Mataku terus saja menatap kedepan, memperhatikan tanpa perhatian. Aku mendengar penjelasan dosen yang tak bisa kumengerti. Mendengar tapi tak pernah masuk. Suaranya bagaikan suara lebah yang a,i,u,e,o nya saja aku tak tau dimana. Entah aku yang bego atau dosennya yang terlalu cepat dalam menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk agar dikira mengerti atau setidaknya tak menjadi sasaran untuk sebuah pertanyaan.
Tak jarang tanganku asik menulis bukan menulis menggambar lebih tepatnya. Lagipula apa yang bisa aku tulis jika penjelasannya saja aku tak faham. Beberapa orang bilang buat apa datang ke kelas kalau gak faham? Aku akui aku juga pernah malas untuk berangkat. Semua penjelasan dosen tak ada yang kufahami. Kendala bahasa menjadi faktor utama buatku.
Aku bego memang dalam memahami semua hal yang dikelas. Aku bosen belajar dikelas yang berjalan selalu dua jam itu. Bukankah tingkatan kefokusan manusia hanya bertahan 45 menit? Mengapa semua kelas dari SD sampai kuliah selalu saja dua jam. Tanganku yang mulai asik menggambar atau kaki yang mulai bergerak-bergerak. Memainkan apa saja yang ada diatas meja. Sambil mengoceh dalam hati “ Ayolah selesai..., aku laper , aku ngantuk” ocehan itu selaluku abadi di buku catatan.
“Aneh kamu ya, bisa-bisanya gak faham apa yang dosen bilang. Tapi nilai selau bagus.” Aku hanya tersenyum jika salah-satu temanku bertanya soal nilai. “ Bejo paling” penjelasan singkat, padat tapi tidak jelas. Aku juga tidak faham mengapa itu terjadi. Yang jelas aku selalu mencari cara bagaimana agar aku faham tentang hal itu. Nebeng belajar bareng kawan, cari-cari referensi di internet, atau buka google translet. Aku terlalu malas untuk memaknai satu-satu atau belajar sendirian. Membaca tulisan yang bahkan dibaca A atau I-nyasaja aku tak bisa.
“Kamu tuh pinter cuma malas aja” Mamakku pernah bilang begitu. Ketika akhirnya aku bisa menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama dengan nilai yang memuaskan. Bahkan guruku tak pernah menyangka sosok diriku yang selalu tidur dikelas, selalu bolos tiga hari. Bisa mendapat nilai yang bagus.
Tapi, apakah benar begitu? Bagiku itu hanya kebejoan belaka. Nilai bagus tapi bukan paling bagus juga bukan paling jelek. Nilaiku biasa saja. Tapi diatas KKM. Aku bukan orang dengan ambisi kuat dalam nilai. Penting lolos aja sudah syukur. Aku masih suka heran dengan orang-orang yang gila belajar. Apasih tekad mereka sampai mau belajar mati-matian begitu? Kenapa mereka mau belajar sampai lupa diri?
“Ya gimana ya Cha, Bapakku selalu nanya peringkat berapa?”
“Katanya kalau aku dapat nilai bagus bisa pulang cha”
“Kalau mau S2nya beasiswa ya harus cumlaude Cha.”
Bisa dimengerti dan seratus persen dipahami. Mereka punya tujuan untuk apa mereka belajar. Mereka punya pandangan kedepan. Mau lanjut kuliah dimana, Akan seperti apa nantinya. Aku tersenyum saja ketika mendengar jawaban itu. Nyatanya aku sendiri yang masih bingung tentang keinginanku sendiri.
Ambisi, cita-cita, dan keinginan menjadi pertanyaan yang terus saja memutar diotakku. Sebagian orang berambisi dengan jabatan. Sebagian orang bercita-cita membangun pondok dikampung halamanya. Dan sebagian orang yang lain berkeinginan mengahafal seratus ribu hadits. Sedangkan aku? Aku hanya mengikuti alur saja. Hidup sebagai mahasiswi ya sudah berarti aku harus melakukan seperti mahasiswi lainnya.
Hidup terus saja berjalan, maka aku terpaksa berjalan. Mengikuti alur yang sudah diarahkan. Tentang akan dibawa kemana, ikuti saja. Kalau aku harus belajar ya sudah belajar. Kalau aku harus berkerja maka aku akan berekerja. Biasa saja bukan?
“Nanti bakal ada waktunya kok, Cha. Ketika kamu mulai serius dan berambisi atas sesuatu” Kata Husna malam itu disela-sela belajar ketika aku menyerobot penjelasannya tentang ribuan pertanyaan soal mimpinya. “Memangnya berambisi sebuah keharusan?” Aku lagi-lagi bertanya.
“Bukan ambisi yang menjadi sebuah keharusan. Tapi, tujuan yang menjadi keharusan. Kamu gak bisa selamanya hidup dalam alur cerita saja Cha.”
“Bukannya kita memang hidup dalam alur cerita?”
“Ya memang Alur cerita yang Allah buat. Tapi, ada beberapa yang bisa kamu tentukan sendiri. Sama halnya dengan memilih bermaksiat atau tidak. Hidup kita adalah pilihan. Dan kita sebagai tokoh utama cerita kitalah yang menentukan. Gak papa kok sekarang ikuti saja dulu alurnya. Nanti kalau dah ketemu apa yang kamu mau. Maka perjuangkanlah”
Aku tersenyum mendengar perkataan Husna aku harap aku memiliki satu hal yang bisa aku ambisiuskan. Mejadi manusia tanpa tujuan bukan satu hal yang bisa aku banggakan. Karena hidupku bukan sesuatu yang bisa aku pasrahkan.
Sumber gambar: Pinterest
Oleh: Kuni Abida Kamila
Mahasiswa University of Africa
0 Comments
Posting Komentar