Sebagai seorang remaja SMA yang tumbuh di pulau Sumatera, asupan keilmuwan yang diberi langsung oleh sekolah merasa tak tercukupi, kami merasa kerdil dan tidak memahami apa yang terjadi. Dalam pergolakan yang besar saat itu, kami mengenal tulisan Tan Malaka dari berbagai buku-buku yang ada. Tak bisa disangkal, tulisan Tan Malaka menjadi bagian terpenting dalam masa transisi kami, yang juga ikut berperan dalam perkembangan kami menuju dewasa muda.
Beranjak sedikit dewasa, kekaguman kami kian menjadi. Melalui goresan penanya, Tan Malaka mengantarkan kami ke sebuah masa penuh gejolak nyata di Indonesia. Kami rasa perbincangan terhadap idealisme para pelajar adalah salah satu yang paling panas saat ini. “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda” begitu ucap Tan Malaka. Kalau dilihat-lihat idealisme para teman-teman, atau bahkan kami sendiri sudah mulai pudar, tak lagi bercita-cita seperti yang terdahulu. Realistisme menaruh pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan kami dan teman-teman. Kami perhatikan sepertinya banyak yang mulai mundur dan angkat tangan dalam perjuangan ini, entah tidak sanggup atau hanya ikut-ikutan, kami pun tidak tahu.
Resah kami dan teman-teman mulai bermunculan terhadap perjuangan yang tak lagi dilandasi dengan cita-cita bersama. Cita-cita itu sudah usang, tak lagi berorientasi pada masa depan yang penuh misteri, ia begitu buram hingga kini. Memang benar cita-cita itu usang, penuh misteri yang menyebabkan suram hingga kini. Banyak teman-teman perjuangan kami jadi bingung hingga akhirnya loyo dan hampir mati. Namun, waktu terus bergerak, keresahan kami dan teman-teman terhadap generasi ini bisa jadi lebih besar. Para intelek muda mulai bermunculan walau tak sebanding dengan pelajar yang ada. Sepertinya kami kurang peka tentang tradisi keilmuwan seperti yang dicontohkan kakanda-kakanda terdahulu. Proses belajar hanya sekedar pelepas tanya orang tua dan tuntutan. Pikiran yang dulunya tajam bukan main, sekarang terlihat kupel dan banyak daki. Kami rasa tahun sebelum tahun-tahun ini banyak memoar yang lalu begitu saja, tanpa ada tradisi keilmuwan yang rapi. Tanpa baca, tulis, dan diskusi. Maka tidak heran kalau pelajar saat ini terlihat loyo dan hampir sekarat. Berdosa rasanya meninggalkan teman-teman yang hampir sekarat ditengah-tengah perjuangan intelek bersama. Namun, kami tak ingin berlama-lama dengan keresahan ini. Mereboisasi para pelajar yang hampir sekarat adalah awal kebangkitan perjuangan bersama.
Penyegaran memanglah harus ada setiap harinya atau sekurang-kurangnya setiap pekan, agar cita-cita yang hampir rubuh bisa dinaikkan lagi, ghirah yang hampir hilang bisa dicarikan lagi. Proses ini terasa seperti dipaksa, namun kami belum menemukan jalan lain. Dimensi teologi kami rasa menghadirkan efek yang sangat besar bagi kami dan teman-teman perjuangan yang lain. Bagi orang religius ini sudah jelas, berdoa adalah jalan keluarnya. Entah kenapa kebahagiaan dan ketenangan hidup para intelek lahirnya disana.
Ketika waktu terus berlanjut, kami takut cita-cita kita mulai pergi dari kepala dan tenggelam dalam kesibukan realistisme, dan lupa bahwa kita pernah bersama-sama berjuang dalam menangkal matinya zigot intelektual di tanah ini. Satu pesan kami untuk kita semua jangan sungkan membaca drive milik bersama, sebagai tanda bahwa kita masih ada dan bersama-sama.
Sumber ilustrasi: poto ig @ziabdza
Oleh: Abdul Aziz
Mahasiswi International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar