Roman Abramovich; Sosok Pesakitan dalam Invasi Rusia ke Ukraina


       Roman Abramovich tidaklah asing bagi masyarakat Indonesia terutama bagi mereka yang paham dunia sepak bola. Tokoh yang memiliki nama lengkap Roman Arkadievich Abramovic ini adalah miliarder Rusia pemilik klub sepak bola papan atas Eropa yang memiliki jutaan basis penggemar di seluruh dunia termasuk Indonesia, yakni Chelsea FC. Selain Chelsea, Roman juga adalah pemilik perusahaan investasi Millhouse Capital dan dianggap sebagai salah seorang oligarki Rusia. 

       Menurut majalah Forbes 2006, pada 13 Februari 2006 ia memiliki kekayaan bersih sebesar US$ 18.2 miliar. Sedangkan menurut majalah Finance Rusia pada Januari 2007, kekayaannya mencapai US$ 21 miliar. Selain itu, ia dianggap sebagai orang terkaya yang tinggal di Inggris Raya pada tahun 2003.

       Tidak hanya karir bisnisnya yang melejit, karir politik Abramovich patut diperhitungkan. Tercatat dia pernah menjadi seorang Gubernur untuk provinsi Chukotka, yang terpilih pada tahun 2000. Setelah menjadi Gubernur, Roman masih dalam dunia perpolitikan dengan menjadi anggota parlemen. Komisi Pemilihan Pusat di Rusia menyatakan bahwa Abramovich meraih kemenangan 97% dalam pemilu untuk memilih anggota parlemen wilayah Chukotka.

       Namun sayang, sekarang ini bisa dibilang masa-masa penuh cobaan dan penuh tekanan hebat bagi taipan Rusia tersebut. Bagaimana tidak? Dia yang dianggap memiliki relasi dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin itu kena imbas sanksi negara-negara barat buntut dari invasi Rusia ke Ukraina pada Februari lalu. Akibatnya, banyak kebijakan negara barat (dalam hal ini Inggris) yang merugikan sosok Roman.

       Salah satu kebijakan yang dianggap sebagai kezoliman pemerintah Inggris terhadap Roman Abramovich adalah membekukan semua aset yang berada di Inggris, tidak terkecuali Chelsea, klub yang meraih berbagai trofi bergengsi sejak diakuisisi 19 tahun silam. Taipan berusia 55 tahun itu telah mengeluarkan banyak uang untuk mendongkrak prestasi klub berjuluk The Blues tersebut menjadi yang terbaik di dunia saat ini. Akibatnya, banyak pihak yang mengritik terutama dari jutaan penggemar Chelsea terhadap kebijakan pemerintah Inggris tersebut.

       Mengutip dari situs Goal.com, Wakil kepala eksekutif klub sepak bola Newcastle United, Amanda Staveley, menyebut Roman Abramovich diperlakukan tidak adil sebagaimana Chelsea yang ia miliki dipaksa dijual pada pekan ini.

        “Dunia ini akan selalu memiliki masalah dan saya tahu ini sangat berat, dan saya sangat sedih hari ini bahwa klub milik seseorang diambil paksa hanya karena kedekatan yang ia miliki dengan orang lain. Saya rasa itu tidak adil,” katanya dalam acara Financial Times Business of Football Summit.

       Kebijakan yang terkesan zolim dari Inggris itu berbalas respons Roman Abramovich yang membuat banyak orang respect kepadanya. Dengan legowo, Roman memutuskan menjual Chelsea dengan harga sekitar Rp. 44,7 triliun. Uang tersebut nantinya bakal disumbangkan kepada badan amal untuk menaungi warga Ukraina yang terdampak perang. Kucuran dana pinjaman Roman demi kemajuan Chelsea senilai Rp. 31,3 triliun juga dia tidak ambil. Tidak sepeser pun uang hasil penjualan Chelsea masuk kantong Roman Abramovich, tidak pula uang yang diinvestasikan ia tagih kembali.

       Beberapa pihak mendukung langkah Pemerintah Inggris itu. Namun, ada pula yang mempertanyakannya karena permasalahan ini berkaitan dengan politik, bukan sepak bola. Perlu diketahui, FIFA sebagai induk sepak bola dunia melarang segala bentuk politik dalam sepak bola. Namun para petinggi FIFA justru menjilat ludahnya sendiri dengan mendiskualifikasi Timnas Rusia, klub Spartak Moskow, dan delegasi Rusia lainnya dari semua ajang di bawah naungan FIFA. Bahkan, Timnas Rusia sudah diblack-list dari keikutsertaannya di ajang bergengsi Piala Dunia di Qatar.

       Apa yang dialami Chelsea, Timnas Rusia, dan Spartak Moskow adalah bentuk politik standar ganda memang telah dilakukan oleh negara barat dalam mengambil kebijakan.

       Mengapa demikian? Karena kebijakan ini tidak berlaku kepada Timnas Israel yang dari dulu menginvasi Palestina, serta Timnas Amerika Serikat yang negaranya gencar melakukan invasi terhadap negara-negara Timur Tengah pada awal 2000-an.

Penulis: Muhammad Najmuddin (Pengamat Amatir Geopolitik dan Sepak Bola Dunia)


Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak