![]() |
Dakhili Abdullah Ash Shofi, atau nama lainnya
adalah asrama banat. Asrama untuk mahasiswi International University of Africa
(IUA) ini memiliki tiga gedung dengan lima lantai. Lantai paling atas adalah rooftop. Setiap
lantai berisi enam belas kamar dengan delapan kamar yang terpisahkan oleh kamar
mandi, empat kamar saling berhadap-hadapan, dan dipisahkan oleh lorong
memanjang.
Kamarku persis di sebelah kiri kamar mandi.
Kamar nomer delapan. Lantai satu, di gedung satu. Sama seperti kamar lainnya,
tidak ada yang berbeda. Pandanganku berubah ketika aku melihat satu sosok lain
di kamar ini, baru kutahu kamar serasa berbeda.
Kau tau rep-repan? Oh, kalau tidak, ketindihan.
Kau pasti tahu itu kan? Di mana kau bisa melihat sekelilingnya tapi badanmu
susah digerakkan. Seakan ada yang menahanmu.
Aku adalah satu dari sekian manusia yang sering
mengalami hal ini. Tapi, sejauh ini aku tak lagi merasakan hal itu. Hingga
malam ini.
Pukul 00.00 malam, aku baru saja selesai
mencuci baju di kamar mandi dekat masjid. Kebiasaanku dari dulu mencuci di
tengah malam. Karena selain tempatnya yang sepi, airnya juga lancar. Sambil
membawa dua ember aku melihat sekeliling. Memastikan tak ada anjing yang
berkeliaran.
Dalam gelapnya malam, aku menyipitkan mata.
Memastikan berkali-kali. Melihat ke arah halaman kosong belakang asrama. Lalu
menghembuskan nafas.
“Alhamdulillah gak ada anjing, gak
tau deh kalau ada anjing bakal balik kamar jam berapa?” Kataku pada diriku
sendiri. Ya, aku memang suka sekali bercengkarama sama diri sendiri.
Sengaja aku tak langsung menjemur takut-takut
tengah malam nanti ada ghubar. Dan harus kerja dua kali, aku tak mau
itu. Aku berjalan dalam lorong gelap. Sesekali aku mendengar suara orang
tertawa, mungkin ia sedang menonton film. Decitan ranjang bergerak, dan suara
orang yang mendengkur. Aku sebagai manusia nokturnal sudah terbiasa
dengan senandung malam ini.
Membuka pintu kamar, kasurku tepat di samping
pintu, dekat jendela. Seluruh kawan kamarku telah terlelap. Entah sudah
benar-benar terlelap atau sekedar memejamkan mata. Aku melihat kasurku. Kulihat
seseorang tidur di kasurku. Aku pikir dia Kak Raina. Dia biasa main ke kamarku
untuk tidur. Bandanku agak capek, rasanya tak ingin berbagi kasur. Akhirnya aku
gelar saja selimut di tengah kamar, di bawah kipas.
Sepuluh menit aku berusaha tidur, baru saja
aku mulai menikmati rasa kantuk yang menerpa. Tiba-tiba badanku tak bisa
digerakan. Tangan dan kaki semua terasa seperti diduduki. Kubuka mataku. Sudah
lama aku tak merasakan ini. Dan huft aku menghembuskan napas.
Melihat sekeliling semua gelap dan sunyi, dengan
sekuat tenaga aku berusaha menggerakkan jari kelingkingku. Dan BERHASIL. Baru
saja aku terlepas dari rantai ini. Tiba-tiba mataku dipaksa untuk menutup. Aku
berusaha untuk tetap terjaga. Tapi, aku tak mampu dan akhinya aku terpejam.
Dan lagi, badanku kaku. Ingin aku teriak
tapi bersuara sedikitpun aku tak bisa. Hai, kalian taku kan rasanya seperti
apa. Dan sampai akhirnya aku berhasil. Kejadian ini terulang sampai tiga kali.
Dan kali ketiganya aku tak menyangka akan melihat hal yang sama sekali tak
terduga.
Mataku yang semakin jeli, menatap seluruh
ruangan kamar tak terkecuali kasurku. Di sana tidak ada lagi Kak Riana. Aku tak
tahu ke mana ia pergi. Padahal baru beberapa detik aku mengalihkan pandangan.
Atau emang sedari tadi tak ada orang di situ. Bulu kudukku berdiri tegak,
ketika kulihat seorang kakek kurus tinggi duduk di samping kasurku. Duduk di
atas lantai seraya menggendong sesuatu.
Aku membaca banyak doa seraya mengamati si
kakek. Barangkali itu sekedar halusinasi. Semakin kuamati, aku melihat matanya
yang berwarna merah menyala. Dan ternyata ada sosok bayi yang digendong
olehnya. Mulutku tak berhenti beristigfar. Seraya berusaha menggerakan badanku.
Sekitar lima menit, si kakek masih duduk di
situ. Dan akhirnya aku berhasil menggerakan badan. Ketika aku berhasil
menggerakan badanku, kakek itu menghilang. Segera kubangkit dari tidurku.
Kulihat handphone-ku yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera aku
membangunkan kawan sekamarku.
“Nis, bangun nis. Udah jam tiga. Salat yuk.”
Untungnya Nisa tipe orang yang mudah dibangunkan. Nisa yang sudah bangun segera
pergi ke hamam. Aku mengikutinya. Dan kulihat lagi kasurku. Ternyata
benar memang tidak ada siapa-siapa di situ. Lalu, siapa yang kulihat?
***
“Kak Riana tadi malam tidur di kamarku tah?”
Kak Riana yang mendengar pertanyaanyaank merengutkan dahi.
“Enggak, aku tidur di masjid sama
Tika. Kenapa emang Da?”
“Bohong kan kakak? Tadi malam tuh
ada yang tidur di kasurku, kakak bercandakan?”
Kak Riana menggeleng cepat, “Tanya Tika.
Tadi malam kami belajar sampai jam tiga, Da”
“Kak kalau bercanda jangan keterlaluan.
Kakak jelas-jelas tidur di kasur aku.” Bagaimana aku bisa percaya sama Kak
Riana, sementara ia terus-terusan tertawa. Tapi, Kak Riana terus mengatakan hal
yang sama. Jadi, sudahlah aku juga capek berdebat tentang hal itu.
Setelah kejadian itu, barang-barangku
sering hilang. Padahal aku ingat betul menaruhnya di atas rak buku dekat kasur
atau di kasur. Tapi baru memalingkan pandangan, ia hilang. Dan kalau ketemu
bisa di bawah tumpukan kasur. Di mana-mana. Hei-hei ini jelas gak lucu.
Kawan sekamarku, orang Thailand juga
beberapa kali diganggu. Ditarik selimutnyalah, bahkan ada yang ditampakkan
juga. Kalau kau bilang di Sudan tak ada hantu. Tidak juga. Ternyata mereka
tetap ada. Jangan lupa perbanyak zikir ya…
Kuni Abida
Kamila
Mahasiswa International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar