The Informers Eps.14 Blue Stage

 


Malam itu di lapangan tengah gedung Rabithoh.

“Gimana Il, setelah ini acara apa?” Tanya Husein di sebelahku saat geladi Panggung Gembira.

“Habis ini nasyid, Sen,” jawabku sembari melihat ke papan urutan acara.

“Kalau gitu siap-siap Il, kita taruh 4 mik superlux. Dari seberang nanti Sulthan sama Nova siap naruh 2. Jadi ente siap-siap juga ya Il?” Ia memberi komando seraya memeriksa selebaran berjilid.

“Oke, Sen. Eh ente lagi buat apa itu?”

“Oh, ini skema mik Il, supaya setiap acara kita udah tahu harus ngeletakin stander mic berapa, mik berapa, wireless berapa, dan yang lain-lain.”

idzan likay sur’ah Sen?[1]

SOOHEH PEE,”[2] dia menganggukkan kepalanya.

“Entar itu skema miknya dilaporin juga Sen? Atau buat pegangan CID aja?”

Tob’an [3]  ana laporin ke musryif Il. Operator mixer kan perlu juga, bukan yang di panggung aja.”

“Ini yang ente buat udah fix, Sen?” 

“Belum Il, hari ini lagi ana cocokin dulu. Eh itu siap-siap bentar lagi acaranya selesai!”

Aku bergegas mengambil mik, bersiap siaga.

           Geladi ke-4 malam itu, masih banyak evaluasi-evaluasi yang diberikan pembimbing. Dari ketanggapan peserta untuk ke luar masuk panggung, kekompakan tarian-tarian, konsep yang belum matang, dan hal-hal yang lainya. Setelah acara selesai, tak lupa Husein melaporkan skema mik ke Ustaz Geraudi dan Ustaz Akhlis.

           Hari pementasan semakin dekat. Tak terasa hanya tersisa dua minggu lagi. Santri akhir pondok semakin diuji dengan waktu yang sempit dan konsep acara yang masih abstrak. Tetapi mereka tidak menyerah, dengan sedikit waktu dan keadaan yang ada, mereka tetap mengeluarkan kemampuanya semaksimal mungkin. Namun, ada saja beberapa dari anak-anak itu yang tak peduli, hanya sekedar hadir di tempat latihan, masih bingung memilih acara apa, sampai-sampai ada yang tidak tertarik ikut tampil. Hal itu disadari oleh para pembimbing.

 Sampai datanglah malam terakhir untuk berkumpul di aula dengan pembimbing, seluruh siswa kelas 6 ditahan di dalam oleh mereka, tidak diperbolehkan kembali ke kamar. Lampu-lampu dimatikan, para musryif menyebar mengelilingi anak-anak, dan Ustaz Tio membuka pertemuan.

Bismillahirrahmanirrahim.. Assalamualaikum warahmatullahi wabaraakatuh,” beliau mengeluarkan suara dalam yang mencekam tanpa menggunakan pengeras suara.

Walaikumussalam warahmatullahi wabaraakatuh,”

“Kelas enam kalian ini maunya apa? H-14 masih belum ada yang benar. Latihannya gak serius, lagu-lagu belum jadi. Dan yang paling menyedihkan adalah ada yang belum punya acara sampai saat ini. Sekarang Ustaz mau tau, silahkan yang belum ikut acara atau latihan apa pun berdiri!”

Beberapa dari anak-anak perlahan menegakkan raganya. Adapun yang ragu-ragu.

“JUJUR YANG BELUM PUNYA ACARA BERDIRI!” Sahut salah satu pembimbing.

Sontak mereka mengaku satu persatu.

“Ketua Panggung Gembira, ketua marhalah[4] lihatlah ini teman-teman kalian.” Tegas Ustaz Tio

Mata-mata kelas enam pun spontan menoleh memeriksanya.

“SAMPAH-SAMPAH PERJUANGAN!” Ustaz mendidih amarahnya.

Tega-teganya saat yang lain capek latihan, mikirin bagaimana kesuksesan acara, pembimbing sampai tengah malam masih kumpul ngomongin acara. Kok masih kalian seperti ini?!

Orang-orang yang berdiri, ke samping semuanya!”

Bergegeas mereka ke sebelah barat aula, telah ada sepasang musryif yang menunggu.

           Ustaz Tio melanjutkan evaluasinya. Dia memberikan penegasan soal latihan, mental agar tidak mudah menyerah dengan keadaan, dan harus tetap yakin semuanya pasti bisa. Pembimbing tunggal dari bagian pengasuhan itu mengingatkan kami, agar sadar bahwasanya acara ini semata-mata sebagai bentuk perjuangan untuk pondok dan agama Islam dengan sepenuh tenaga. Tak lama setelah itu, pertemuan itu akhirnya ditutup dengan damai.

           Rekan-rekan CID juga turut berperan penting di acara-acara Panggung Gembira, tidak hanya fokus pada sound system saja. Revo yang fokus di musikus bersama Najieb, Nafi konsentrasi dengan latihan membawa acara. Agilatul, Bayu, Fawwas, Asryof, dan Lalu yang turun ke dalam drama. Bahkan Husein yang sibuk dengan teknisi sound ikut serta dalam acara simetry mirror, penampilan manusia-manusia kembar di pondok. Dan sisanya fokus mengontrol pengeras suara.

           Tersisa satu pekan lagi menuju pagelaran seni akbar 2017. Hari-hari ini langit tak bersahabat, terus murung dengan awanya yang gelap. Berkali-kali geladi kotor kami dibatalkan karena takut hujan deras akan datang. Hingga kurang lima hari lagi, para pembimbing dan santri kelas 6 yakin bisa mengadakanya. Belum selesai acara-acara ditampilkan, rintikan air langit sudah menyapa. Terpaksa acaranya dihentikan. Beruntungnya saat geladi terakhir semesta mendukung, segalanya berjalan lancar, bahkan bapak pimpinan pondok menyempatkan hadir di tengah acara Drama Arena (DA).

           Menara besi dua lantai untuk operator mixer dan alat-alat multimedia yang lainya telah siap di depan panggung. Sepasang regging pun sudah berdiri tegak semenjak 2 malam sebelum acara DA. Aku, Aidil, Husein, Wildan, Sulthan, dan beberapa teman lainnya dengan tanggap memanjat regging lalu memasang array satu persatu secara perlahan. Sedangkan Anam, Prass, dan Yazid mengerjakan pekerjaannya di daerah sekitar operator. Kali ini kami mengeluarkan salah satu alat andalan ketika acara besar, yaitu snake. Sebuah gulungan kabel besar berdiameter 2-3 cm dan panjangnya puluhan meter dengan kepala-kepala male di depannya dan colokan-colokan female dibelakangnya. Alat ini mampu menggapai sound-sound dari jarak jauh dalam jumlah yang banyak, walaupun amat berat diangkat. Malam itu habis-habisan kami mengerjakan berbagai macam hal, miskipun tak mampu menyelesaikan semuanya.

* * * * * * * * * * *

Masa yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Ratusan santri kelas 6 berkumpul di depan panggung kosong menghadap ke masjid pagi ini. Khalifah sang ketua angkatan berdiri di hadapan kami semua yang mengenakan atribut Panggung Gembira, kaos biru dongker, celana training dengan ikat karet di kakinya, dan topi hitam bertuliskan 2017 berwarna biru. Ustaz Tio pun datang dan lekas mengambil alih komando.

Ia membagi tugas, beberapa kelas mengangkat background triplek ke atas panggung untuk diikatkan, segelintir orang membopong panggung tambahan untuk ditaruh di depan panggung utama, dan yang lainya mulai tanggap berkerja di sektornya masing-masing. Begitu pula kami rekan-rekan Qismul I’lam turut merapihkan kabel-kabel, mik, sound monitor, alat-alat musikus, dan tak lupa mengecek suaranya satu per satu setelah itu ditandai. Bahkan kami mengeluarkan mik wireless termahal yang hanya dikeluarkan saat acara-acara besar saja, yaitu mik sennheiser yag mampu mengeluarkan suara jernih dengan jarak tempuh sampai 250 m dari operator.

 Gebrakan tahun ini, Panggung Gembira tampil berbeda. Selain lantai satu panggung yang dipenuhi dengan layar LED, adapun sound cover yang digantung di depan reggging bertuliskan Panggung Gembira 691, SURVIVAL GENERATION. Benda itu jadi daya tarik yang sangat memikat kelas 6 dan musryif dari kampus lain sehingga meminta izin untuk meminjamnya setelah acara selesai. Kupandang langit terlihat sedikit berawan, kuharap semua akan baik-baik saja sampai malam tiba. Sampai senja tiba, panggung pun berdiri tegak menjulang tinggi melebih besarnya aula di sampingnya, warna krem dengan kubah biru menyatu dalam konsep kerajaan Islam di abad pertengahan. Terlihat amat menawan ketika dilihat dari kejauhan.

           Selama hampir empat tahun mondok di pesantren, tak pernah lupa mengundang orang tuaku untuk datang hadir menyaksikan pagelaran seni akbar. Entah Panggung Gembira ataupun Drama Arena, dan kali ini pun begitu. Ayah dan Ibuku datang dari kota Semarang menjengukku sore itu. Aku sungguh terkejut saat mereka menghapiriku yang sedang duduk santai di depan kamar, lalu kutemani kedua orang tuaku ke penginapan di kota. Karena penginapan di dalam pondok telah penuh. Berbincang-bincang dengan orang tuaku, melepas rindu dan berbagi kabar. Kemudian lekas mandi, makan, dan kembali lagi ke pondok setelah salat Magrib.

           Pondok begitu ramai, lapangan hijau dipenuhi dengan parkiran-parkiran mobil, di depan lab pun penuh dengan kendaraan. Aku berpisah dengan kedua orang tuaku di sebuah pertigaan, dan lekas berlari menuju kamar mengenakan full dress abu-abu. Lantunan bacaan Al-Qur’an mulai terdengar dari menara, teman-teman kelas 6 terpaksa salat di kamar masing-masing untuk mempersiapkan acara. Di tengah perjalananku ke atas panggung tercium bau tanah, seolah hujan akan segera datang.

           Akhirnya aku sampai di tempat operator mik berkumpul. Ustaz Naufal, Panji, Najieb, Sulthan, Aidil dan yang lainya pun sudah siap. Panggung pun sudah dipenuhi dengan puluhan anak yang akan tampil hadroh. Gemuruh senandung hadroh menghangatkan suasana pembukaan acara, akan tetapi tiba-tiba air langit perlahan turun. Teman-teman persidangan tanggap menutup LED panjang di lantai satu dengan terpal karena hujan semakin deras. Meskipun keadaanya semakin mencekam acara terus berjalan apa adanya, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Il siap-siap ya abis ini kita ambil cepat miknya satu-satu sama stander-nya juga,” kata Husein di sampingku.

“Oke, Sen, siap,” jawabku.

Beberapa menit kemudian acaranya pun selesai.

“Ayo cepat-cepat ambil!” Sahut ustaz Naufal sambil memegang HT (Handy Talky) di tanganya.

Lampu panggung dimatikan operator lighting, kami pun bergegas ke tengah panggung. 

           Nafi bersiap-siap sebagai pembawa acara di samping panggung. Ia mengenakan full dress biru dongker dipadukan dengan kemeja biru muda dan dasi biru gelap, dan juga kain menyerupai tisu lipat di kantong dadanya. Penampilannya dibuka dengan video clip sambutan ramah dari teman-teman kelas 6 bagian acara, persidangan, dan fotografi merayakan Panggung Gembira malam ini. Kami tertawa melihatnya, apa lagi bagian video selanjutnya sesi Nafi yang dijemput Zaki pasangannya pembawa acaranya. Sampai tontonan, usai pasangan MC ini meluncur dengan memukau ke tengah pentas dengan Smart Balance Wheel.[5]

           Nafi dan Zaky pun mulai mengucapkan penghormatan. Dia dipilih menjadi MC acara ini karena tahun kemarin dia dipercaya menjadi MC Drama Arena, ditambah lagi dia bagian dari klub master of ceremony pondok. Berbeda dengan patner-nya yang ikut dalam klub orator-orator pondok yang biasa disebut JMK (Jamiyyatul Khutoba). Mereka berkolabarasi dengan mengagumkan sekali, kata-kata yang ke luar mengalir lembut di telinga penonton, intonasinya yang tidak monoton, ditambah lagi sorak-sorak kalimat penyemangat yang disajikan begitu membakar suasana. Salah satu sahutan andalan yang amat mendebarkan kami dengar.

“Para hadirin, walaupun Indonesia sebagai bumi nusantara yang kini dicengkeram oleh penjajahan modern. Namun pondok pesantren masih tetap teguh menyebar nilai-nilai islami dan menyalakan kembali api perjuangan yang redup,” sahut Nafi.

“Melangkah maju menuju satu abad sebagai simbol perjuangan yang anti penjajah dan penjajahan. Melahirkan ratusan,” Zaki menyambung setelahnya.

“Ribuan!”

“BAHKAN JUTAAN MUNDZIRUL QAUM!"[6]  Mereka berdua kompak berseru.

“Yang siap mendidik dan mengawal ummat,” Si Anak Saburai ini melanjutkanya.

“Menjadi generasi yang kuat!” Disambut kembali oleh Nafi.

Continue!"[7]

“Kekal jiwanya!”

Sabit!"[8]

“Tidak mabni!"[9]

“Bertahan!”

“SURVIVAL GENERATION!” Keduanya kompak berseru.

“Yang tegak melawan imperialis-imperialis global,” Zaki melanjutkanya kembali.

“Dan konsisten mewariskan semangat perjuangan.”

“DEMI MEBANGKITKAN KEJAYAAN ISLAM!”

Para penonton terkagum-kagum memberikan tepuk tangan yang meriah.

           Sampai akhirnya mereka buka acara Panggung Gembira kali ini, lalu mepersilahkan sepasang qori' menuju ke tengah panggung. Acara pun silih berganti, ke luar masuk. Sejenak hujan mereda, kami berharap langit tak menangis lagi. Hingga bapak pimpinan pondok memberi sambutan lalu membuka acara secara resmi.

           Video clip muncul kembali di layar LED, sebuah video himbauan yang persis sekali seperti di bioskop-bioskop pada umumnya. Isinya larangan mengambil gambar, merekam, merokok, menyalakan hand phone, dan tak lupa ucapan selamat menyaksikan. Setelah itu kami tak menyangka ada video sponsorship dari DG Audio dan asisten multimedia. Dan kemudian berganti dengan sebuah flim pendek disertai seruan orasi yang dibawakan oleh sang ketua OPPM, Mirfaqo. Kata-katanya tampil penuh di layar LED lantai satu.

“Pernah suatu saat Islam berjaya.

Al-Qur’an.. Al-Hadis.. Tauhid.. Syariah ..

Menyebar ke mana-mana, menjadi pedoman bagi setiap manusia.

Dijunjung tinggi di seluruh penjuru dunia.

Namun.. Hedonisme .. Plurarisme.. Zionismee..

Meracuni umat manusia, merobohkan tiang-tiang agama Islam.

Menenggelamkan Islam dari muka bumi.

Umat Islam pun mulai terpecah belah!

Ditindas! Dipojokkan! Dihancurkan!

Oleh musuh-musuh yang semakin berkuasa.

Hancurlah kejayaan Islam.

Dan sekaranglah saatnya untuk bangkit, sadar, dan SURVIVE!

Dan di sinilah kami SURVIVAL GENERATION.

Siap menyonsong kembali kejayaan Islam!

NJAJAL AWAK, MENDAH MATIO!

BUNDO BAHU PIKIR! LEK PERLU SAK NYAWANE PISAN!

           Nada-nada yang menggelegar ditambah, suara efek yang mengguncang suasana, membuat kami merinding mendengarnya. Kemudian satu per satu penampilan-penampilan disuguhkan untuk meramaikan acara. Bagi kami para operator mik, sesi tari-tarian adalah waktu untuk mengambil rehat sejenak, karena setelahnya harus siap ke luar masuk panggung menyiapkan mik. Silih berganti penampilan usai, sampai tiba giliran acara drama untuk tampil. Agilatul dan teman-teman yang lainya mengambil peran di dalamnya. Tak lama Husein juga ikut serta ke tengah panggung dalam acara simetry mirror. 

           Hujan yang kami harap lekas usai, malah semakin deras menyerang area. Beberapa penonton menepi, ada pun yang bertahan dengan payungnya. Alat-alat kami pun jadi korban, bahkan sempat terjadi konslet. Namun para musikus tetap mampu menampilkan akustik dengan luar biasa. Situasi ini seolah adalah ujian dari nama angkatan yang kami terima. Itu amat terasa ketika penampilan choir kelas 6, tiga saf di tengah dan dua saf di samping kanan kirinya. Choir yang diisi oleh puluhan siswa akhir yang mengenakan kemeja biru dan songkok harus bertahan dalam derasnya hujan.

           Terpaan tajam air langit tak henti-henti menusuk peserta choir. Mereka tetap teguh bertahan menyanyikan lagu dengan khikmat. Orang-orang melihatnya takjub di tengah derasnya hujan mereka tetap dapat membawakan lagu himne dengan sempurna. Situasi itu lebih menyentuh ketika mereka melantunkan lirik Bondan Brakoso.

I WILL SURVIVE .. I WILL REVIVE.. I WON’T SURENNDER!

AND STAY ALIVE!

KAU BERIKAN ..  KEKUATAN ..  TUK HADAPI SEMUA INI”

            Hal itu menjadi momen yang paling terkenang bagi teman-teman satu angkatan. Kemudian acara semakin meriah dengan penampilan, beberapa akrobat, seni bela diri, tarian-tarian, acara komedi, lalu ditutup dengan nyanyian dari band marhalah.[10] Satu per satu santri kelas 6 masuk memunuhi panggung, kami bernyanyi riang bersama-sama.

           Lagu pun berakhir, orang-orang yang ada di panggung duduk dan mendengarkan penilaian dari bapak pimpinan pondok yang mengalungkan sorban putih di lehernya dan mengenakan kaca mata. Ia membacakan satu per satu hasil nilai yang dikumpulkan oleh para juri, akan tetapi Pak Kiai juga punya penilaianya sendiri. Diawali dengan tari-tarian yang dinilai sangat baik, drama-drama pun dipandang bagus, video-video clip mendapat nilai sempurna karena memiliki pesan dan penyajian yang amat baik. Pertamanan, background, konsumsi, dan persidangan dinilai benar-benar excellent tanpa cacat, dan memproleh nilai 10.  Sampai akhirnya dia membacakan nilai untuk sound system dari panitia, juga dirinya.

Sound system komentar, sering terlalu keras dalam memberi volume musik penampilan. Hujan datang dan pergi, namun operator dan kru sound system pantas diacungi jempol karena dapat beradaptasi dengan keadaan ini dengan sangat baik, nilai 10. Kalau saya 9, ini kurang lincah perpindahan band dan yang lainya. 9 jangan 10, gapapa ya? Gapapa toh saya ga sama.”

Rekan-rekan Qismul I’lam dan DG Audio sangat puas mendengarnya.

           Selanjutnya beliau membacakan nilai-nilai sisi lainya seperti, nilai hiburan, kritik, dan masukan-masukan yang lainya. Hingga akhirnya Pak Kiai memberikan nilai keseluruhan menurut dirinya sendiri.

“Kalau ada 11 saya kasih 11, tapi cukup 10 saja. Pertama saya nilai plus itu apa? Penggalian, explore-mu jelas, di samping itu banyak sekali nilai-nilai plus ketika ada kamu kehidupan yang ada di dalam pondok. Pahit dan getirnya itu kamu tampilkan. Tapi-tapi jangan nyindir! Curhat-curhat keindahan semuanya ada disini, bukan protes ya? Yaa ini pertama,” ujarnya memberikan penilaian pertama.

           “Kedua, sejak kemarin dan ini saya lihat peyelenggaraan ini tidak mudah ditiru orang lain, maka saya anggap nilai plus-nya banyak sekali. Ini saja jazakumullah khairan, jelas ini terhibur semua, kami terhibur, pimpinan terhibur, penonton terhibur, yang main juga terhibur, Insyallah tamu-tamu juga terhibur. Sampai jumpa pada waktu yang akan datang, selamat, mudah-mudahan sukses di kehidupan berikutnya. Syukron wassalamualaikum.” Ujar beliau dengan tulus sepenuh hati.

           Teman-teman kelas 6 amat terharu mendengarnya, kami tersenyum puas setelah sebulan lamanya berjuang demi acara ini. Usai evaluasi, Qasmal, sang ketua membakar semangat anak-anak dengan takbir dan nyel-nyel siswa akhir. Tidak sampai menunggu besok pagi, malam ini pun panggung-panggung mulai dilepas satu-persatu. Sound-sound dirapikan kembali sampai hanya menyisakan kabel-kabel di bawah panggung dan alat-alat di sekitar mixer. Pagelaran pun usai pada pukul 2 dini hari.

           Prass sebagai tim DG Audio, dia menjadi satu-satunya orang yang menjaga mixer hingga terlelap semalaman. Embun pagi pun mulai menyejukkan bumi. Pria gagah ini masih tertidur di kursi sambil melipat tangannya. Tiba-tiba seseorang menyenggolnya.

Akhie, akhie. Akhie qum!"[11]

Pelan-pelan ia membuka cakrawala, lalu terkejut kalua di depannya sudah ada bapak pimpinan yang tadi memberikan evaluasi.

Na’am, Ustaz,” raganya tertunduk segan berhadapan dengan Pak Kiai.

Shalaita shubh?"[12]

Lamma, Ustaz.”[13]

“Irji’ ila hujroh suma mubasyarotan tushalie shubh![14]

Na’am, Ustaz,” ia bergegas menyalimi bapak pimpinan lalu kembali ke kamar.

           Tak lama setelah itu seluruh siswa akhir pondok, membereskan area pagelaran sepenuhnya. Hingga hari itu kegiatan belajar mengajar diliburkan untuk kelas 6 demi menyelesaikan semuanya. Acara akbar yang disiapkan selama sebulan lebih lamanya dan mengeluarkan dana ratusan juta rupiah, usai dalam satu malam panjang. Segalanya semata-mata demi pendidikan, salah satu cara pondok mendidik para santri untuk berjuang, bersabar, ikhlas secara totalitas. Dan nilai itu terus membekas sampai kelak menjadi alumni.

 

Sumber gambar : dreamstime.com

M. Ismail

 

 



[1] Jadi biar cepet, Sen?

[2] Bener.

[3] Pasti.

[4] Angkatan.

[5] Skuter dengan hanya dua roda dibawahnya tanpa pegangan, digerakan hanya dengan kaki si pengguna menekan maju dan mundur. Ditambah lagi ada sepasang lampu biru dibawahnya.

[6] Pemberi peringatan kepada ummat

[7] istiqomah

[8]Kokoh

[9] Diam tanpa melakukan apapun.

[10] angkatan

[11] nak bangun

[12] Udah sholat shubuh.

[13] Belum ustaz

[14] Kembali ke kamar setelah itu langsung kamu shalat shubuh.


Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak