Gugusan
bintang memandang bumi dan kilau bulan memancarkan warna dengan pantulan yang
menawan, dilengkapi rintik hujan bagaikan sebongkah salju di tengah badai pasir
nan gersang, seakan angkasa ingin menyatakan malam yang istimewa, tapi tidak
bagi Dimas, aura malam ini begitu menakutkan, suara-suara itu masih terbayang
di benaknya, dan terus saja meminta tolong tanpa ia tahu apa yang harus
ditolong. Tetesan-tetesan hujan yang mengenai jendela kaca di depan, membangunkan
Dimas dari halusinasi yang tak berkesudahan, akhir-akhir ini dia merasakan ada
sesuatu yang tidak beres dengan akalnya. Tapi apa? Entahlah, sesuatu yang
mengganggu hari-hari kerja bersama rekan-rekannya.
“Dim,
kenapa ya langit malam itu gelap, padahal banyak bintang yang menerangi?” Rudi
sedari tadi di dekat Dimas. Masih dengan gaya biasanya, kemeja abu-abu panjang
yang tangannya sedikit digulungkan ke atas, setengah duduk dan berdiri di sudut
meja kerjanya.
“Sama
seperti hidupmu, kan? Gelap, haha.” jawab Dimas, sedikit humor yang cocok
untuknya. Pantas saja ia tahu, sudah 10
tahun ia mengenalnya.
“Apa
kau bilang? enak saja.” senyum tipis akrab Rudi
Suasana
malam melingkupi semesta jagat raya, bulan tidak ada, hanya alunan air jatuh ke
tanah yang jadi musiknya. Ruangan kantor mereka seumpama tempat uji nyali yang
memancarkan kegelapan pekat. Dimas sedikit bingung dengan keberadaan hujan, ada
rasa aneh di benaknya, memang betul hujan itu tak bisa ditebak, kadang bisa
menenggelamkan, kadang juga bisa menghancurkan, tapi anehnya selalu ditunggu
dan dibutuhkan semua orang. Lebih aneh lagi, setiap kali dia merasakan
percikan-percikan hujan selalu mengingatkannya kepada masa lalu.
“Jadi
kenapa?”
“Apa?”
Dimas kembali tersadar ke dunia nyata, setelah ruhnya dibawa lari dalam
lamunan. “Oh, pertanyaanmu yang tadi?” lanjutnya
Istilahnya
Paradoks Olbers, dulu astronom mengira kalau semesta itu statis, seiring
berkembangnya teknologi semesta itu bukan bersifat statis melainkan dinamis,
jadi karena itulah kenapa malam itu gelap, walaupun banyak bintang yang
menerangi sebabnya bintang-bintang itu punya sifat mengembang dan menjauh.
Pikirannya pun menyusun kalimatnya, dia tahu setelah tahun lalu membaca hal
yang serupa, tapi belum sempat dia menjelaskan, dia terburu-buru menjawab, “Hanya
Tuhan pastinya yang tahu.” wajah serius bercampur canda, dengan beberapa
pertimbangan akhirnya dia memilih kalimat tersebut, karena dia tahu sedang
berbicara dengan siapa, temannya yang sangat menyukai humor. “Hahaha,” mereka
berdua tertawa bersama, memecah heningnya malam dalam ruangan dan melawan
suara rintik hujan di luar.
Hari-hari
dilalui dengan berita yang tidak menyenangkan, banyak masyarakat dari kelas
menengah sampai ke bawah mulai gerah dengan kebijakan-kebijakan yang
diluncurkan oleh penguasa. Bukan mengapa, karena banyak kebijakan tidak
berpihak kepada mereka justru berpihak kepada orang-orang kelas atas bahkan
orang asing sekalipun. Memang betul katanya, di negeri ini orang kaya semakin
kaya, orang miskin semakin miskin. Titik puncaknya ketika mahasiswa dari
berbagai kampus mulai melakukan mogok kuliah sampai demo di depan gedung-gedung
mewah yang dibangun dari uang rakyat. Mahasiswa membawa berbagai tuntutan yang
ingin disampaikan, berlebihan? Tidak juga, biasanya tuntutan itu sebagian
mewakili masyarakat umum. Demo mulai
gencar berhari-hari. Tak ketinggalan berita tersebut dimanfaatkan para jurnalis
untuk berbagai kepentingan dengan ragam sudut pandang yang berbeda.
