Rethingking Relevansi Islam dan Kesehatan Mental di Indonesia

 


Di era kontemporer saat kini, Indonesia menghadapi tantangan berupa dampak pandemi Post Covid-19. Mulai dari persoalan agama, ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan lain-lain.  Lebih dari itu, salah satu dampaknya juga yang cukup memberikan pengaruh signifikan yaitu, ialah mengenai persoalan kesehatan mental masyarakat kita. Dari sisi psikologis, tentu eksistensi dampak pandemi ini sangatlah memberikan pengaruh luar biasa. Sebut misalnya analisis Sulis Winurini (2020: 14-15) dalam tulisannya, Permasalahan Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19 menyebutkan bahwa saat kini banyak orang yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat dampak pandemi yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: 1). Faktor jarak dan isolasi sosial; 2). Resesi ekonomi akibat Covid-19; 3). Stres dan trauma pada tenaga kesehatan; dan 4). Stigma dan diskriminasi.

    Dalam konteks ini, maka hemat saya term “Kesehatan mental” sebagai isu kejiwaan menjadi sangatlah penting untuk diperhatikan. Namun apa sih yang dimaksud dengan term itu sendiri? Lalu adakah relevansinya dengan agama Islam sebagai agama wahyu sekaligus agama mayoritas di Indonesia? Bagaimana kita mesti memahami kedua itu? Berbagai pertanyaan tersebut secara implisit menuntut kita untuk kembali memikirkan (rethingking) mengenai relevansi Islam dan kesehatan mental itu sendiri.

    Secara definitif term “kesehatan mental” atau “kesehatan jiwa” memang banyak sekali diutarakan oleh para ahli psikolog murni maupun psikolog perkembangan, serta psikolog eksperimental, hingga ahli psikiater sekaligus. Akan tetapi, hemat saya perbincangan definisi “kesehatan mental” sangatlah cukup untuk kita pahami berdasarkan secara konstitusional Indonesia. Dalam UU RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Pasal 1 ayat no. 1 bahwa kesehatan jiwa sendiri didefinisikan sebagai “Di mana seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”. Berdasarkan definisi tersebut cukup jelas menunjukan kepada kita semua bahwa setidaknya kesehatan mental bisa dipahami sebagai adanya gangguan dalam jiwa yang kompleks sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan.

    Lalu bagaimanakah relevansinya dengan Islam itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini, hemat saya bahwa langkah pertama yang harus kita sadari bersama, yaitu bahwa Islam adalah agama wahyu. Tentu yang namanya ajaran wahyu itu sangatlah universal. Oleh karena itu, Islam mesti kita pahami lebih dari sekedar ibadah ritual semata seperti: sholat, naik haji, syahadat dan lain-lain, melainkan juga mesti menjadi pandangan hidup (weltanschauung). Berangkat dari perspektif demikian, maka dapat dinilai bahwa Islam itu merupakan agama dan peradaban ilmu pengetahuan. 

    Setelah Islam dipahami sebagai peradaban ilmu pengetahuan, maka di manakah relevansinya dengan kesehatan mental? Hemat saya bahwa dalam Al-Qur’an sendiri terdapat berbagai ayat yang membicarakan terkait jiwa dan kesehatan sehingga sudahlah sangat popular di kalangan para ahli. Sebagai contoh sebut misalnya kehadiran Al-Qur’an sebagai obat hati (Q.S Yunus: 57), lalu berdzikir kepada Allah sebagai solusi agar hati menjadi tentram (Q.S Al-Ra’d: 28), dan lain-lain. Semua hal tersebut sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejatinya sudah menerapkan perhatian penting terhadap permasalahan kejiwaan yang sehat.

    Nah sekarang, bagaimanakah aplikasi relevansi Islam dan kesehatan mental di Indonesia? Dalam menjawab pertanyaan ini, maka hemat saya perlu agaknya diorientasikan terhadap dua hal penting. Pertama: Ranah Teoritis-Akademik. Di sini relevansi Islam dan kesehatan mental mesti masuk ranah penelitian, sehingga terus-menerus untuk ditelusuri. Dalam konteks ini, maka studi psikologi agama memiliki peran signifikan dalam membantu proses penelitian dengan melihat sejauh mana keyakinan beragama dapat mempengaruhi jiwa manusia (Gumati & Juharah, 2020: 4). Dengan demikian, ranah ini akan mencari hubungan integratif secara teoritis konsep agama Islam dengan konsep psikologi khususnya kajian pustaka mengenai kesehatan jiwa. 


    Kedua: Ranah Praktis. Orientasi ini lebih ke tatanan praktis atau aspek praktek. Dalam ungkapan lainnya kurang lebih dikontekstualisasikan dengan menitik tekankan agama Islam yang hadir sebagai terapi kesehatan mental. Ahmaed M. Abdel-Khalek (2011: 89) dalam tulisannya, Islam and mental health: A few speculations menyebutkan bahwa ajaran-ajaran Islam seperti sholat, haji, sabar larangan minum alkohol dan makan daging babi, puasa di bulan ramadan, dan lain-lainya terbukti ampuh sebagai solusi depresi dan stres bahkan dapat membaguskan kesehatan mental. 

    Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa Islam sangatlah relevan dengan konsep kesehatan mental. Konsep ajaran akal sehat dan kesadaraan penuh atau bahasa lainnya yaitu “al-āqil al-Shālih” dalam Islam merupakan isu inti peranannya terkait dengan kesehatan mental manusia (Tahnan & Young, 2021). Apalagi dalam menghadapi tantangan dampak psikologis post Covid-19. Oleh karena itu, relevansi keduanya secara integratif-interkonektif sangatlah dapat menjadi solusi psikologis terkait kesehatan mental atau jiwa di masyarakat Indonesia.

Wallahu a’lām bil al-Shawwāb


Sumber gambar : kejarmimpi.id

Muhammad Ghifari 

Univ. Al-Azhar Kairo

Peserta Lomba Menulis Opini El-Nilein Minor tema "Kesehatan Mental"




Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak