![]() |
“Gimana Il, setelah ini acara apa?”
Tanya Husein di sebelahku saat geladi Panggung Gembira.
“Habis
ini nasyid, Sen,”
jawabku sembari melihat ke
papan urutan acara.
“Kalau
gitu siap-siap Il,
kita taruh 4 mik superlux. Dari seberang nanti Sulthan sama Nova siap naruh 2. Jadi ente
siap-siap juga ya Il?”
Ia memberi komando seraya memeriksa selebaran berjilid.
“Oke, Sen. Eh ente lagi
buat apa itu?”
“Oh,
ini skema mik Il, supaya setiap acara kita
udah tahu harus ngeletakin stander mic berapa, mik berapa, wireless
berapa, dan yang lain-lain.”
“idzan
likay sur’ah Sen?” [1]
“SOOHEH
PEE,”[2]
dia menganggukkan kepalanya.
“Entar
itu skema miknya dilaporin juga Sen? Atau buat pegangan CID aja?”
“Tob’an
[3] ana laporin ke musryif Il.
Operator mixer kan perlu juga, bukan yang di panggung aja.”
“Ini
yang ente buat udah fix, Sen?”
“Belum
Il, hari ini lagi ana cocokin
dulu. Eh itu siap-siap bentar lagi acaranya selesai!”
Aku
bergegas mengambil mik, bersiap siaga.
Geladi ke-4 malam itu, masih banyak
evaluasi-evaluasi yang diberikan pembimbing. Dari ketanggapan peserta untuk ke luar
masuk panggung, kekompakan tarian-tarian, konsep yang belum matang, dan hal-hal
yang lainya. Setelah acara selesai, tak lupa Husein melaporkan skema mik ke Ustaz Geraudi dan Ustaz Akhlis.
Hari pementasan semakin dekat. Tak
terasa hanya tersisa dua minggu lagi. Santri akhir pondok semakin diuji dengan
waktu yang sempit dan konsep acara yang masih abstrak. Tetapi mereka tidak
menyerah, dengan sedikit waktu dan keadaan yang ada, mereka tetap mengeluarkan
kemampuanya semaksimal mungkin. Namun, ada saja beberapa dari anak-anak itu
yang tak peduli, hanya sekedar hadir di tempat latihan, masih bingung memilih
acara apa, sampai-sampai ada yang tidak tertarik ikut tampil. Hal itu disadari
oleh para pembimbing.
Sampai
datanglah malam terakhir untuk berkumpul di aula
dengan pembimbing, seluruh siswa kelas 6 ditahan di dalam oleh mereka, tidak
diperbolehkan kembali ke kamar. Lampu-lampu dimatikan, para musryif menyebar
mengelilingi anak-anak, dan Ustaz Tio membuka pertemuan.
“Bismillahirrahmanirrahim.. Assalamualaikum
warahmatullahi wabaraakatuh,” beliau mengeluarkan suara dalam
yang mencekam tanpa menggunakan pengeras suara.
“Walaikumussalam
warahmatullahi wabaraakatuh,”
“Kelas enam kalian ini maunya apa? H-14 masih belum
ada yang benar. Latihannya gak serius, lagu-lagu belum jadi. Dan yang
paling menyedihkan adalah ada yang belum punya acara sampai saat ini. Sekarang Ustaz mau tau, silahkan yang
belum ikut acara atau latihan apa pun berdiri!”
Beberapa dari anak-anak perlahan menegakkan raganya.
Adapun yang ragu-ragu.
“JUJUR YANG BELUM PUNYA ACARA BERDIRI!” Sahut salah
satu pembimbing.
Sontak mereka mengaku satu persatu.
“Ketua Panggung Gembira, ketua marhalah[4]
lihatlah ini teman-teman kalian.” Tegas Ustaz Tio
Mata-mata kelas enam pun spontan menoleh memeriksanya.
“SAMPAH-SAMPAH PERJUANGAN!” Ustaz mendidih amarahnya.
“Tega-teganya
saat yang lain capek
latihan, mikirin bagaimana kesuksesan acara, pembimbing sampai tengah malam
masih kumpul ngomongin acara. Kok masih kalian seperti ini?!
Orang-orang yang berdiri, ke samping semuanya!”
Bergegeas mereka ke sebelah barat aula, telah ada
sepasang musryif yang menunggu.
Ustaz Tio melanjutkan evaluasinya. Dia
memberikan penegasan soal latihan, mental agar tidak mudah menyerah dengan
keadaan, dan harus tetap yakin semuanya pasti bisa. Pembimbing tunggal dari
bagian pengasuhan itu mengingatkan kami, agar sadar bahwasanya acara ini
semata-mata sebagai bentuk perjuangan untuk pondok dan agama Islam dengan sepenuh
tenaga. Tak lama setelah itu, pertemuan
itu akhirnya ditutup dengan damai.
Rekan-rekan CID juga turut berperan
penting di acara-acara Panggung Gembira, tidak hanya fokus pada sound system
saja. Revo yang fokus di musikus bersama Najieb, Nafi konsentrasi dengan
latihan membawa acara. Agilatul, Bayu, Fawwas, Asryof, dan Lalu yang turun ke
dalam drama. Bahkan Husein yang sibuk dengan teknisi sound ikut serta
dalam acara simetry mirror,
penampilan manusia-manusia kembar di pondok. Dan sisanya fokus mengontrol
pengeras suara.
Tersisa satu pekan lagi menuju pagelaran seni akbar 2017. Hari-hari ini
langit tak bersahabat, terus murung dengan awanya yang gelap. Berkali-kali geladi
kotor kami dibatalkan karena takut hujan deras akan datang. Hingga kurang lima
hari lagi, para pembimbing dan santri kelas 6 yakin bisa mengadakanya. Belum
selesai acara-acara ditampilkan, rintikan air langit sudah menyapa. Terpaksa
acaranya dihentikan. Beruntungnya saat geladi terakhir semesta mendukung,
segalanya berjalan lancar, bahkan bapak pimpinan
pondok menyempatkan hadir
di tengah acara Drama Arena (DA).
Menara
besi dua lantai untuk operator mixer
dan alat-alat multimedia yang lainya telah siap di depan panggung. Sepasang
regging pun sudah berdiri tegak semenjak 2 malam sebelum acara DA. Aku, Aidil,
Husein, Wildan, Sulthan,
dan beberapa teman lainnya dengan tanggap memanjat regging lalu memasang array
satu persatu secara perlahan. Sedangkan Anam, Prass, dan Yazid mengerjakan pekerjaannya
di daerah sekitar operator. Kali ini kami mengeluarkan salah satu alat andalan
ketika acara besar, yaitu snake. Sebuah gulungan kabel besar berdiameter
2-3 cm dan panjangnya puluhan meter dengan kepala-kepala male di
depannya dan colokan-colokan female dibelakangnya. Alat ini mampu
menggapai sound-sound dari jarak jauh dalam jumlah yang banyak, walaupun
amat berat diangkat. Malam itu habis-habisan kami mengerjakan berbagai macam
hal, miskipun tak mampu menyelesaikan semuanya.
* * * * * * * * * * *
Masa yang ditunggu-tunggu akhirnya
tiba juga. Ratusan santri kelas 6 berkumpul di depan panggung kosong menghadap
ke masjid pagi ini. Khalifah sang ketua angkatan berdiri di hadapan kami semua
yang mengenakan atribut Panggung Gembira,
kaos biru dongker, celana training dengan ikat karet di kakinya, dan
topi hitam bertuliskan 2017 berwarna biru. Ustaz Tio pun datang dan lekas mengambil alih
komando.
Ia membagi tugas, beberapa kelas
mengangkat background triplek ke atas panggung untuk diikatkan,
segelintir orang membopong panggung tambahan untuk ditaruh di depan panggung
utama, dan yang lainya mulai tanggap berkerja di sektornya masing-masing.
Begitu pula kami rekan-rekan Qismul I’lam turut merapihkan kabel-kabel,
mik, sound monitor, alat-alat musikus, dan tak lupa mengecek suaranya
satu per satu setelah itu ditandai. Bahkan kami mengeluarkan mik wireless termahal
yang hanya dikeluarkan saat acara-acara besar saja, yaitu mik sennheiser
yag mampu mengeluarkan suara jernih dengan jarak tempuh sampai 250 m dari
operator.
Gebrakan tahun ini, Panggung Gembira tampil
berbeda. Selain lantai satu panggung yang dipenuhi dengan layar LED, adapun sound
cover yang digantung di depan reggging bertuliskan Panggung Gembira 691,
SURVIVAL GENERATION. Benda itu jadi daya tarik yang sangat memikat kelas 6
dan musryif dari kampus lain sehingga meminta izin untuk meminjamnya
setelah acara selesai. Kupandang langit terlihat sedikit berawan, kuharap semua
akan baik-baik saja sampai malam tiba. Sampai senja tiba, panggung pun berdiri
tegak menjulang tinggi melebih besarnya aula di sampingnya, warna krem dengan
kubah biru menyatu dalam konsep kerajaan Islam
di abad pertengahan. Terlihat amat menawan ketika dilihat dari kejauhan.
Selama
hampir empat tahun mondok di pesantren, tak pernah lupa mengundang orang tuaku
untuk datang hadir menyaksikan pagelaran
seni akbar. Entah Panggung Gembira ataupun Drama Arena,
dan kali ini pun begitu. Ayah dan Ibuku datang dari kota Semarang menjengukku
sore itu. Aku sungguh terkejut saat mereka menghapiriku yang sedang duduk
santai di depan kamar, lalu kutemani kedua orang tuaku ke penginapan di kota.
Karena penginapan di dalam pondok telah penuh. Berbincang-bincang dengan orang
tuaku, melepas rindu dan berbagi kabar. Kemudian lekas mandi, makan, dan
kembali lagi ke pondok setelah salat Magrib.
Pondok begitu ramai, lapangan hijau
dipenuhi dengan parkiran-parkiran mobil, di depan lab pun penuh dengan
kendaraan. Aku berpisah dengan kedua orang tuaku di sebuah pertigaan, dan lekas
berlari menuju kamar mengenakan full dress
abu-abu. Lantunan bacaan Al-Qur’an
mulai terdengar dari menara, teman-teman kelas 6 terpaksa salat di kamar
masing-masing untuk mempersiapkan acara. Di tengah perjalananku ke atas
panggung tercium bau tanah, seolah hujan akan segera datang.
Akhirnya
aku sampai di tempat operator mik berkumpul. Ustaz Naufal, Panji, Najieb, Sulthan, Aidil dan
yang lainya pun sudah siap. Panggung pun sudah dipenuhi dengan puluhan anak
yang akan tampil hadroh. Gemuruh senandung hadroh menghangatkan suasana
pembukaan acara, akan tetapi tiba-tiba air langit perlahan turun. Teman-teman persidangan
tanggap menutup LED panjang di lantai satu dengan terpal karena hujan semakin
deras. Meskipun keadaanya semakin mencekam acara terus berjalan apa adanya,
seolah tidak terjadi apa-apa.
“Il siap-siap ya abis ini kita ambil cepat miknya
satu-satu sama stander-nya juga,” kata
Husein di sampingku.
“Oke, Sen, siap,” jawabku.
Beberapa menit kemudian acaranya pun selesai.
“Ayo cepat-cepat ambil!” Sahut ustaz Naufal sambil
memegang HT (Handy Talky) di tanganya.
Lampu panggung dimatikan operator lighting, kami
pun bergegas ke tengah panggung.
Nafi
bersiap-siap sebagai pembawa acara di samping panggung. Ia mengenakan full
dress biru dongker dipadukan dengan kemeja biru muda dan dasi biru gelap,
dan juga kain menyerupai tisu lipat di kantong dadanya. Penampilannya dibuka
dengan video clip sambutan ramah dari teman-teman kelas 6 bagian acara,
persidangan, dan fotografi merayakan Panggung Gembira malam ini. Kami tertawa
melihatnya, apa lagi bagian video selanjutnya sesi Nafi yang dijemput Zaki
pasangannya pembawa acaranya. Sampai tontonan, usai pasangan MC ini meluncur
dengan memukau ke tengah pentas dengan Smart Balance Wheel.[5]
Nafi dan
Zaky pun mulai mengucapkan penghormatan. Dia dipilih menjadi MC acara ini
karena tahun kemarin dia dipercaya menjadi MC Drama Arena, ditambah lagi dia
bagian dari klub master of ceremony pondok. Berbeda dengan patner-nya
yang ikut dalam klub orator-orator pondok yang biasa disebut JMK (Jamiyyatul
Khutoba). Mereka berkolabarasi dengan mengagumkan sekali, kata-kata yang ke
luar mengalir lembut di telinga penonton, intonasinya yang tidak monoton,
ditambah lagi sorak-sorak kalimat penyemangat yang disajikan begitu membakar
suasana. Salah satu sahutan andalan yang amat mendebarkan kami dengar.
“Para hadirin, walaupun Indonesia sebagai bumi
nusantara yang kini dicengkeram oleh penjajahan modern. Namun pondok pesantren
masih tetap teguh menyebar nilai-nilai islami dan menyalakan kembali api
perjuangan yang redup,” sahut Nafi.
“Melangkah maju menuju satu abad sebagai simbol
perjuangan yang anti penjajah dan penjajahan. Melahirkan ratusan,” Zaki
menyambung setelahnya.
“Ribuan!”
“BAHKAN JUTAAN MUNDZIRUL QAUM!"[6] Mereka berdua kompak berseru.
“Yang siap mendidik dan mengawal ummat,” Si Anak
Saburai ini melanjutkanya.
“Menjadi generasi yang kuat!” Disambut kembali oleh
Nafi.
“Continue!"[7]
“Kekal jiwanya!”
“Sabit!"[8]
“Tidak mabni!"[9]
“Bertahan!”
“SURVIVAL GENERATION!” Keduanya kompak berseru.
“Yang tegak melawan imperialis-imperialis global,”
Zaki melanjutkanya kembali.
“Dan konsisten mewariskan semangat perjuangan.”
“DEMI MEBANGKITKAN KEJAYAAN ISLAM!”
Para penonton terkagum-kagum memberikan tepuk tangan
yang meriah.
Sampai
akhirnya mereka buka acara Panggung Gembira kali ini, lalu mepersilahkan
sepasang qori' menuju ke tengah
panggung. Acara pun silih berganti, ke luar masuk. Sejenak hujan mereda, kami
berharap langit tak menangis lagi. Hingga bapak pimpinan pondok memberi sambutan lalu
membuka acara secara resmi.
Video
clip muncul kembali di layar LED, sebuah video himbauan yang persis sekali
seperti di bioskop-bioskop pada umumnya. Isinya larangan mengambil gambar,
merekam, merokok, menyalakan hand phone, dan tak lupa ucapan selamat
menyaksikan. Setelah itu kami tak menyangka ada video sponsorship
dari DG Audio dan asisten multimedia. Dan kemudian berganti dengan sebuah flim
pendek disertai seruan orasi yang dibawakan oleh sang ketua OPPM, Mirfaqo.
Kata-katanya tampil penuh di layar LED lantai satu.
“Pernah suatu saat Islam
berjaya.
Al-Qur’an.. Al-Hadis.. Tauhid.. Syariah ..
Menyebar ke mana-mana, menjadi pedoman bagi setiap
manusia.
Dijunjung tinggi di seluruh penjuru dunia.
Namun.. Hedonisme .. Plurarisme.. Zionismee..
Meracuni umat manusia, merobohkan tiang-tiang agama Islam.
Menenggelamkan Islam dari muka bumi.
Umat Islam
pun mulai terpecah belah!
Ditindas! Dipojokkan! Dihancurkan!
Oleh musuh-musuh yang semakin berkuasa.
Hancurlah kejayaan Islam.
Dan sekaranglah saatnya untuk bangkit, sadar, dan SURVIVE!
Dan di sinilah kami SURVIVAL GENERATION.
Siap menyonsong kembali kejayaan Islam!
NJAJAL AWAK, MENDAH MATIO!
BUNDO BAHU PIKIR! LEK PERLU SAK NYAWANE PISAN!”
Nada-nada yang menggelegar ditambah,
suara efek yang mengguncang suasana, membuat kami merinding mendengarnya.
Kemudian satu per satu penampilan-penampilan disuguhkan untuk meramaikan acara.
Bagi kami para operator mik, sesi tari-tarian adalah waktu untuk mengambil
rehat sejenak, karena setelahnya harus siap ke luar masuk panggung menyiapkan
mik. Silih berganti penampilan usai, sampai tiba giliran acara drama untuk tampil. Agilatul dan
teman-teman yang lainya mengambil peran di dalamnya.
Tak lama Husein juga ikut serta ke tengah panggung dalam acara simetry mirror.
Hujan
yang kami harap lekas usai, malah semakin deras menyerang area. Beberapa
penonton menepi, ada pun yang bertahan dengan payungnya. Alat-alat kami pun
jadi korban, bahkan sempat terjadi konslet. Namun para musikus tetap mampu
menampilkan akustik dengan luar biasa. Situasi ini seolah adalah ujian dari
nama angkatan yang kami terima.
Itu amat terasa ketika penampilan choir kelas 6, tiga saf di tengah dan
dua saf di samping kanan kirinya. Choir yang diisi oleh puluhan siswa
akhir yang mengenakan kemeja biru dan songkok harus bertahan dalam derasnya
hujan.
Terpaan
tajam air langit tak henti-henti menusuk peserta choir. Mereka
tetap teguh bertahan menyanyikan lagu dengan khikmat. Orang-orang melihatnya
takjub di tengah derasnya hujan mereka tetap dapat membawakan lagu himne dengan
sempurna. Situasi itu lebih menyentuh ketika
mereka melantunkan lirik Bondan Brakoso.
“I WILL SURVIVE .. I WILL REVIVE.. I WON’T
SURENNDER!
AND STAY ALIVE!
KAU BERIKAN ..
KEKUATAN .. TUK HADAPI SEMUA INI”
Hal itu menjadi momen yang paling terkenang
bagi teman-teman satu angkatan. Kemudian acara semakin meriah dengan
penampilan, beberapa akrobat, seni bela diri, tarian-tarian, acara komedi, lalu
ditutup dengan nyanyian dari band marhalah.[10]
Satu per satu santri kelas 6 masuk memunuhi panggung, kami bernyanyi riang
bersama-sama.
Lagu
pun berakhir, orang-orang yang ada di panggung duduk dan mendengarkan penilaian
dari bapak pimpinan pondok
yang mengalungkan sorban putih di lehernya dan mengenakan kaca mata. Ia
membacakan satu per satu hasil nilai yang dikumpulkan oleh para juri, akan
tetapi Pak
Kiai juga punya penilaianya sendiri. Diawali dengan tari-tarian yang dinilai
sangat baik, drama-drama pun dipandang bagus, video-video clip mendapat
nilai sempurna karena memiliki pesan dan penyajian yang amat baik. Pertamanan, background,
konsumsi, dan persidangan dinilai benar-benar excellent tanpa cacat,
dan memproleh nilai 10. Sampai
akhirnya dia membacakan nilai untuk sound system dari panitia, juga
dirinya.
“Sound system
komentar, sering terlalu keras dalam
memberi volume musik penampilan. Hujan datang dan pergi, namun operator dan kru
sound system pantas diacungi jempol karena dapat beradaptasi dengan
keadaan ini dengan sangat baik, nilai 10. Kalau saya 9, ini kurang lincah
perpindahan band dan yang lainya. 9 jangan 10, gapapa ya? Gapapa toh
saya ga sama.”
Rekan-rekan Qismul I’lam dan DG Audio sangat
puas mendengarnya.
Selanjutnya
beliau membacakan nilai-nilai sisi lainya seperti, nilai hiburan, kritik, dan
masukan-masukan yang lainya. Hingga akhirnya Pak Kiai memberikan nilai keseluruhan menurut
dirinya sendiri.
“Kalau ada 11 saya kasih 11, tapi cukup 10 saja.
Pertama saya nilai plus itu apa? Penggalian, explore-mu
jelas, di
samping itu banyak sekali nilai-nilai plus ketika
ada kamu kehidupan yang ada di dalam pondok. Pahit dan getirnya itu kamu
tampilkan. Tapi-tapi jangan nyindir! Curhat-curhat keindahan semuanya ada
disini, bukan protes ya? Yaa ini pertama,” ujarnya memberikan penilaian
pertama.
“Kedua,
sejak kemarin dan ini saya lihat peyelenggaraan ini tidak mudah ditiru orang
lain, maka saya anggap nilai plus-nya
banyak sekali. Ini saja jazakumullah khairan, jelas ini terhibur semua,
kami terhibur, pimpinan terhibur, penonton terhibur, yang main juga terhibur, Insyallah tamu-tamu
juga terhibur. Sampai jumpa pada waktu yang akan datang, selamat, mudah-mudahan
sukses di kehidupan berikutnya. Syukron wassalamualaikum.” Ujar beliau
dengan tulus sepenuh hati.
Teman-teman
kelas 6 amat terharu mendengarnya, kami tersenyum puas setelah sebulan lamanya
berjuang demi acara ini. Usai evaluasi, Qasmal,
sang ketua membakar semangat anak-anak dengan takbir dan nyel-nyel siswa akhir.
Tidak sampai menunggu besok pagi, malam ini pun panggung-panggung mulai dilepas
satu-persatu. Sound-sound dirapikan kembali sampai hanya menyisakan
kabel-kabel di bawah panggung dan alat-alat di sekitar mixer. Pagelaran
pun usai pada pukul 2 dini hari.
Prass
sebagai tim DG Audio, dia menjadi satu-satunya orang yang menjaga mixer
hingga terlelap semalaman. Embun pagi pun mulai menyejukkan bumi. Pria gagah
ini masih tertidur di kursi sambil melipat tangannya. Tiba-tiba seseorang
menyenggolnya.
“Akhie, akhie.
Akhie qum!"[11]
Pelan-pelan ia membuka cakrawala, lalu terkejut kalua di
depannya sudah ada bapak pimpinan
yang tadi memberikan evaluasi.
“Na’am, Ustaz,” raganya tertunduk segan berhadapan
dengan Pak
Kiai.
“Shalaita shubh?"[12]
“Lamma, Ustaz.”[13]
“Irji’ ila hujroh suma mubasyarotan tushalie shubh!”
[14]
“Na’am, Ustaz,”
ia bergegas menyalimi bapak pimpinan
lalu kembali ke kamar.
Tak
lama setelah itu seluruh siswa akhir pondok, membereskan area pagelaran
sepenuhnya. Hingga hari itu kegiatan belajar mengajar diliburkan untuk kelas 6
demi menyelesaikan semuanya. Acara akbar yang disiapkan selama sebulan lebih
lamanya dan mengeluarkan dana ratusan juta rupiah, usai dalam satu malam
panjang. Segalanya semata-mata demi pendidikan, salah satu cara pondok mendidik
para santri untuk berjuang, bersabar, ikhlas
secara totalitas. Dan nilai itu terus membekas sampai kelak menjadi
alumni.
Sumber gambar : dreamstime.com |
M. Ismail
[1] Jadi biar cepet, Sen?
[2] Bener.
[3] Pasti.
[4] Angkatan.
[5] Skuter dengan hanya dua roda dibawahnya tanpa pegangan, digerakan
hanya dengan kaki si pengguna menekan maju dan mundur. Ditambah lagi ada
sepasang lampu biru dibawahnya.
[6] Pemberi peringatan kepada ummat
[7] istiqomah
[8]Kokoh
[9] Diam tanpa melakukan apapun.
[10] angkatan
[11] nak bangun
[12] Udah sholat shubuh.
[13] Belum ustaz
[14] Kembali ke kamar setelah itu langsung kamu shalat shubuh.
0 Comments
Posting Komentar