Hujan dan Secangkir Teh II: Melawan Sakit

 



Akal yang berpikir kejam, memecah menjadi logika-logika yang mengalir tajam, dengan analisis dan hipotesis yang mencekam, sehingga membuat nalar-nalar hidup dalam kelam, begitulah satu kepala mengubah dunia menjadi padam dan hitam.

 

Gugusan bintang memandang bumi dan kilau bulan memancarkan warna dengan pantulan yang menawan, dilengkapi rintik hujan bagaikan sebongkah salju di tengah badai pasir nan gersang, seakan angkasa ingin menyatakan malam yang istimewa, tapi tidak bagi Dimas, aura malam ini begitu menakutkan, suara-suara itu masih terbayang di benaknya, dan terus saja meminta tolong tanpa ia tahu apa yang harus ditolong. Tetesan-tetesan hujan yang mengenai jendela kaca di depan, membangunkan Dimas dari halusinasi yang tak berkesudahan, akhir-akhir ini dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan akalnya. Tapi apa? Entahlah, sesuatu yang mengganggu hari-hari kerja bersama rekan-rekannya.

“Dim, kenapa ya langit malam itu gelap, padahal banyak bintang yang menerangi?” Rudi sedari tadi di dekat Dimas. Masih dengan gaya biasanya, kemeja abu-abu panjang yang tangannya sedikit digulungkan ke atas, setengah duduk dan berdiri di sudut meja kerjanya.

“Sama seperti hidupmu, kan? Gelap, haha.” jawab Dimas, sedikit humor yang cocok untuknya. Pantas  saja ia tahu, sudah 10 tahun ia mengenalnya.

“Apa kau bilang? enak saja.” senyum tipis akrab Rudi

Suasana malam melingkupi semesta jagat raya, bulan tidak ada, hanya alunan air jatuh ke tanah yang jadi musiknya. Ruangan kantor mereka seumpama tempat uji nyali yang memancarkan kegelapan pekat. Dimas sedikit bingung dengan keberadaan hujan, ada rasa aneh di benaknya, memang betul hujan itu tak bisa ditebak, kadang bisa menenggelamkan, kadang juga bisa menghancurkan, tapi anehnya selalu ditunggu dan dibutuhkan semua orang. Lebih aneh lagi, setiap kali dia merasakan percikan-percikan hujan selalu mengingatkannya kepada masa lalu.

“Jadi kenapa?”

“Apa?” Dimas kembali tersadar ke dunia nyata, setelah ruhnya dibawa lari dalam lamunan. “Oh, pertanyaanmu yang tadi?” lanjutnya

Istilahnya Paradoks Olbers, dulu astronom mengira kalau semesta itu statis, seiring berkembangnya teknologi semesta itu bukan bersifat statis melainkan dinamis, jadi karena itulah kenapa malam itu gelap, walaupun banyak bintang yang menerangi sebabnya bintang-bintang itu punya sifat mengembang dan menjauh. Pikirannya pun menyusun kalimatnya, dia tahu setelah tahun lalu membaca hal yang serupa, tapi belum sempat dia menjelaskan, dia terburu-buru menjawab, “Hanya Tuhan pastinya yang tahu.” wajah serius bercampur canda, dengan beberapa pertimbangan akhirnya dia memilih kalimat tersebut, karena dia tahu sedang berbicara dengan siapa, temannya yang sangat menyukai humor. “Hahaha,” mereka berdua tertawa bersama, memecah heningnya malam dalam ruangan dan melawan suara  rintik hujan di luar.

Hari-hari dilalui dengan berita yang tidak menyenangkan, banyak masyarakat dari kelas menengah sampai ke bawah mulai gerah dengan kebijakan-kebijakan yang diluncurkan oleh penguasa. Bukan mengapa, karena banyak kebijakan tidak berpihak kepada mereka justru berpihak kepada orang-orang kelas atas bahkan orang asing sekalipun. Memang betul katanya, di negeri ini orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin. Titik puncaknya ketika mahasiswa dari berbagai kampus mulai melakukan mogok kuliah sampai demo di depan gedung-gedung mewah yang dibangun dari uang rakyat. Mahasiswa membawa berbagai tuntutan yang ingin disampaikan, berlebihan? Tidak juga, biasanya tuntutan itu sebagian mewakili masyarakat umum.  Demo mulai gencar berhari-hari. Tak ketinggalan berita tersebut dimanfaatkan para jurnalis untuk berbagai kepentingan dengan ragam sudut pandang yang berbeda.

Jalanan sesak, padat, ramai dan berasap. Di mana-mana suara lengkingan orasi digemakan, bendera dikibarkan, mobil angkutan umum jadi tempat berdiri para orator, dengan menggenggam toa sebagai pengeras suaranya. Asap yang mengepul-ngepul diciptakan dari ban yang dibakar para mahasiswa. Sebagian lagi berteriak menggenggam spanduk bertuliskan kalimat-kalimat kritik sarkastik. Meskipun demikian bahayanya, Indah dan Royyan tetap memberanikan diri untuk meliput langsung kelapangan walaupun sebenarnya Dimas setengah hati memperbolehkannya. Tidak sampai di sana, dengan kemampua jurnalis yang bisa dikatakan hampir mirip dengan kemampuan yang dimiliki oleh intelejen, Dimas kemudian mencoba menjadi mata-mata amatiran karena bagaimana pun, mereka masih menjadi adiknya. Pengintaian pun dimulai, Dimas mengikuti dari belakang mengawasi mereka berdua, dia tidak tega membiarkan Indah satu-satunya adik perempuannya sampai kenapa-napa.

Di dunia yang cukup dinamis seperti sekarang, kekuatan media massa tidak bisa dianggap sepele begitu saja, alasannya tentu sangat beragam. Setidaknya ada dua hal penting agar suatu negara bisa menjadi negara adidaya. Pertama, secara fisik diperankan oleh kuat lemah militernya lalu yang kedua, secara pemikiran di tentukan seberapa besar pengaruh medianya. Lihatlah media massa disejajarkan dengan kekuatan militer, sesuatu yang sangat menakutkan. Dia juga bisa mengudeta kesadaran publik, membentuk pikiran massa, dan mengarahkan opini sesuai kepentingan. Salah satu tugas berat dari jurnalis bisa sampai membahayakan nyawanya sendiri. Indah tahu bahaya yang mungkin akan diterimanya nanti  di lapangan. Sekali lagi walaupun dia perempuan, rasa takut bukan menjadi penghalang utamanya.

“Huh.” Dimas mengerutkan kening, kemudian menggelengkan kepalanya. Kejadian itu kembali menghantuinya.

“Ada apa Dim?” selidik Rudi “Jangan kebanyakan melamun,” tambahnya.

“Mulai besok aku berhenti dari sini

“Hei, apa maksudmu?”

Dimas meneguk tetesan terakhir tehnya, berbanding terbalik dengan punya Rudi yang sudah lama habis. Rutinitas mereka sudah bisa ditebak semua orang, tidak jauh dari segelas teh hangat sebagai selingan obrolan ringan mereka. Pertemanan yang begitu tulus, terbukti 10 tahun yang lalu perkenalan itu dimulai, hingga sekarang masih terlihat dipenuhi candaan dan keakraban, Dimas dan Rudi sangat dekat sekali, sampai pernah rekan kerjanya menjuluki mereka sebagai dua sisi koin yang tak terpisahkan, saling melengkapi satu sama lain. Tampak dari mereka berdua tidak menunjukan kebosanan yang berarti.

Kobaran api bersukaria melahap mobil angkutan umum, gas air mata dilemparkan di sana-sini, entah dari mana datangnya lemparan tersebut. Keadaan semakin kacau, manusia berhamburan di sana-sini, saling melempar batu, petugas baku hantam dengan mahasiswa, sebagian mahasiswa nakal juga mengeluarkan rantai, arit, dan semua jenis senjata tajam bisa ditemui untuk alat berperang. Sangat rusuh seperti lebah tawuran dengan koloni semut. Degub hati Dimas berdetak kencang bagaikan ingin mengatakan sesuatu tetapi tak bisa, napasnya ngos-ngosan, kucur keringat membasahi sebagian kepala, mulutnya bersuara lirih “Huh, huh, huh,” tidak lama setelah berkecamuk hebat di dalam otaknya tentang apa yang harus dilakukan, dia akhirnya bergerak menepi dalam rimbunan taman semak-semak di dekat sana.

Kehidupan jurnalis memang penuh dengan tantangan bahaya dan ancaman. Betul, tidak ada kehidupan tanpa ada tantangan sebagai proses dinamika alam. Tanpa dinamika bukan saja tidak ada perubahan, tetapi sebagai tanda tidak ada lagi kehidupan. Seseorang yang bekerja di perusahaan pers selalu dalam proses gejolak dinamika yang senantiasa bersua dengan tantangan, bukan hanya tantangan dari luar tapi juga dari dalamnya. Bahkan banyak juga perusahaan pers yang terbelenggu dengan paham sekulerisme, pluralisme, liberalisme, atau SEPILIS, suatu paham yang sengaja disebarkan untuk memecah-belah persatuan. Yang mereka lakukan sungguh menjijikkan, memanipulasi berita, membuat propaganda, menyuarakan sesuai kepentingan mereka saja, tak peduli pengaruh yang mereka timbulkan

Bagi Dimas semua terlihat seperti mayat, beberapa terkapar tak bernafas di jalanan, berlumur darah, debu dan kerikil, sungguh dahsyat. Yang lain, seperti mayat yang bergerak,  raganya ada dan hidup, tapi hatinya dikuasai akal. Dari jauh terdengar suara seperti ada yang berbisik, tangisan halus, suaranya sangat khas ditelinga Dimas, "Tolong, tolong!” sama seperti suara yang beberapa hari ini menggangunya. Tepat, tidak lama berselang suara itu mulai kedengaran dari mulut sosok wanita, wanita itu mukanya setengah tertutupi darah tak bisa dikenali, bajunya robek, darah kering menyebar di celananya. Namun, bisa dipastikan wanita itu adalah seorang jurnalis. Setelah beberapa langkah dia mendekati, ternyata wanita itu adalah Indah, adiknya sendiri, terlihat lemah, terkulai, dan hilang kesadaran. Ingatan itu menempel kuat dalam memori Dimas, bagaimana teriris-iris hatinya ketika menemukannya pada saat itu.

“Dim?” Rudi menegaskan pertanyaannya tadi. Menyadarkannya dari lamunan.

“Kau tahu, Rud? Perusahaan ini sudah berbeda dari dulu.”

“Apa maksudmu? Saya, saya belum mengerti.” mukanya bingung atas apa yang disampaikan Dimas.

“Seharusnya dari dulu saya sadar akan hal ini, perusahaan ini sengaja didirikan atas kepentingan politik dan ekonomi semata, bukan atas kepentingan idealis. Ah, idealis? Haha. Omong kosong belaka, hanya kata pemanis pelengkap mulut. Padahal, ruh perusahaan pers harusnya adalah idealisme.”

“Saya belum, belum mengerti apa yang kamu maksud, Dim.” tukas Rudi.

Suara ambulans masih terdengar dari luar, di sini suaranya lebih hening daripada  di tempat para mahasiswa berorasi. Hening begitu menenangkan. Para pasien di dorong masuk ke ruang gawat darurat, dokter bergegas, perawat sangat sibuk, bolak-balik dengan pakaian khas rumah sakit. Di ruang tunggu, Dimas berjalan lalu-lalang, mukanya cemas, napasnya tidak karuan, pikirannya bertumpuk pertanyaan, hatinya gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? apakah Indah akan baik-baik saja? Bertanya-tanya dalam hati.

Terlepas dari sisi kemanusiaan, sebenarnya seberapa penting seorang jurnalis dalam negeri ini? Di negara yang berdiri dan menganut demokrasi, perusahaan pers merupakan bagian dari sistem demokrasi tersebut. Sebagaimana hakim dalam lembaga peradilan, jurnalis juga mensyaratkan adanya Independensi, yang berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers. Di dalam sistem demokrasi, lembaga peradilan menjadi salah satu bagian dari tiga prinsip pembagian kekuasaan, trias politica, perusahaan pers juga diyakini menjadi syarat utama penunjang demokrasi, yaitu diposisikan sebagai pilar ke empat, The Fourth Estate. Begitu penting seorang jurnalis.

Bagaimanapun orang menilai, Bagi Dimas sosok Indah bukan hanya seorang jurnalis yang pemberani, tetapi juga adik yang penyayang, wanita yang kuat, dan keluarga satu-satunya di sini. Semua orang cemas dengan penuh pengharapan, sekali lagi hanya doa yang mampu mereka langitkan. Masih menunggu kabar dari dokter. “Maaf, nyawanya tidak bisa tertolong” kata dokter. Langit seperti terbelah dua, hatinya bagaikan tersambar petir di siang bolong, mulutnya kaku tak bisa berkata-kata, tubuhnya pucat pasi, keringat dingin, pikirannya kosong, air matanya jatuh membasahi kemejanya, walaupun sebenarnya dia lupa bagaimana caranya menangis, karena begitu lama pipinya tak tersentuh air mata. Dimas baru ingat terakhir kali bebicara dengannya, dia memarahi habis-habisan, Dan dia bahkan belum sempat meminta maaf kepadanya. Memori yang begitu kuat dalam pengkhayalannya.

