![]() |
Kupandangi salah satu bingkai foto
di dinding ruang tamu. Terdapat gambar pengurus CID kelas lima seperti; Alvin,
Nafi, Anam, Aidil, Zain, Revo, dan Panji, tetapi ada dua orang
lagi yang tak kenal, langsung saja kutanyakan pada Alvin di sampingku.
“Vin, itu orang di sebelah Anam
siapa?”
“Oh, itu Adhimastya.”
Jawabnya.
“Kalau sampingnya Aidil siapa tuh,
yang paling kecil?” Tanyaku.
“Faris.” Jawabnya.
“Sekarang mereka berdua ke mana, Vin?”
Tanyaku.
“Dipindah Il,
ke kampus 3, Kediri.” Jawabnya.
“Weh tempat ana dulu, dong?” Sahutku tak percaya.
“Iya bener,” Alvin menjawabnya
santai sembari membaca novel kesukaanya.
“Faris sama Dimas kenapa bisa
dipindah Vin?”
Tanyaku kemudian.
“Oh, ga tau ya Il, ana
juga,” timpalnya singkat.
“Aduh gimana sih ente Vin, katanya sekamar tahun kemarin.”
“Bukan gitu, Il, ana
cuman ga mau ikut campur urusan orang lain. Coba ente tanya
Zain atau Aidil mugkin mereka tau,” ujarnya memberikan solusi.
“Ah males ga penting,”
jawabku tak peduli.
“Ya udah kalau gitu hehehe,” remaja
asal Banjarmasin itu pun berbalik badan menghadap tembok.
“Eh, Vin! Ini fotonya waktu kedatangan grand syekh
Al-Azhar, ya?”
Tanyaku.
“Iya Il, tapi kita
numpang foto aja. Ga banyak amal.”[1] Timpal Alvin.
“Lah kok gitu, Vin?”
Tanyaku heran.
“Sababuhu nahnu hina dzalik
imtihan, Il.”[2] Jawabnya sembari mengutarakan alasan numpang foto tersebut.
“Idzan man ya’mal?”[3] Tanyaku
kemudian.
“Faslu sadis ma’a ustaz[4],” jawabnya
singkat.
“Walah gitu toh.. Eh, Vin,
enakan jadi pengurus kelas 5 atau 6 menurut ente?” Tanyaku pada Alvin
dengan pertanyaan yang berbeda.
“Hem, ga tau ya Il,
tergantung apanya dulu,” jawabnya singkat.
“Maksudnya?” Tanyaku tak mengerti.
“Iya Il, kalau
masalah tenang, lebih tenang waktu kelas 5, ga banyak orang di kamar.
Tapi kalau lebih seru, ya lebih seru waktu kelas 6 banyak temen, banyak
acara-acara besar. Apalagi sekarang peranyaan 90 tahun pondok, pasti nanti
padat banget acaranya,” ujarnya menjelaskan.
“Walah lebih enak sekarang berarti
ya, Vin?
Tapi kayaknya kalau waktu kelas 6 gini susah ya kalau ditarikin iuran buat
bikin-bikin baju bareng?” Tanyaku sembari turun dari kursi kayu ke karpet biru
meregangkan badan.
“Bener Il,
kata ente, susah banget narikin iuranya. Kemarin aja waktu kita buat
baju DG-Audio untuk kelas 6, ana harus nombokin dulu. Kalau tahun
kemarin munadzomah faslu khomis,[5] semiggu setelah dilantik ada acara graduate musik
festival.
Nahnu mubasyarotan sina libas ma’an, sahel jiddan pee.” [6]
Jawab Alvin sebari duduk, menutup, lalu menaruh novelnya di atas
meja.
“Oh, kaos biru dongker yang
biasa di pake Anam sama Revo, ya?” Tanyaku.
“Iya yang itu, Il.
Walaupun anak-anak CID yang kelas 6 agak susah ditarikin iuranya, biarin aja Il,
udah gede. Nanti juga mereka paham sendiri, Il.” Jawabnya.
“Oh ya? Kalau gitu menurut ente, ana paham ga?” Tanyaku
mempermainkan Alvin.
“Ya gimana yaa?” Jawabnya, balik
bertanya.
“Apaan sih, Vin, jawab yang bener dong!”
Jawabku,meminta kepastian.
Tiba-tiba Aidil keluar dari lorong
Aula, memandangi kami berdua.
“Weh ribut-ribut dari tadi,
ayo ke masjid, bentar lagi azan Asar nih.”
“Oke-oke Dil, ini
mau berangkat.” Aku lekas beranjak meninggalkan kamar.
Kami
bertiga segera mengangkat kaki bersama-sama ke masjid. Senikmat apa pun masa
lalu, masa depan akan selalu hadir dengan hal yang baru. Kita tak bisa mendikte
siapa saja yang akan dijumpai ketika itu, yang bisa dilakukan adalah bersyukur
dan terus bersyukur. Tetap berprasangka baik kepada Allah Swt
atas apa pun yang diberikan-Nya itulah yang terbaik.
* * * * * * * *
* *
Gedung Yakzoh, Robithah, dan
Sudan merupakan tempat kelas kami. Terpisah jauh dari kamar. Perlu 100 langkah
dari kamar menuju kelas di Yakzoh, 150 langkah menuju gedung Sudan, dan 300
langkah menuju gedung Rabithah. Uniknya, sejauh apa pun kelasnya saat istirahat
pertama, pasti kita semua berkumpul kembali di kamar. Entah sekedar memeriksa koran
yang baru datang, salat Duha, ataupun mengumpulkan uang untuk beli jajan di Walapa.
Namun yang tak bisa kulupa adalah
kelakuan Agilatul. Temanku satu ini benar-benar pintar dan hemat di kala
teman-teman yang lainya mengumpulkan uang untuk makan-makan bersama.
“Gil, kok beli makanannya cuman 3,
es tehnya 1 aja?” Tanyaku dari depan lemari.
“Iya, Gil, kok gitu sih,” heran Nafi.
“Ya ga papa, biar hemat,” jawabnya
polos sembari menebar senyum ramahnya.
“Aduh, Gil, Gil, hehehehehe,
tapi ana minta boleh ya?” Tanyaku.
“Boleh kok, Il, tafaddol.”
Jawabnya ramah.
Aku pun segera merobek donat
miliknya.
“Ana minta juga ya, Gil,
hehehehe,” ujar Nafi.
“Oh, ya ya silakan.”
Agilatul memang terkenal hemat di antara
yang lainya, meskipun begitu dia amat pintar menuliskan naskah-naskah untuk
siaran. Ia rajin membuka kamus Munjid untuk membuat syair-syair epic. Saat
bekerja, dia juga tergolong orang yang amat teliti dan dengan cepat memahami
sesuatu. Berbeda dengan aku yang hanya melek walang, tak mudah paham
kecuali bertanya lebih dahulu.
Setiap anggota
CID mempunyai kelebihan dan titik fokusnya masing-masing, seperti Agilatul.
Seperti Bayu, sang wakil ketua yang fokus pada segala sesuatu yang terjadi di
kamar, studio, dan hall. Fawwas fokus
dengan surat-surat dan broadcasting berbahasa Inggris, Rifqi fokus
dengan desain-desain, Nafi fokus dengan intonasi siaran yang khas, Alvin yang
teliti menghitung arus keluar masuk uang, Umam yang tanggap dalam mengajukan
anggaran-anggaran, namun kerap resah karena ada saja masalah yang muncul. Aidil
dan anggota perkembangan bahasanya yang fokus pada kualitas siaran setiap
orang. Husein dan rekan-rekan teknisinya yang sangat tanggap dan lihai dalam
hal sound system, tetapi tidak terlalu tertarik dengan siaran. Revo dan
Najieb yang paling paham soal alat-alat musik. Panji, Farhat, Raka, Wildan,
Nova, dan aku adalah pemegang kuasa gudang serta inventaris-inventaris Qismul
I’lam.
Namun dibalik
itu semua, ada sosok teladan seorang ketua. Anam hadir bekerja tanpa banyak
bicara, memberikan siaran terbaik tanpa mengkritik mereka yang buruk,
menyelesaikan tugas tanpa mencela mereka yang tak hadir membantu. Anak yang
pertama kali turun di lapangan, dan terakhir kembali ke kamar. Ia tidak pernah
menumpahkan rasa lelahnya di hadapan kami, jika ia sudah tak kuat,
maka akan segera tidur. Tak sekalipun merasa berjasa meskipun banyak hal yang
dikerjakanya. Dengan segala kebaikannya juga dia tidak menganggap dirinya
tinggi, selalu berbaur dengan tawa bersama kami. Itulah mengapa yang membuat
kami terus bergerak tanpa harus ada komando, cukup dengan kesadaran diri saja.
* * * * * * * * * * * * *
“CID tolong dibuang sofa yang sudah buruk di depan kamar, sebelum Ustaz
sendiri yang memindahkanya.” Tegas Ustaz Tio memberi
peringatan saat kumpul mingguan.
Kata-kata itu seolah masuk telinga kanan, ke luar telinga kiri.
Tidak mengena di hati. Lagi pula sofa merah muda yang sudah rusak itu masih
bisa dipakai. Entah sekedar untuk tempat duduk ketika memakai kaos kaki sebelum
sekolah, ataupun bersantai setelah makan malam. Ustaz
Akhlis juga biasa menggunakanya pagi-pagi sebagai tempatnya belajar dengan
anggota kelas. Bagian diesel juga kadang-kadang tidur di atas sofa itu saat malam. Aku pikir
masih banyak manfaatnya benda itu, sayang rasanya jika harus dibuang.
Hujan deras
membuatku terjebak di masjid lantai 2, padahal niatnya siang itu ingin cepat-cepat tidur
di kamar. Sembari menunggu hujan reda, aku, Nafi, dan Zain menebar canda dalam blue house. Tak lama
kemudian azan Asar berkumandang, kami pun lekas mengambil air wudu lalu
menunaikan salat berjamaah.
Rintik air hujan sudah
semakin tenang. Kami lekas pergi ke kamar dengan jalan cepat, berlindung di
atap-atap bangunan, melewati walapa, dan sampai di kamar bagian kursus
bahasa. Ada yang aneh di depan kamarku.
“Fi! Sofa di depan kamar ke mana? Kok ga ada?!” Tanyaku panik.
“Ga tau Il, ana juga kaget,” jawabnya
seraya memasukan sandalnya ke tas kecil.
“Ya Allah jadi kosong banget di depan kamar keliatannya.” Ujarku
sedih.
“Iya pee, coba ente aja tanya temen-temen di
dalem.”
Aku segera masuk ke ruang tamu, tampak Lalu sedang hikmat membaca
koran hari ini.
“Lu! Sofa di depan kamar kemana pee?” tanyaku pada Lalu.
“Oh, itu Il, tadi siang dibawa Ustaz Tio
bareng temen-temen kelas 6 yang lain pake truk ke TPS (Tempat Pembuangan
Sampah),” ia menoleh padaku.
Seketika itu hatiku hancur lebur mendengarnya, ya Allah kenapa dibuang.
“Dah terus temen-temen CID gimana? Ada yang nahan sofanya
biar ga diambil ga?” Tanyaku.
“Ya engga ada Il, mau gimana lagi kalau udah kaya
gitu.” Jawab Lalu.
“Aduh padahal sayang banget loh Lu,
masih bisa dipakai.” Ujarku pada Lalu menyayangkan sofa itu dibuang.
“Udah lah, Il, ga papa, sabar
aja.” Asyrof menyambung dari pojok kursi kayu.
Kupenjamkan mata, mencoba merima kenyataan yang terjadi.
Kubersandar pada tembok studio lalu bertekad suatu saat pasti akan kubelikan
sofa yang baru, jauh lebih bagus dari sebelumnya.
Beginilah pondok,
sepandai apa pun seseorang melanggar disiplin atau perintah. Pasti akhirnya
kena juga. Hanya mereka yang beruntung yang bisa bertahan menyembunyikan
kenakalannya. Tetapi lebih baik taat dengan segala yang ada, demi mendapat rida
dan berkah para Kiai. Aku belum memahami segala hal yang terjadi saat ini, tapi
suatu saat pasti akan mengerti.
M. Ismail
Mahasiswa International University of Africa
[1] kerja
[2] Sebab kita waktu itu ujian.
[3] Jadi siapa yang kerja.
[4] Kelas enam sama ustaz.
[5] Pengurus kelas 5.
[6] Kita langsung buat kaos kompak gampang banget.
0 Comments
Posting Komentar