Jalanan
sesak, padat, ramai dan berasap. Di mana-mana suara lengkingan orasi digemakan,
bendera dikibarkan, mobil angkutan umum jadi tempat berdiri para orator, dengan
menggenggam toa sebagai pengeras suaranya. Asap yang mengepul-ngepul diciptakan
dari ban yang dibakar para mahasiswa. Sebagian lagi berteriak menggenggam
spanduk bertuliskan kalimat-kalimat kritik sarkastik. Meskipun demikian
bahayanya, Indah dan Royyan tetap memberanikan diri untuk meliput langsung
kelapangan walaupun sebenarnya Dimas setengah hati memperbolehkannya. Tidak sampai
di sana, dengan kemampua
jurnalis yang bisa dikatakan hampir mirip dengan kemampuan yang
dimiliki oleh intelejen, Dimas kemudian mencoba menjadi mata-mata amatiran
karena bagaimana pun, mereka masih menjadi adiknya. Pengintaian pun dimulai,
Dimas mengikuti dari belakang mengawasi mereka berdua, dia tidak tega
membiarkan Indah satu-satunya adik perempuannya sampai kenapa-napa.
Di
dunia yang cukup dinamis seperti sekarang, kekuatan media massa tidak bisa
dianggap sepele begitu saja, alasannya tentu sangat beragam. Setidaknya ada dua
hal penting agar suatu negara bisa menjadi negara adidaya. Pertama, secara
fisik diperankan oleh kuat lemah militernya lalu yang kedua, secara pemikiran
di tentukan seberapa besar pengaruh medianya. Lihatlah media massa disejajarkan
dengan kekuatan militer, sesuatu yang sangat menakutkan. Dia juga bisa
mengudeta kesadaran publik, membentuk pikiran massa, dan mengarahkan opini
sesuai kepentingan. Salah satu tugas berat dari jurnalis bisa sampai
membahayakan nyawanya sendiri. Indah tahu bahaya yang mungkin akan diterimanya
nanti di lapangan. Sekali lagi walaupun
dia perempuan, rasa takut bukan menjadi penghalang utamanya.
“Huh.”
Dimas mengerutkan kening, kemudian menggelengkan kepalanya. Kejadian itu
kembali menghantuinya.
“Ada
apa Dim?” selidik Rudi “Jangan kebanyakan melamun,”
tambahnya.
“Mulai
besok aku berhenti dari sini ”
“Hei,
apa maksudmu?”
Dimas
meneguk tetesan terakhir tehnya, berbanding terbalik dengan punya Rudi yang
sudah lama habis. Rutinitas mereka sudah bisa ditebak semua orang, tidak jauh
dari segelas teh hangat sebagai selingan obrolan ringan mereka. Pertemanan yang
begitu tulus, terbukti 10 tahun yang lalu perkenalan itu dimulai, hingga
sekarang masih terlihat dipenuhi candaan dan keakraban, Dimas dan Rudi sangat
dekat sekali, sampai pernah rekan kerjanya menjuluki mereka sebagai dua sisi
koin yang tak terpisahkan, saling melengkapi satu sama lain. Tampak dari mereka
berdua tidak menunjukan kebosanan yang berarti.
Kobaran
api bersukaria melahap mobil angkutan umum, gas air mata dilemparkan di
sana-sini, entah dari mana datangnya lemparan tersebut.
Keadaan semakin kacau, manusia berhamburan di sana-sini,
saling melempar batu, petugas baku hantam dengan mahasiswa, sebagian mahasiswa
nakal juga mengeluarkan rantai, arit, dan semua jenis senjata tajam bisa
ditemui untuk alat berperang. Sangat rusuh seperti lebah tawuran dengan koloni
semut. Degub hati Dimas berdetak kencang bagaikan ingin mengatakan sesuatu
tetapi tak bisa, napasnya ngos-ngosan, kucur keringat membasahi sebagian
kepala, mulutnya bersuara lirih “Huh, huh, huh,” tidak lama setelah berkecamuk
hebat di dalam otaknya tentang apa yang harus dilakukan, dia akhirnya bergerak
menepi dalam rimbunan taman semak-semak di dekat sana.
Kehidupan
jurnalis memang penuh dengan tantangan bahaya dan ancaman. Betul, tidak ada
kehidupan tanpa ada tantangan sebagai proses dinamika alam. Tanpa dinamika
bukan saja tidak ada perubahan, tetapi sebagai tanda tidak ada lagi kehidupan.
Seseorang yang bekerja di perusahaan pers selalu dalam proses gejolak dinamika
yang senantiasa bersua dengan tantangan, bukan hanya tantangan dari luar tapi
juga dari dalamnya. Bahkan banyak juga perusahaan pers yang terbelenggu dengan
paham sekulerisme, pluralisme, liberalisme, atau SEPILIS, suatu paham yang
sengaja disebarkan untuk memecah-belah persatuan. Yang mereka lakukan sungguh
menjijikkan, memanipulasi berita, membuat propaganda, menyuarakan sesuai
kepentingan mereka saja, tak peduli pengaruh yang mereka timbulkan
Bagi
Dimas semua terlihat seperti mayat, beberapa terkapar tak bernafas di jalanan,
berlumur darah, debu dan kerikil, sungguh dahsyat. Yang lain, seperti mayat
yang bergerak, raganya ada dan hidup,
tapi hatinya dikuasai akal. Dari jauh terdengar suara seperti ada yang
berbisik, tangisan halus, suaranya sangat khas ditelinga Dimas, "Tolong,
tolong!” sama seperti suara yang beberapa hari ini menggangunya. Tepat, tidak
lama berselang suara itu mulai kedengaran dari mulut sosok wanita, wanita itu
mukanya setengah tertutupi darah tak bisa dikenali, bajunya robek, darah kering
menyebar di celananya. Namun, bisa dipastikan wanita itu adalah seorang
jurnalis. Setelah beberapa langkah dia mendekati, ternyata wanita itu adalah
Indah, adiknya sendiri, terlihat lemah, terkulai, dan hilang kesadaran. Ingatan
itu menempel kuat dalam memori Dimas, bagaimana teriris-iris hatinya ketika
menemukannya pada saat itu.
“Dim?”
Rudi menegaskan pertanyaannya tadi. Menyadarkannya dari lamunan.
“Kau
tahu, Rud? Perusahaan ini sudah berbeda dari dulu.”
“Apa
maksudmu? Saya, saya belum mengerti.” mukanya bingung atas apa yang disampaikan
Dimas.
“Seharusnya
dari dulu saya sadar akan hal ini, perusahaan ini sengaja didirikan atas
kepentingan politik dan ekonomi semata, bukan atas kepentingan idealis. Ah,
idealis? Haha. Omong kosong belaka, hanya kata pemanis pelengkap mulut.
Padahal, ruh perusahaan pers harusnya adalah idealisme.”
“Saya
belum, belum mengerti apa yang kamu maksud, Dim.” tukas Rudi.
Suara
ambulans masih terdengar dari luar, di sini suaranya lebih hening daripada di tempat para mahasiswa berorasi. Hening
begitu menenangkan. Para pasien di dorong masuk ke ruang gawat darurat, dokter
bergegas, perawat sangat sibuk, bolak-balik dengan pakaian khas rumah sakit. Di
ruang tunggu, Dimas berjalan lalu-lalang, mukanya cemas, napasnya tidak karuan,
pikirannya bertumpuk pertanyaan, hatinya gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi?
apakah Indah akan baik-baik saja? Bertanya-tanya dalam hati.
Terlepas
dari sisi kemanusiaan, sebenarnya seberapa penting seorang jurnalis dalam
negeri ini? Di negara yang berdiri dan menganut demokrasi, perusahaan pers
merupakan bagian dari sistem demokrasi tersebut. Sebagaimana hakim dalam
lembaga peradilan, jurnalis juga mensyaratkan adanya Independensi, yang berarti
memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur
tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan
pers. Di dalam sistem demokrasi, lembaga peradilan menjadi salah satu bagian
dari tiga prinsip pembagian kekuasaan, trias politica, perusahaan pers
juga diyakini menjadi syarat utama penunjang demokrasi, yaitu diposisikan
sebagai pilar ke empat, The Fourth Estate. Begitu penting seorang
jurnalis.
Bagaimanapun
orang menilai, Bagi Dimas sosok Indah bukan hanya seorang jurnalis yang
pemberani, tetapi juga adik yang penyayang, wanita yang kuat, dan keluarga
satu-satunya di sini. Semua orang cemas dengan penuh pengharapan, sekali lagi
hanya doa yang mampu mereka langitkan. Masih menunggu kabar dari dokter. “Maaf,
nyawanya tidak bisa tertolong” kata dokter. Langit seperti terbelah dua,
hatinya bagaikan tersambar petir di siang bolong, mulutnya kaku tak bisa
berkata-kata, tubuhnya pucat pasi, keringat dingin, pikirannya kosong, air
matanya jatuh membasahi kemejanya, walaupun sebenarnya dia lupa bagaimana
caranya menangis, karena begitu lama pipinya tak tersentuh air mata. Dimas baru
ingat terakhir kali bebicara dengannya, dia memarahi habis-habisan, Dan dia
bahkan belum sempat meminta maaf kepadanya. Memori yang begitu kuat dalam
pengkhayalannya.
“Kau
masih ingat perkataan Malcom X. yang kusampaikan minggu lalu?” Dimas balik
bertanya.
“Media
adalah entitas paling ampuh di jagat
ini. Media memiliki kemampuan menjadikan orang bersalah sebagai yang tak
berdosa, dan sebaliknya. Di situlah letak kekuatannya, karena media
mengendalikan pikiran massa.”
“Yah,
kata kuncinya, mengendalikan pikiran massa. Dari waktu ke waktu dunia semakin
menyempit rasanya, bumi tempat kita berpijak merupakan sasaran empuk bagi kaum
kekirian untuk menguasai dunia. Sampai pun perjuangan mereka mulai merambah
kepada media massa.”
“Kau
menuduh perusahaan ini media berhaluan kekirian?” tanya Rudi.
“Lebih
tepatnya, boneka yang dikendalikan. Memberitakan sesuai kepentingan mereka
saja” Dimas menuturkan “Tapi ada yang lebih menyakitkan dari itu” lanjutnya.
“Apa?”
sanggah Rudi.
“Kematian
Indah sudah direncanakan, dan yang menjadi dalang ini semua adalah pemilik
perusahaan ini.”
“Tunggu,
tunggu, kematian itu adalah takdir, jadi tidak usah menyalahkan orang lain”
“Yah,
kematian itu takdir” jawab Dimas, berhenti sejenak lalu meneruskan kalimatnya,
“tapi bagaimana menjemput takdir itu adalah pilihan.”
Rudi
menatap sahabatnya yang begitu serius dengan perkataannya. Mengejutkan,
walaupun sangat normal bagi Rudi perkataan seperti itu keluar dari mulut
seorang Dimas karena dia tahu bocah 10 tahun yang berkenalan dengannya waktu
itu, adalah orang yang suka menantang dunia demi kebenaran. 2 jam lewat obrolan
mereka berlangsung seolah baru beberapa menit yang lalu mereka memulainya.
Indah
adalah seorang jurnalis yang baik, memberitakan sesuai hati nurani tanpa ada
kepentingan tertentu, reputasinya begitu sempurna, seperti itulah rekan-rekan
kerjanya mengenalnya. Karena kejujuran dan keberaniannya, lalu kemudian banyak
tumbuh bibit-bibit kebencian dari orang lain, termasuk pak Bagus seorang lelaki
berumur 67 tahunan pemilik perusahaan ini. Nama Indah masuk daftar hitam
kamusnya, hampir segala cara dan upaya telah dia tempuh untuk memadamkan
semangat Indah yang begitu menyala. Desas-desus kabar tentang perusahaannya
yang berhaluan kekirian memang terbukti apa adanya, untuk mencapai tujuan
tersebut harus ada beberapa orang yang disingkirkan dari perusahaannya, salah
satu korbannya adalah Indah.
Selepas
tahun ke-9 terakhir berada di perusahaan, ambisi untuk menyingkirkan Indah
begitu terlihat. Bersama teman politiknya, pak Bagus kemudian membuat
kesepakatan yang tentu saja hanya mereka yang tahu isi dari kesepakatan
tersebut, ini yang kemudian dicurigai sebagai rencana melenyapkan Indah dan
teman-temannya. Waktu berganti, kabar burung mengabarkan bahwa mereka sengaja
menjebak Indah, Royyan, dan teman-teman lainnya untuk ikut meliput demo yang
berakhir dengan kerusuhan, mereka menyewa orang untuk menghabisi para jurnalis
baik tersebut. Bagaimana pun, orang melihatnya sebagai suatu kecelakaan semata
tanpa ada unsur kesengajaan.
Dimas dan Rudi kemudian menyadari bahwa kisah inilah yang membuat pergulatan kata disertai perenungan mereka mulai selesai, titik ini mungkin adalah percakapan terakhir dalam ruangan ini, dari sini mereka memahami bahwa makna kata perpisahan sekiranya begitu menyakitkan karena selalu berjalan selaras dengan kerinduan yang tentu saja akan menumbuhkan rasa menunggu untuk sebuah kepastian dalam pertemuan yang akan datang.
Toni Suhendra
Mahasiswa Gabra Scientific College
0 Comments
Posting Komentar