Dia tak lagi seceria dulu, senyumnya tak lagi secerah dulu. Kejadian setahun yang lalu masih saja membekas di dalam hatinya. Aku benci diriku yang tak berhasil melindunginya sebagai kakak.
Tiga bulan lamanya ia terus-terusan mengurung dirinya dalam kamar. Tak membiarkan siapa pun masuk kecuali Ibu. Ayah pun tak pernah diperbolehkan masuk.
Pernah satu kali Ayah ingin melihat putri kesayangannya yang sedang terlelap itu. Seketika dia terbangun sambil berteriak histeris. Tak mau disentuh oleh Ayah. Lebih tepatnya tak mau disentuh oleh laki-laki.
Rumah terasa sunyi tanpa candanya. Tak lagi terdengar keluhannya tentang tugas-tugas di sekolahnya. Tak lagi ada pertanyaan bodoh dari mulutnya. Dia diam membisu dikala semua keluarga saling menyalahkan diri mereka.
"Harusnya Ayah menjemputnya, harusnya Ayah gak membiarkan dia pergi sendiri"
"Mas, kenapa kita sekolahkan dia jauh-jauh. Harusnya kita menurutinya yang mau sekolah di dekat rumah.”
Ah, sial kenapa semua jadi saling menyalahkan diri sendiri.
"Gimana keadaannya, Bu?"
Ibu, langsung menangis. Dia masih saja sama. Tatapannya kosong, amat kosong. Kadang kala ia berteriak meminta tolong sambil merintih kesakitan. Saat itu aku diminta Ibu untuk mengantar makanan untuknya. Kudengar rintihannya yang sangat pilu itu. Sekuat apapun aku untuk tegar nyatanya aku ikut menangis merasakan betapa sakitnya pengalaman itu. Pasti amat sakit.
Terbukti tiap hari aku harus membeli sabun mandi untuknya karena sabun mandi habis dalam sehari. Dia terus-terus mandi mengosok seluruh badannya hingga iritasi. Gusinya terluka parah. Saking seringnya ia menggosok setiap inci dari mulutnya.
Ibu kerap kali menghentikannya. Menarik tangannya yang semakin cepat bergerak.
"Nakkk istighfaar naakkk... istighfarrr...,"
"Ibukkk, aku menjijikan, Bu. Semua badanku kotooorrrr..., kotorrr, Buuuu. Biarin adek bersihin dulu"
"Siapa, Nak? Siapaaaa?"
Ayah dan Ibu berusaha terus menerus mencari keadilan tentang semua ini. Mencari sang pelaku. Seminggu tiga kali Ayah ke kantor polisi tapi hasilnya nihil.
Aku bingung harus bertindak seperti apa. Keluargaku kacau ketika ini terjadi. Patah hati terbesar yang aku rasakan.
"BANGSAAATTT, SIAPA YANG NGELAKUIN INI KE ADIK GUEEE ?!"
Aku berteriak sekuat tenaga, bingung pada siapa aku ingin melampiaskan. Ingin kutonjok wajah si pelaku. Bahkan ingin kubunuh dajal satu ini.
Beruntung adikku masih bisa keluar dari hal itu dengan melewati banyak terapi pastinya. Aku tau dia tak seperti dulu. Karenanya, aku tak berani sedetik pun meninggalkannya. Aku mencoba untuk tetap hadir buat dirinya. Aku mencoba mengatakan padanya melalui kehadiranku bahwa aku selalu ada untuknya. Bahwa aku akan menjaganya.
Kulihat adikku yang berjalan mendekat sembari menenteng barang belanjaannya. Saat itulah kumendengar pembicaraan yang sama sekali tak ingin kudengar. Pembicaraan yang bisa menentukan tentang kualitas seorang lelaki.
"Coba tuh liat! Kira-kira di dalam jilbabnya kek mana ya?" dua pria yang duduk disampingku berbicara dengan santainya. Seakan pertanyaannya adalah hal yang paling biasa saja untuk dibahas. Seketika emosi meledak kejadian masa lalu terulang dalam memoriku. Tanpa pikir panjang langsung kupukul wajahnya.
"Woi, bisa jaga pandangan lu gak???"
Wajahnya langsung merah padam. "APAN SIH MAS? CARI GARA-GARA NIH!"
"Perempuan itu sudah menjaga pakaiannya dengan jilbabnya. Giliran kita yang jaga pandangannya. Bukan malah asik membicarakannya"
Aku memarahinya mereka yang sedari tadi asik membicarakan soal cewek, cewek dan cewek. Sampai akhirnya mereka pergi dengan sendirinya
Aduhai, bagaimana nantinya nasib anak dari lelaki-lelaki ini? Bagaimana nasibnya jikalau saudari mereka atau anak mereka yang akan digosipkan oleh lelaki lain? Tidakkah itu menyakitkan sebagai keluarga.
Sumber ilustrasi: Pinterest
Oleh: Abida Kamila
Mahasiswi International university of Africa
0 Comments
Posting Komentar