“Kesehatan mental manusia dapat dinilai melalui kesempurnaan pikiran dan perilaku manusia dalam merespon suatu masalah.”- Ibn Miskawaih
Menyikapi pandangan Ibn Miskawaih, kita dapat mengetahui bahwa kesehatan mental dapat dipahami melalui pikiran dan perilaku manusia dalam menghadapi suatu permasalahan di realitas. Bruce S. Mc.Ewen dalam tulisannya yang berjudul “Stress, Adaptation and Disease: Allostatic Load” menjelaskan kesempurnaan pikiran dan perilaku manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk mengukur tingkat kesehatan mental individu. Pandangan Bruce S. Mc.Ewen dipertegas oleh Sayyid Abidin Bozorgi dalam karyanya berjudul “Ilm-e Falsafeh Islām” memandang akal merupakan salah satu alat pengetahuan manusia untuk memersepsikan segala entitas di dunia. Jika akal manusia tidak dapat memersepsikan segala sesuatu secara sistematik, maka akan mempengaruhi kesehatan tubuh manusia seperti stres, sedih, dan menutup diri dari keramaian sosial.
Pandangan Sayyid Abidin Bozorgi dan Bruce S. Mc.Ewen mengenai wacana kesehatan mental berusaha menyikapi peningkatan kasus gangguan emosional yang terjadi di realitas. Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat pertumbuhan kasus gangguan emosional selama 5 tahun terakhir, 2013-2018. Pada tahun 2013, kasus gangguan emosional berada di angka 6 %. Namun mengalami pertumbuhan di tahun 2018, sebesar 9,6 % dengan rata-rata usia 15 tahun ke atas. Tingginya kasus gangguan emosional dan depresi mengakibatkan perkembangan angka bunuh diri. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat jumlah bunuh diri yang terjadi setiap tahunnya, sebanyak 800.000 kematian atau 1 kematian setiap 40 detik.
Ragam penawaran dalam paradigma pemikir barat dan Islam didasari oleh peradaban pengetahuan manusia mengkaji isu kesehatan mental. Sayyed. Ma dalam artikel jurnalnya berjudul “Mental Health Services in United Arab Emirates: Challenges and Opportunity” menilai perkembangan diskursus kesehatan mental tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat Timur Tengah yang telah memopulerkan terapi kesehatan mental. Di satu sisi, Kartika Sari Dewi dalam penelitannya berjudul “Kesehatan Mental” juga menjelaskan urgensi kebudayaan kuno masyarakat Timur Tengah sebagai pembuka paradigma dan gagasan para pemikir modern untuk menyikapi wacana kesehatan mental di hari ini. Tulisan berjudul “Menilik Terapi Kesehatan Mental dalam Dinamika Pemikiran Masyarakat Timur Tengah” ini, berusaha mendeskripsikan wacana kesehatan mental dalam peradaban masyarakat Timur Tengah melalui pendekatan 3 fase ilmu pengetahuan Aguste Comte, meliputi;
Fase animisme, menjelaskan kepercayaan masyarakat kuno terhadap roh yang memasuki tubuh manusia. Pada fase ini, terdapat beberapa tradisi yang digunakan masyarakat untuk mengatasi penyakit mental, seperti;
Jādū. Masyarakat Persia kuno memandang bahwa individu yang mengalami penyakit mental, seperti gelisah, marah, dan frustrasi disebabkan oleh gangguan roh jahat, sehingga masyarakat memanggil jādū atau dukun untuk menyembuhkannya.
Ruqīyah al-Syarīah, merupakan salah satu tradisi masyarakat Arab kuno yang masih bertahan hingga hari ini. Masyarakat Arab kuno memandang individu yang mengalami depresi, ketakutan, dan cemas disebabkan oleh masuknya roh halus di dalam tubuhnya. Demi mengatasi permasalahan tersebut, masyarakat Arab kuno memanggil pemuka agama untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Quran, guna menyebuhkannya dari penyakit tersebut.
Al-Khurza al-Zarqā’, salah satu kepercayaan masyarakat Timur Tengah, meliputi Yordania, Suriah, dan Palestina yang memandang penyakit iri dan dengki dapat diatasi dengan memakai kalung berwarna biru di leher. Di satu sisi, sebagian masyarakat menggantung al-khurza al-zarqā’ di depan pintu rumah untuk mengusir penyakit iri dan dengki di sekitar tempat tinggal mereka.
Fase abstrak, menjelaskan pengetahuan masyarakat Timur Tengah terhadap kesehatan mental bersifat rasional dan mulai meninggalkan paradigma mistis. Beberapa pemikir, seperti Ibn Sina, Ibn Miskawaih, dan Al-Ghazali menyusun kerangka pembahasan kesehatan mental, demi meningkatkan kualitas pengetahuan masyarakat mengenai penyembuhan dan gejala penyakit mental;
Ibn Sina, filsuf Persia abad 10 M, dalam salah satu magnum opusnya berjudul “Asy-Syifa” menyebutkan penyakit mental yang dialami oleh individu disebabkan oleh ketidaksempurnaan jiwa manusia memersepsikan objek pengetahuan. Jiwa dalam pandangan Ibn Sina merupakan kesempurnaan pertama yang terdiri dari berbagai potensi, seperti potensi akal, pancaindra, dan khayal. Jika jiwa manusia tidak dapat bekerja secara maksimal, maka manusia tidak dapat merespon suatu permasalahan secara bijak. Akibatnya, individu mengalami gangguan emosional di realitas.
Ibn Miskawaih, pemikir Persia abad 10 M, dalam salah satu karyanya yang berjudul, “Tahzīb al-Akhlāq” menjelaskan kesehatan mental diketahui melalui kondisi bahagia dan penyakit mental diketahui melalui kondisi sedih. Kondisi bahagia dan sedih yang dialami oleh manusia dipengaruhi oleh eksistensi jiwa manusia. Jiwa merupakan keberadaan yang mengetahui, sehingga ragam pengetahuan individu di persepsi oleh jiwa. Jika jiwa tidak mampu memersepsikan suatu objek pengetahuan secara baik, maka kondisi emosional individu akan terganggu.
Al-Ghazali, pemikir Persia abad 11 M, dalam salah satu karyanya berjudul “Ihyā ‘Ulūm al-Dīn” menilai jiwa manusia terdiri dari 2 watak dasar, yaitu baik dan buruk yang ditentukan oleh kondisi spiritual. Jiwa yang sehat, ialah kondisi spiritual yang sempurna, sebaliknya jiwa yang sakit, ialah kondisi spiritual yang kurang sempurna.
Fase Positivis, ditandai dengan masuknya sains dan teknologi dalam kehidupan masyarakat Timur Tengah. Pada fase positivis, masyarakat berpandangan bahwa kesehatan mental bersifat personalistik, yaitu individu membutuhkan arahan dan pandangan dari orang lain, seperti dokter dan psikiater untuk menjelaskan kondisi mental yang dialaminya di realitas. Lebih lanjut, para dokter dan psikiater juga memberikan berbagai resep obat-obatan dan berbagai langkah untuk melakukan terapi dan pencegahan penyakit mental ke arah yang serius.
Berdasarkan ragam penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana terapi mental dalam paradigma masyarakat Timur Tengah mengalami dinamika dari fase ke fase. Pada fase animisme, masyarakat Timur Tengah memahami kesehatan mental individu dipengaruhi oleh eksistensi roh yang menempati keberadaan manusia. Kemudian, pemahaman animisme masyarakat berubah di fase abstrak yang memandang bahwa kondisi mental individu berhubungan dengan kesempurnaan pikiran dan kondisi jiwa. Pada fase abstrak ini, masyarakat Timur Tengah mulai berpikir rasional untuk merespon suatu permasalahan di realitas.
Selanjutnya, wacana kesehatan mental mengalami pergeseran dalam paradigma masyarakat Timur Tengah di fase positivis. Masyarakat Timur Tengah melalui perkembangan ilmu saintis dan teknologi mulai menyikapi permasalahan mental sebagai salah satu problem yang berkaitan dengan minimnya motivasi dan dorongan dari masyarakat sekitar, sehingga para dokter dan psikiater memiliki peran untuk meningkatkan kembali motivasi dan rasa percaya diri individu. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa wacana terapi kesehatan mental memiliki urgensi dalam dinamika pemikiran masyarakat Timur Tengah dengan melihat budaya, diskursus pemikiran, dan perkembangan zaman yang hadir hingga hari ini dan akan sempurna di masa mendatang.
Sumber gambar : Pinterest
Nurul Khair
Ahlul Bait International University
Peserta Lomba Menulis Opini El-Nilein Minor tema "Kesehatan Mental"
0 Comments
Posting Komentar