Benar juga Edmund Burke, pikir Theodore H. White. Berhubung pers itu “Kekuatan ke-4” dalam negara di samping Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, buat apa pilih yang lain? Oleh sebab itu, wartawan majalah Time dan koran The New York Times ini tidak berselera menjadi anggota DPR atau senat. Tidak juga jadi hakim atau jaksa. Bahkan, menjadi gubernur atau presiden sekalipun. Kalau begitu halnya, apa yang diperbuatnya tatkala Pemilu AS yang berlangsung 4 tahun sekali itu? Mendingan bikin buku saja. Maka, keluarlah buku The Making of The President.
Mungkin di benaknya tersirat, daripada nyapres di protes sana-sini lebih baik memprotes. Sudah diam tinggal duduk dan menulis, pula tidak pegal memikul amanah. Atau bisa jadi dia enggan karena tidak sengaja membaca kitab Shohih Bukhori dan matanya terfokus di hadis 6615 – pasal ambisi terhadap jabatan – “Kalian akan berambisi terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat, ia adalah seenak-enaknya penyusuan dan segetir-getirnya penyapihan.” sabda Rasulullah.
Beda kisah dengan Nabi Yusuf. Mata hatinya tak kuasa menengok kesengsaraan rakyat Mesir di tengah kesuburan tanahnya. Beliau merasakan ketidakberesan atau memang salah urus dari pejabat negara yang bertanggung jawab. Memohonlah beliau pada raja untuk dinaikkan demi mengurus kesejahteraan masyarakat. Ini dikenang dalam Al-Qur'an di surah dengan nama beliau sendiri (Yusuf: 55), “Berkata Yusuf, 'Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi berpengetahuan’.”
Alhasil, amanah dan profesionalitas yang ditunjukkan Nabi Yusuf telah menyebabkan rakyat Mesir mencium harum tanahnya sendiri, meski ditimpa kemarau panjang, tapi sejahtera, adil, dan makmur. Wajar saja seseorang ingin mendapat kedudukan di masyarakat, asal berlandaskan etika dan moral, serta sesuai dengan keahliannya. Apalagi jika ia bisa dipercaya keamanahannya seperti Nabi Yusuf. Meminta jabatan menjadi raja pun etis saja diberi.
Beda kisah lagi kita sebagai manusia biasa. Dititipkan uang saja bisa kembali beda nilai, apalagi amanah besar. Imam Ghazali saja mengakui, saat mencecar murid-muridnya dengan pertanyaan. Apa yang paling dekat? Apa yang paling jauh? Lalu sampai pada apa yang paling berat di dunia ini? “Yang paling berat adalah memegang amanah. Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu memikul tanggung jawab setelah Allah meminta mereka untuk menjadi khalifah di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah Swt., sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak mampu memegang amanahnya.” tutur beliau.
Di dunia kita ini, porsi makannya sudah diatur sempurna oleh Tuhan. Ada yang bisa makan banyak, ada yang hanya sedikit. Siapa yang bisa menilai? Tidak lain diri kita sendiri. Kalau-kalau dikasih makan banyak, kita tau tidak akan habis, ya tolong jangan diterima sejak awal, bersyukur mau dibagi ke kawan yang mampu menghabiskan. Lain hal jika kita merasa mampu, tolong dihabiskan sampai bersih, karena itu tanggung jawab, kalau belum habis sudah ditinggal pergi, dosa namanya. Satu lagi, kalau merasa tidak mampu tapi dipaksa makan banyak, bagaimana? Tawakal saja, Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Toh Allah bisa mengubah situasi paling putus asa, menjadi momen terbaik dalam hidup manusia.
Sumber gambar : Google
Oleh : Muhammad Saifurrohman
Mahasiswa University of Africa
0 Comments
Posting Komentar