“Kau masih ingat perkataan Malcom X. yang kusampaikan minggu lalu?” Dimas balik bertanya.

“Media adalah entitas paling ampuh  di jagat ini. Media memiliki kemampuan menjadikan orang bersalah sebagai yang tak berdosa, dan sebaliknya. Di situlah letak kekuatannya, karena media mengendalikan pikiran massa.”

“Yah, kata kuncinya, mengendalikan pikiran massa. Dari waktu ke waktu dunia semakin menyempit rasanya, bumi tempat kita berpijak merupakan sasaran empuk bagi kaum kekirian untuk menguasai dunia. Sampai pun perjuangan mereka mulai merambah kepada  media massa.”

“Kau menuduh perusahaan ini media berhaluan kekirian?” tanya Rudi.

“Lebih tepatnya, boneka yang dikendalikan. Memberitakan sesuai kepentingan mereka saja” Dimas menuturkan “Tapi ada yang lebih menyakitkan dari itu” lanjutnya.

“Apa?” sanggah Rudi.

“Kematian Indah sudah direncanakan, dan yang menjadi dalang ini semua adalah pemilik perusahaan ini.”

“Tunggu, tunggu, kematian itu adalah takdir, jadi tidak usah menyalahkan orang lain”

“Yah, kematian itu takdir” jawab Dimas, berhenti sejenak lalu meneruskan kalimatnya, “tapi bagaimana menjemput takdir itu adalah pilihan.”

Rudi menatap sahabatnya yang begitu serius dengan perkataannya. Mengejutkan, walaupun sangat normal bagi Rudi perkataan seperti itu keluar dari mulut seorang Dimas karena dia tahu bocah 10 tahun yang berkenalan dengannya waktu itu, adalah orang yang suka menantang dunia demi kebenaran. 2 jam lewat obrolan mereka berlangsung seolah baru beberapa menit yang lalu mereka memulainya.

Indah adalah seorang jurnalis yang baik, memberitakan sesuai hati nurani tanpa ada kepentingan tertentu, reputasinya begitu sempurna, seperti itulah rekan-rekan kerjanya mengenalnya. Karena kejujuran dan keberaniannya, lalu kemudian banyak tumbuh bibit-bibit kebencian dari orang lain, termasuk pak Bagus seorang lelaki berumur 67 tahunan pemilik perusahaan ini. Nama Indah masuk daftar hitam kamusnya, hampir segala cara dan upaya telah dia tempuh untuk memadamkan semangat Indah yang begitu menyala. Desas-desus kabar tentang perusahaannya yang berhaluan kekirian memang terbukti apa adanya, untuk mencapai tujuan tersebut harus ada beberapa orang yang disingkirkan dari perusahaannya, salah satu korbannya adalah Indah.

Selepas tahun ke-9 terakhir berada di perusahaan, ambisi untuk menyingkirkan Indah begitu terlihat. Bersama teman politiknya, pak Bagus kemudian membuat kesepakatan yang tentu saja hanya mereka yang tahu isi dari kesepakatan tersebut, ini yang kemudian dicurigai sebagai rencana melenyapkan Indah dan teman-temannya. Waktu berganti, kabar burung mengabarkan bahwa mereka sengaja menjebak Indah, Royyan, dan teman-teman lainnya untuk ikut meliput demo yang berakhir dengan kerusuhan, mereka menyewa orang untuk menghabisi para jurnalis baik tersebut. Bagaimana pun, orang melihatnya sebagai suatu kecelakaan semata tanpa ada unsur kesengajaan.

Dimas dan Rudi kemudian menyadari bahwa kisah inilah yang membuat pergulatan kata disertai perenungan mereka mulai selesai, titik ini mungkin adalah percakapan terakhir dalam ruangan ini, dari sini mereka memahami bahwa makna kata perpisahan sekiranya begitu menyakitkan karena selalu berjalan selaras dengan kerinduan yang tentu saja akan menumbuhkan rasa menunggu untuk sebuah kepastian dalam pertemuan yang akan datang.


Sumber gambar: Pixabay.com

Toni Suhendra

Mahasiswa Gabra Scientific College

 

 

 


Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak