka kita sudah siap menghadap Rabb, kita akan tetap berkumpul bersama lagi ketika anak kita sudah menyelesaikan penddikannya”.

      Ayah memelukku dengan sayang, aku mencium pipi ayah dengan senyuman yang tak bisa digambarkan. Ayah adalah tempatku berbagi segala hal, semua kejadian dalam hidupku akan aku ceritakan pada ayah. Ayah adalah cinta pertamaku, sungguh aku sangat menyayangi ayah.

   Setahun berlalu, berada di negara pilihanku untuk melanjutkan pendidikan dan menuntut ilmu. Banyak tantangan hidup di negara orang, mulai dari bahasa, makanan, serta budaya. Tapi aku tidak menyerah begitu saja, aku terus melatih diri agar tetap mandiri dan menyesuaikan diri pada negara ini. Aku selalu berbagi kebahagiaan dan kesedihanku pada ayah dan ibu melalui gawai.

  Siang itu ibu menelfonku, ibu mengabarkan bahwa ayah sedang dirawat di rumah sakit. Aku sangat terkejut mendengar penuturan ibu, satu minggu yang lalu ayah masih sehat dan kami mengahabiskan waktu hingga tiga jam untuk bercerita. Mataku memanas dan pertahananku runtuh, aku menangis sejadi-jadinya di atas kasur. Ayah berkata padaku, agar aku tidak menangis. Karena penyakit yang ayah derita tidaklah parah. Ayah masih bisa membohongiku sementara dari wajahnya saja dapat terlihat bahwa ayah sedang menahan sakit. Bagaimana mungkin ayah mengatakan bahwa penyakit yang di deritanya tidak parah, aku sangat tahu bahwa ayah memiliki penyakit jantung dan ginjal.

       Hari itu semua ucapan ayah yang dulu ia lontarkan terjadi. Hari di mana aku kehilangan sosok hebat dalam hidupku. Ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku tak bisa melihat ayah untuk terakhir kalinya, aku tak bisa memeluk ayah untuk terakhir kalinya. Tak pernah sekalipun aku membayangkan, aku hidup tanpa seorang ayah yang selalu mendukung setiap perjalananku. Aku hancur, aku kehilangan arah, aku terlalu sakit atas takdir yang Tuhan tetapkan.

   Kini hanya penyesalan yang menghinggapi diri. Menyesal tak mengikuti perkataan ayah. Penyesalan yang takkan pernah berarti. Kini senyumku tak lagi sama seperti dulu, bahagiaku tak lagi sama seperti dulu. Raga dan jiwaku rapuh terseret dalam kehilangan. “Yah, andai engkau tahu aku merasakan penyesalan yang tak terkira. Aku menyesal telah membangkang keputusanmu. Aku menyesal telah mengikuti egoku. Maafkan aku yah”.


Sumber ilustrasi: Google

Oleh: Nova Rosawanda

Mahasiswi KIIFAL

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak