Sebuah Hubungan yang Berawal dari Kata Teman

 
       Interaksi sesama lawan jenis, pastinya terjadi di dunia sosialisasi ini. Bahkan, tak jarang di dalam sebuah organisasi pun interaksi sangat dibutuhkan. Namun, bagaimana jika batasan tersebut malah akan menjerumuskan dan membawa kedalam sebuah hubungan yang bernama ‘pacaran’? 

     “Kak, gimana nih, ada cowok temen kampus, orangnya agak awam tentang agama, baik sih, bertanggung jawab sama organisasinya, intelek lagi. Awalnya biasa aja sih sama dia, tapi kan sering ketemu bahas organisasi, awalnya ngobrol biasa, eh lama-lama dianya kadang curhat dan tanya-tanya pendapat saya, kadang saya cuekin tapi ga enak juga ditanyain pendapat ga dijawab, akhirnya dia makin sering chat. Awalnya saya jawab seadanya aja chatnya, kadang ga saya jawab. Alhamdulillah sudah dapet nasehat bahwa ini nanti bisa fitnah, akhirnya saya bilang ke cowok itu supaya jangan chat dan tanya pendapat saya, saya jelaskan baik-baik supaya ia jangan chat dan curhat dengan saya, cukup chat masalah organisasi aja. Sejak itu dia ga chat lagi, tapi kak, kok malah saya yang agak galau ya, rasanya agak sepi ga ada chat dari dia lagi, kok saya mulai sering mikirin dia ya? Berandai-andai seandainya dia ga awam, udah “ngaji”, apakah saya mulai jatuh cinta ya kak? Beginikah rasanya kena budak cinta? Gimana cara menghadapinya kak”

      kak, saya punya temen deket, cowok. Dia kadang suka curhat nya ke saya, bahkan perihal pacarnya. Saya sudah sering menasehati agar ga pacaran lagi, tapi setelah tiga kali saya peringatkan dia bilang nanti nanti terus, saya lepas. Tapi disini saya mengalami, cewek dan cowok ga bisa berteman itu nyata. Bagaimana ya kak, menghindari pertemanan dengan cowok? Karena saya memang lebih nyamannya berteman sama cowok dibanding cewek. “

     Bahkan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sekelumit tentang pertemanan dan interaksi antara ikhwan dan akhwat sendiri. Di tempat kita belum sepenuhnya terjadi pemisahan yang ideal interaksi laki-laki dan wanita yang sejatinya oleh syariat diatur agar terpisah semaksimal mungkin. Idealnya, kelas terpisah antara laki-laki dan perempuan, kantor atau organisasi meminimalkan campur aduk dan interaksi, dan masih banyak lagi. 

       “Apa sih kita kan cuma teman! Nggak ada hal lain-lain kayak skinship juga kan? “

     Semuanya berawal dari teman. Setelah itu teman rasa pacaran, nyaman, setiap hari berkabar, dan berujung hubungan tanpa status demi menjaga agar tidak disebut pacaran. Naudzubillah-nya, nekat dengan meresmikan hubungan agar merasa saling terikat. 

    Jangan sampai! Jangan sampai hal seperti itu, sudah dianggap biasa oleh hati dan nurani kita hingga yang paling sering menegur diri sendiri sudah hilang. Jangan sampai perasaan yang berusaha dijaga malah berujung dengan mengatakan dalam hati ‘gapapa, gini doang ga maksiat. Udah biasa’.

     “Ini aneh! Bagaimana kok memisahkan antara laki-laki dan wanita, susah lho, bagaimana dong rumah sakit khusus laki-laki, warung khusus wanita? Kan ada yang dikerjakan oleh wanita dan ada yang oleh laki-laki.”

      Maka kita katakan ini, tidak aneh, semua bisa diatur dan kita katakan adalah meminimalkan, bukan memisahkan sama sekali. Konsep dan manhaj ini inilah yang terjadi pada Zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

       Nah, sekarang bagaimana solusinya? 

     Solusinya adalah meminimalkan ikhtilat dan khalwat. Hal ini sudah tercermin dalam ajaran Islam misalnya saja ketika shalat yaitu orang datang dengan tujuan beribadah dan khusyu’, maka dipisahkan antara shaf laki-laki dan wanita bahkan diberi hijab agar tidak bisa melihat satu dengan yang lain. Karena awal dari fitnah adalah pandangan. Solusinya memang berat dan butuh perjuangan karena mau tidak mau, pasti kita bebas memandang, dan pandangan itu berat, berat dan berat. 

     Maka kita bertakwa semampu kita. 

     Allah Ta’ala berfirman.

‏فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ     ‏.

 “Maka bertakwalah kalian kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” (At-Taghabun: 16)
 
 Misalnya di kehidupan kampus: bergaul dan berinteraksi secukupnya dan secukupnya dengan lawan jenis. Jadi, teman-teman, berhati-hatilah mulai sekarang. Karena fitnah itu bukan hanya melibatkan perkataan, namun aurat, suara, dan pandangan juga termasuk fitnah. Semoga Allah selalu menjaga kita semua. 

Sumber : Pinterest
 Oleh : Aribah Alfawwaroh
Mahasiswi International University of Africa

Posting Komentar

7 Comments

Posting Komentar

Formulir Kontak