Metodologi Sebagai Kajian Strategis Perkembangan Ilmu Keislaman



Metodologi adalah gabungan dari tiga kata Yunani, yaitu metha berati cara dan hetodos berarti jalan sehingga metode bermakna cara untuk berjalan menuju sesuatu. Sedangkan jika disandingkan dengan logis atau logos maka menjadi metodologi yang bermakna pengkajian atau studi tentang metode.

Berbicara mengenai metode, sudah tidak ada perdebatan di kalangan ilmuwan bahwa ilmu pasti memiliki cara untuk menuju kebenaran dalam bidangnya masing-masing, namun dalam metodologi masih terbuka lebar untuk berdebat, berselisih, dan merefleksikan cara kerja suatu ilmu.

Menurut Robert Bogdan dan Steven J Tailor istilah metodologi menunjukkan kepada proses, prinsip, serta prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah. Singkatnya, metodologi adalah perdebatan yang bertitik fokus pada asumsi dan tujuan tentang teori dan perspektif.

Studi Islam dalam diskursus barat disebut dengan Islamologi Klasik yang sama dengan istilah dengan Islamic Studies, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dirasah Islamiyah.

Dalam diskursus Arab, antara dirasah Islamiyah dan majelis taklim memiliki kemiripan, akan tetapi dalam implementasinya terdapat perbedaan karena majelis taklim lebih bersifat doktriner yang bertujuan meningkatkan pemahaman dan praktik pemeluk agama.

Berbicara mengenai fokus kajian studi Islam, Wardeenburg mengatakan bahwa ada tiga lingkup yang dikaji dalam Islamologi, yaitu: Pertama, studi normatif terhadap Islam seperti mengkaji tafsir, hadis, fikih, dan teologi. Kedua, studi non-normative terhadap Islam yang meliputi keyakinan terhadap Islam yang dianggap benar oleh orang muslim maupun Islam yang hidup (living Islam) dan ini bisa dilakukan oleh muslim dan non-muslim. Ketiga, studi non-normative terhadap aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat muslim dalam arti memandang Islam dari sudut pandang antropologi, sosiologi, historis, sastra, dan apa saja yang tidak bertitik tolak dari agama.

Terlepas dari itu, Tarbiyah Islamiyyah dan dirasah islamiyyah adalah dua hal yang berbeda. Adapun tarbiyah Islamiyyah lebih mengacu pada transmisi ajaran agama dari satu generasi ke generasi yang lain. Sedangkan islamic studies lebih kepada kritis terhadap teks, sejarah, doktrin, pemikiran, dan institusi-institusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dianggap ilmiah menurut civitas academika.

Singkatnya, pengkajian islamic studies bukan diarahkan untuk mempertahankan keimanan atas sebuah konsep atau ajaran yang dikajinya. Artinya, memiliki implikasi terbuka untuk menolak dan mempercayai.

Menurut Amin Abdullah, studi keislaman yang ditujukan pada fenomena kehidupan beragama didekati dengan berbagai disiplin keilmuan yang bersifat historis-empiris bukan doktrin normative.

Telaah agama dengan pendekatan ilmu-ilmu termasuk ilmu sosial terdapat pro dan kontra. Menurut mereka yang kontra, kebenaran agama adalah mutlak sehingga jika menggunakan pendekatan ilmu sosial akan mengakibatkan kebenaran agama bersifat relatif (nisbi), begitu juga pada norma-norma keagamaan.

Adapun argumen kubu kontra, jika ada suatu gejala kemasyarakatan yang tidak dibenarkan gejalanya maka harus dianggap sebagai penyimpangan dari ketentuan agama yang mutlak benar dan tidak bisa dianggap sebagai gejala agama murni.

Sedangkan kubu yang setuju menggunakan pendekatan empiris dari ilmu sosial berargumen bahwa yang menjadi sasaran penelitian adalah agama sebagai gejala sosial dalam kenyataan faktual bukan normatif atau agama an sich.

Belakangan ini, studi Islam sudah menjadi perhatian para ilmuwan. Jika dianalisis lebih mendalam studi Islam sudah banyak dikaji oleh peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya studi Islam telah mengejawantah dalam percaturan dunia pengetahuan.

Oleh karenanya, salah satu persoalan mendesak untuk mendalami studi Islam adalah pendalaman metodologi dikarenakan dua hal, yaitu:

Pertama, pengkajian Islam yang dilakukan oleh umat Islam dengan tidak komprehensif adalah dikarenakan kelemahan umat Islam dalam hal metodologi dan bahkan tidak menguasainya. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat Indonesia hanya sebagai konsumen pemikiran bukan sebagai produsen pemikiran.

Kedua,  adanya asumsi bahwa studi Islam di kalangan ilmuwan sudah merambat ke berbagai dimensi keilmuan, seperti arkeologi, antropologi, dialog agama, filologi, dan lainnya. Sehingga metodologi dan pendekatan menjadi suatu hal yang perlu untuk dikuasai oleh peneliti Islamic studies.

Maka dari itu, metodologi merupakan kajian strategis untuk dibahas. Sebagai contoh real adalah Eropa yang pernah dalam masa stagnasi dan kebodohan selama seribu tahun yang kemudian berubah menjadi kebangkitan revolusioner dalam hal yang multifaset seperti dalam bidang sains, sastra, sosial, dan bahkan teknologi.

Pertanyaan yang seharusnya inheren pada lubuk hati  pengkaji studi Islam adalah kenapa Eropa bisa berada dalam masa stagnasi selama seribu tahun dan kemudian berubah dengan perubahan drastis?

Sudah barang tentu banyak faktor yang membuat perubahan itu, namun karena kita membahas kebudayaan, pemikiran, dan gerakan ilmiah maka kita menganggap adanya open mainded terhadap metodologi merupakan aspek yang fundamental dalam renaisans.

Kegeniusan saja belum cukup untuk suatu kemajuan, melainkan harus menentukan metode yang tepat untuk digunakan dalam bidang pengetahuan. Selain itu, penguasaan metode menyebabkan seseorang dapat mengembangkan ilmunya, sedangkan sebaliknya ia akan terus menjadi konsumen ilmu dan pemikiran yang abadi bukan sebagai produsen.

Berbicara konteks Islam, agar dapat memahami agama kita dapat melakukan penelitian pada dua hal, yaitu: pada landasan-landasan Islam yang merupakan ide dan out put ilmiah dan lateral. Selain itu, mengkaji aspek historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam mulai dari permulaan Islam hingga saat ini.

Jecques Waardenburg dalam karyanya Classical Approach to the Study of Religion mengatakan bahwa menjadikan Islam sebagai objek kajian empiris dan menelitinya sebagai realitas manusiawi bukan hanya membutuhkan usaha keras namun juga keberanian yang memadai.

Kesulitan menjadikan agama sebagai objek kajian yang diasumsikan Jacques tadi setidaknya berlandaskan dua hal, yaitu: Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi. Dalam kajian agama, objektivasi bukan hanya terhadap agama lain melainkan juga agama kita sendiri.

Kedua, secara tradisional agama merupakan hal yang suci dan sakral. Sedangkan menempatkan hal semacam itu sebagai objek netral merupakan hal yang dianggap mereduksi dan bahkan merusak nilai tradisi keagamaan.

Meneliti Islam bukan berarti meragukan kebenaran Islam karena yang menjadi titik penelitian adalah Islam sebagai gejala sosial. Menurut Atho’ Muzhar, agama sebagai sasaran penelitian budaya adalah naskah-naskah (filologi), alat-alat ritus keagamaan, benda-benda purbakala (arkeologi), sejarah agama, dan nilai, begitu juga mitos-mitos yang diyakini oleh pemeluk suatu agama.

Atho’ Muzhar dalam meneliti agama membedakan penelitian agama dengan penelitian keagamaan. Adapun penelitian agama yang dimaksud adalah agama sebagai doktrin, sedangkan metodologinya sudah ada seperti Ushul Fikih untuk meng-istimbath-kan hukum begitu juga hadis untuk memverifikasi akurasi dan kekuatan sabda Nabi Saw.

Sedangkan penelitian keagamaan, sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial sehingga tidak perlu membuat metodologi namun cukup meminjam metodologi sosial yang sudah ada.

Adapun Jalaluddin Rahmat, seorang tokoh Syiah Indonesia, menyatakan bahwa sasaran studi Islam adalah ajaran dan keberagamaan. Yang dimaksudkan dengan ajaran adalah penelitian terhadap Al-Quran dan Hadits. Sedangkan keberagamaan adalah perilaku yang bersumber atau tidak kepada nash.

Adapun keberagaman itu muncul sebabkan karena lima dimensi, yaitu: Ideology dan intelektual (Aspek Kognitif Keagamaan), eskperensial dan ritualistik (Aspek Behavioral), dan konsekuensial (Aspek Afektif Keberagamaan).

Sedangkan menurut Mustuhu, Objek kajian studi Islam ada dua, yaitu, Pertama, Ajaran agama untuk mencari makna tekstual dan kontekstual di mana secara realita ada yang bersifat qot’iyyah dan dzanniyyah. Kedua, selain ajaran, bidang kajian Islam juga berkaitan dengan implikasi, aplikasi, dan dampak ajaran agama dalam tata kehidupan nyata, individu, maupun sosial.

Kalangan orientalis dalam meneliti Islam mereka menggunakan pendekatan ilmiah karena pendekatan teologis diasumsikan kurang ilmiah. Singkatnya agama dijadikan sebagai kajian humanistik atau yang lebih dikenal dengan pendekatan out sider. Sedangkan yang berada di dalam Islam dinamakan in sider karena menggunakan pendekatan teologis serta ideologis dalam mengkaji Agama.

Pada umumnya, normativitas ajaran wahyu dibangun dan dibukukan bahkan ditelaah dengan pendekatan doktrinal teologis sedangkan historisitas keberagamaan manusia bisa dipandang dengan pendekatan keilmuan sosial yang multi dan interdisipliner.

Selama ini pendekatan doktrinal teologis selalu digunakan dalam memahami agama padahal di zaman ini sudah terlihat tidak relevan lagi karena zaman ini bukan hanya menerangkan teosentris saja, melainkan melibatkan kesadaran kelompok (sosiologis), kesadaraan mencari asal usul agama (antropologis), pembentukan kepribadian dan ketenangan jiwa (Psikologis), dan lain sebagainya.

 

Sumber gambar : alaraby.co.uk

Sholah Ibn Mawardi

Mahasiswa Internasional University of Afrika

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak