Sejarah Hari Santri: Simpul Penting Pembangkit Semangat Nasionalisme

 



   Santri memang menjadi simpul penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Jejak dan kiprah para santri dapat ditelusuri jauh sebelum Republik ini berdiri. Para santri kerap terlibat langsung dalam upaya perebutan hingga mempertahankan kemerdekaan.
   
   Perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tak berhenti setelah Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan naskah teks proklamasi. Pasalnya pada 29 September 1945, pasukan Sekutu dalam hal ini Inggris tiba di Indonesia. Pada mulanya kedatangan pasukan di bawah Pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison bertujuan untuk mengevakuasi interniren (kamp konsentrasi), membebaskan tawanan perang, hingga melucuti dan memulangkan tentara Jepang pasca kekalahan mereka di Perang Dunia II.
   
   Perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tak berhenti setelah Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan naskah teks proklamasi. Pasalnya pada 29 September 1945, pasukan Sekutu dalam hal ini Inggris tiba di Indonesia. Pada mulanya kedatangan pasukan di bawah Pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison bertujuan untuk mengevakuasi interniren (kamp konsentrasi), membebaskan tawanan perang, hingga melucuti dan memulangkan tentara Jepang pasca kekalahan mereka di Perang Dunia II.

   Kala itu pemerintah Indonesia mengizinkan Inggris untuk menjalankan misi tersebut. Dengan syarat tak boleh ada satu pun pasukan belanda yang menyelundup. Dengan gestur baik ini, pemerintah berharap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia yang baru diproklamasikan saat itu, bisa mendapatkan pengakuan dari Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II.

   Sangat disayangkan, sikap terbuka Indonesia dikhianati oleh sekutu. Pasalnya, saat sedang menjalankan misi, pasukan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) diam-diam telah menyelundupkan tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Gelagat kembalinya bala tentara Belanda ini membuat masyarakat semakin curiga dengan aktivitas Sekutu. Lantas saja para laskar pemuda di berbagai daerah pun mulai bersiap mengangkat senjata. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya pertempuran.

    Melihat situasi negeri yang mulai memanas, Bung Karno kemudian mengirim utusan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, untuk menemui Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Kedatangan utusan Presiden ke Tebuireng bertujuan untuk meminta pendapat KH Hasyim Asy’ari terkait situasi negeri.

   Kala itu, Bung Karno juga disebut turut mencurahkan kegundahannya karena hingga bulan Oktober, belum ada satu pun negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Hal ini disebabkan propaganda Belanda yang menyebarkan berita bahwa negara bentukan Soekarno dan Mohammad Hatta adalah negara boneka bentukan fasisme Jepang. Menjawab kegalauan hati Bung Karno, KH Hasyim Asy’ari lantas mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1945. Pertemuan yang di gelar di markas  Ansor Nahdlatu Oelama (ANO) yang juga merupakan respons atas jatuhnya sejumlah daerah ke tangan Inggris dan Belanda.

     Pada tanggal 22 Oktober 1945, pertemuan para Kiai dan santri tersebut menyepakati bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam. Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.

     Martin Van Bruinessen dalam tulisannya yang berjudul “NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru” menyebut Resolusi Jihad merupakan pengakuan kalangan santri terhadap legitimasi pemerintah Republik Indonesia. Selain itu, resolusi ini juga dimaknai sebagai kritik terhadap sikap pemerintah yang dianggap terlalu pasif dalam menghadapi Sekutu dan Belanda.

      Dalam waktu singkat Resolusi yang diterbitkan PBNU ini menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Dari masjid ke masjid tersiar seruan jihad yang disambut gegap gempita oleh masyarakat Surabaya. Pertempuran besar 10 November 1945 yang diawali dengan perlawanan rakyat Surabaya terhadap pasukan brigade 49 Sekutu pimpinan Brigjen AWS Mallaby, adalah salah satu dampak yang langsung terasa dari Resolusi Jihad tersebut.

  Menurut catatan sejarah, perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kemarahan masyarakat terhadap provokasi-provokasi Sekutu yang menduduki objek-objek vital di Surabaya, seperti lapangan terbang Tanjung Perak, kantor radio Surabaya, pusat kereta api, hingga menyerobot kantor Polisi RI dan penjara Bubutan.

    Kegeraman rakyat semakin memuncak ketika pesawat Inggris menyebarkan pamflet berisi ultimatum yang meminta masyarakat dan pemuda untuk menyerahkan senjata kepada Sekutu. Mereka juga mengancam akan menghukum mati siapapun yang melanggar ultimatum tersebut. Perlawanan masyarakat Surabaya terhadap pasukan AWS Mallaby terjadi selama tiga hari penuh.

   Dalam pertempuran tersebut, banyak kaum santri yang terlibat dalam pertempuran di Jembatan merah, Wonokromo, Waru, Buduran, dan daerah-daerah lain di Surabaya. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan besar rakyat Surabaya. Pertempuran ini juga menewaskan Brigjen AWS Mallaby. Hingga hari ini kematian Mallaby masih diselimuti misteri. J.G.A Parrot dalam tulisannya yang berjudul “Who Killed Brigadier Mallaby?” menyebutkan bahwa  Jendral Inggris itu tewas ditembak seorang pemuda Surabaya dari jarak dekat.

   Sementara Des Alwi dalam bukunya yang berjudul “Pertempuran Surabaya November 1945” mengatakan AWS Mallaby tewas akibat tembakan salah sasaran dari salah satu prajuritnya sendiri. Tewasnya AWS Mallaby ini bukanlah akhir perjuangan rakyat Surabaya. Pertempuran tiga hari tersebut memicu terjadinya pertempuran yang lebih besar. Puncaknya terjadi pada 10 November 1945.

    Pasca pertempuran tiga hari di Surabaya, resolusi ini kembali digelorakan di acara Muktamar Umat Islam Indonesia, yang diselenggarakan Partai Masyumi di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Selain menandai berakhirnya Ormas Masyumi menjadi Partai Politik, Muktamar di Yogyakarta juga menghasilkan Program Perjuangan. Antara lain terealisasi dalam pembentukan pasukan nonreguler bernama pasukan Sabilillah. Laskar ini dipimpin oleh tokoh senior NU bernama KH Masjur yang kelak menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1947-1949.

      Berbeda dengan lascar Hizbullah yang dibentuk atas kerja sama Jepang dan para Kiai, Laskar Sabilillah tak memiliki asal-usul resmi, tak memiliki latihan militer formal, dan tak terorganisasi. Laskar ini terbentuk secara sporadik dan dipimpin oleh para kiai desa. Meski demikian, keduanya sama-sama berperan dalam pertempuran-pertempuran besar 10 November.

      Atas peran dari Resolusi Jihad tersebut, wacana untuk menetapkan Hari Santri Nasional pun baru pertama kali dibahas pada tahun 2015. Wacana ini berawal dari janji politik Presiden Joko Widodo saat berkampanye pada pemilu tahun 2014. Awalnya pemerintah mengusulkan Hari Santri Nasional diperingati setiap 1 Muharram dalam sistem penanggalan Islam. Akan tetapi usulan tersebut ditolak PBNU. Akhirnya melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 Pemerintah Menetapkan 22 Okrober sebagai Hari Santri Nasional.

     Terlepas dari aspek politik yang menyertainya, Resolusi Jihad yang menjadi cikal bakal diresmikannya hari Santri pada 22 Oktober, menjadi simpul penting yang membangkitkan semangat nasionalisme kaum santri. Keterlibatan kaum sarungan dalam pertempuran tiga hari di Surabaya juga menjadi bukti adanya pertalian erat antara jihad membela tanah air dan jihad membela agama.

      Dalam sudut pandang yang luas, tentu berbagai Ormas di Indonesia mempunyai peran pentingnya masing-masing dalam proses kemerdekaan Indonesia. Tergantung kita akan meninjau dari aspek dan sudut pandang mana berdasarkan catatan sejarah. Dalam hal ini sejarah Hari Santri Nasional sangat berkaitan erat dengan Nahdlatul Ulama.


Sumber gambar : OPOP Jatim

Suprianto
Mahasiswa University of The Holy Qur’an and Taseel of Science Wad Madani



Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak