Manisnya Iman

    
 

Dalam Islam, sudah kita kenal bahwa tingkatan seorang hamba itu ada tiga; Islam, Iman, dan Ihsan. Hadis dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, ketika Jibril menyamar menjadi seorang laki-laki kemudian menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bertanya tentang Islam, Iman, dan Ihsan, lantas Nabi menjelaskannya (baca hadis nomer 2 kitab Hadis Arbain karangan Imam Nawawi). Dari hadis itu dapat diketahui bahwa Islam dan Iman sungguh berbeda. Hal ini juga dikuatkan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 14, yang artinya, “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’. Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dengan demikian, seorang hamba yang sudah berstatus Islam, bukan berarti dia juga beriman.

 Lantas apakah jika seseorang telah sampai derajat iman, maka imannya akan tetap bertahan terus-menerus? Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata kepada para sahabat, “Marilah kita menambah iman kita”. Sahabat Abu Darda’ juga berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i juga berkata, “Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” Imam Ahmad bin Hanbal juga menuturkan, “Iman itu sebagiannya lebih unggul dari yang lainnya, bertambah dan berkurang. Bertambahnya iman adalah dengan beramal. Sedangkan dengan berkurangnya iman adalah dengan tidak beramal. Dan perkataan adalah yang mengakuinya.” Dari berbagai perkataan tersebut, iman itu dapat bertambah dan berkurang, bertambah dengan perbuatan baik dan berkurang dengan kemaksiatan.

 Jika seseorang telah mencapai derajat iman, maka dia akan dapat merasakan manisnya iman, di mana hanya akan ada kenikmatan dan ketenangan dalam hati. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, hadis dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda yang artinya, “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman. Dijadikannya Allah dan Rasulnya lebih dicintainya dari selain keduanya (bapak dan ibunya). Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan ia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci jika dilempar ke neraka.”

 Rasulullah juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, hadis dari Anas, Rasulullah bersabda yang artinya, “Tidaklah beriman seorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan dari manusia seluruhnya.”

 Iman bertambah dengan amal kebaikan, sedangkan manisnya iman bisa dirasakan jika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar daripada kecintaan kepada dunia dan seisinya. Bahkan selevel kecintaan kepada orang tua pun tidak menyetarai kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun menurut Imam Ibn Hajar Al-‘Asqolani dalam Fathul Baari berkata, ini mengindikasi bahwa semua orang tidak bisa merasakannya. Sebagaimana madu yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian pula manisnya iman, ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya sehat. Di antaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam hadis.

 Sudah masyhur di kalangan masyarakat, bahwa ketika seseorang yang mencintai akan merasakan kebahagiaan yang besar. Maka manisnya iman bisa dirasakan kebahagiannya pula jika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna. Inilah yang menyebabkan para sahabat gagah berani dan dengan hati yang rela untuk turun langsung ke medan perang meskipun harus meninggalkan keluarga dan hartanya. Yang menjadi alasan mengapa Bilal bin Rabbah sanggup menahan batu yang ditindihkan di atas dadanya seraya terus mengucap, “Ahad.. Ahad”. Karena manisnya iman pula, sahabat-sahabat Ansar rela pulang dengan tangan kosong tanpa ganimah dalam perang Hunain.

 Jika kita sudah tahu bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang, maka tugas kita adalah dengan berusaha terus menambah serta terus mengiringinya dengan hal-hal yang bisa menyempurnakannya.

Sumber gambar : pinterest

Oleh: Nailul Rohmatul Muwafaqoh

(Mahasiswi di International University of Africa)

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak