Menjadi korban kekerasan dari tindakan kriminal merupakan
pengalaman yang dapat menyebabkan trauma, gejala depresi, bahkan
penurunan kualitas hidup. Tentu kita tidak ingin hal tersebut terjadi pada diri
kita dan orang-orang di sekitar kita. Apalagi jika kita hidup di negara seperti
Sudan yang jauh dari keluarga di Indonesia, tentu bukan hal yang mudah
menyembuhkan mental yang kacau sementara tidak ada keluarga di samping kita.
Seperti dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang pengalaman salah
seorang mahasiswa Indonesia di Sudan yang berjuang menghadapi momen traumatik
setelah menjadi korban begal dan penusukan serta proses self healing
(penyembuhannya) yang telah ia lalui.
Kita sebut saja namanya Abid (nama samaran), seorang mahasiswa asal
Indonesia yang sekarang berkuliah di Sudan. Bulan Juni lalu, ia mengalami
cobaan menjadi korban penusukan oleh penjahat di Sudan, negara yang sedang
meningkat dalam tindak kriminalitasnya. Dia pun telah mendapatkan perawatan
intensif di salah satu rumah sakit swasta di sana. Saking intensifnya, hampir
satu minggu dia tidak pernah keluar untuk sekedar merasakan panasnya matahari
Sudan, yang katanya kalau musim panas, mataharinya menjadi dua saking panasnya.
Beruntung bagi Abid meskipun tidak ada keluarga yang menemaninya selama
perawatan di rumah sakit, dia dikelilingi teman-temannya yang menemaninya.
Setelah satu minggu, dia pun mendapatkan izin pulang dari rumah
sakit. Selesai sudah hari-hari yang mengerikan lebih tepatnya menyerikan yang
dia alami selama perawatan di rumah sakit tersebut. Ketika perjalanan pulang
menggunakan mobil sewaan, dia berkali-kali memperhatikan suasana sekitar,
pikirannya terselimuti rasa ketidaknyamanan. Gambaran kejadian beberapa hari
lalu masih segar dalam ingatannya. Apalagi ketika melewati daerah di mana
peristiwa penusukan itu terjadi, berkali-kali terlintas peristiwa itu dalam
pikirannya. Dalam pikirannya saat itu, bahwa penjahatnya masih bebas
berkeliaran kemana-mana dan tidak ada tempat aman bagi dia. Hal seperti itu
masih selalu terlintas setiap kali dia harus keluar rumah. Kuliahnya pun sampai
keteteran dan produktifitasnya juga menurun.
Ketika dinyatakan sembuh total oleh dokter dan boleh untuk
melakukan kegiatan secara normal, dia tahu itu hanya kesembuhan bagian fisik.
Belum untuk psikis yang berkali-kali terluka setiap kali ada pemberitaan tindak
kriminal yang masih marak terjadi. Tidak sama seperti luka pada umumnya, luka
psikologis tidak terlihat, tetapi terasa dan berlangsung lebih lama. Solusi
yang dia ambil adalah terus berpikir positif bahwa dia akan baik-baik saja. Dia
berhasil melakukan treatment terbaik, yakni self healing.
Self healing atau
penyembuhan diri dapat diartikan sebagai proses penyembuhan luka batin atau
mental yang diakibatkan oleh berbagai hal. Caranya dengan berpikir positif
bahwa saat ini kita akan baik-baik saja disertai dengan memahami keadaan dan
memiliki keyakinan bahwa semua yang terjadi telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam kasus yang dialami Abid, ia membuat pola pikir bahwa terus menerus overthinking
dan insecure itu tidak ada gunanya, malah cenderung membatasi diri.
Kasus kuliah dan organisasi yang keteteran membuat dia cepat sadar. Dia pun
memiliki keinginan yang kuat untuk menolong dirinya sendiri yang berjuang agar
hidupnya normal kembali.
Sebagai diaspora yang jauh dari Indonesia, jika terjadi peristiwa
yang menyebabkan luka psikologis, tentu kita tidak memiliki pilihan selain self
healing, karena keluarga sebagai mental health educator terbaik
tidak mungkin datang menjenguk dan memeluk kita seraya mengatakan semua akan
baik-baik saja. Dalam kasus yang dialami oleh Abid misalnya, pelukan tersebut
bukan dalam bentuk pertemuan fisik, melainkan komunikasi virtual dan intensif
dari ibu dan keluarga yang tidak henti-hentinya mendoakan yang terbaik untuk
kesembuhannya. Dia juga mengingat harapan keluarganya sebelum berangkat ke
Sudan, yang sangat tidak layak baginya mengecewakan keluarganya hanya karena
rasa ingin pulang.
Kesehatan mental juga dapat dilakukan dengan kehadiran teman sesama
diaspora yang jauh dari keluarga. Jika keluarga yang paling paham emosi kita
tatkala terluka, maka teman adalah sosok yang paling mengerti keadaan kita.
Dalam kasus yang dialami oleh Abid di atas, teman-temannya adalah keluarganya,
mereka memberikan ‘pelukan’ dengan cara mereka sendiri. Dengan semua usaha yang
ia lakukan serta dukungan yang ia terima, akhirnya Abid bisa memastikan bahwa
mentalnya benar-benar telah sembuh.
Sebagai diaspora Indonesia yang hidup di lingkungan dan budaya yang
berbeda, tentu sangat penting untuk memiliki mental yang kuat, sehat, dan cepat
dalam merespon emosi. Selain kasus kekerasan, di Sudan seringkali mahasiswa
Indonesia yang notabene adalah orang Asia, mengalami hal-hal diskriminatif
karena kurangnya pendidikan bagi sebagian warga Sudan yang awam. Belum lagi
kehidupan di Sudan yang sering membuat penduduknya geleng-geleng kepala,
menyerah lalu pulang bukanlah jalan satu-satunya untuk kita. Intinya, menjaga
kesehatan mental adalah tuntutan yang tidak dapat kita tawar. Sekian dari
penulis, jangan lupa bahagia.
Sumber gambar : Pinterest
Muhamad Bintang Agama
Mahasiswa Perguruan Islam Mathali’ul Falah
Peserta Lomba Menulis Opini El-Nilein Minor tema “Kesehatan
Mental"
0 Comments
Posting Komentar