![]() |
Anam sebagai ketua pertama di bagian
penerangan,
dialah penentu utama setiap keputusan di kamar. Mulai dari memutuskan
penempatan posisi di bagian, penanggung jawab setiap acara, pencairan dana, dan
yang paling penting yaitu pemilihan anggota yang diizinkan untuk tidak masuk
kelas. Bukan anggota CID namanya jika belum pernah diizinkan tidak masuk kelas.
Meskipun beberapa dari kami lebih memilih masuk kelas daripada turun membantu
pekerjaan pondok, salah satunya Aidil.
Ada saja tugas-tugas yang harus tim CID
selesaikan tiap minggunya, apalagi di tengah
perayaan 90 tahun pondok ini. Rasanya hampir setiap hari Nafi, Rifqi atau
Fawwas mencetak surat izin untuk meninggalkan kelas, setelah teman-teman
bertanya di kamar. Dan pagi ini giliran Rifqi sang desainer Qismul I’lam
mencetak suratnya.
“MAN MU’ZAN?”[1] Tanya Wildan.
“Ana, Panji, Husein, Yazid, sama
Farhat.”
“Panji daiman pee!”[2] Keluh Revo dari pojok kamar.
“Soheh, huwa-huwa kula marroh,”[3] lalu ikut kesal.
“Ana baru tiga kali pee,”
Panji membela seraya senyum cengengesan.
“Ana faqot lam bil marroh, Ji!” Sahut Aidil sambil pergi
meninggalkan kamar.
“Kholas loh, Dil, irdho faqot[4],”
balas si anak Pasuruan itu.
Aidil dengan berjalan cepat menuju
kelas setelah membuang muka dari Panji.
“Yaudah besok-besok yang
belum pernah diizinin ga masuk kelas, bilang ke ana. Panji sama
yang lainya yang udah sering izin gantian. kasian tuh Lalu, Najieb,
Alvis, Wildan yang jarang dizinin, Ji!” Tegur tegas Anam sang ketua.
“Haduh, Ji, Ji!” Bayu
menambah-nambah.
“Iya-Iya.”
Panji tertunduk memelas.
“Biasa aja loh, Ji, gitu aja baper pee,” sahut
Alvin.
“Idih baperan pee,
Panji,” Nova menyenggol di sampingnya.
“HAHAHAHAHAHA. JI, JI,”
Alvis tertawa terbahak-bahak padanya.
“Apaan sih, siapa juga yang baper.”
Panji pindah dari kamar ke ruang tamu setelah termakan rasa malu.
“Yah pergi dia, hahaha aduh
parah ente, vis!” Raka
meliriknya dengan senyum canda.
“Duh kok ana sih?”
“Iya ente loh biasa aja
ketawanya tadi, Vis,” Najieb ikut menegur.
“Kholas lah, La ubalie[5]
hehehehehehehe.” Sang teknisi dari Riau ini buru-buru keluar kamar.
Suasana di kamar sesaat kembali
normal. Teman-teman perlahan menyebar ke kelas, membopong tumpukan buku di
tanganya. Sedangkan mereka yang diizinkan tidak ikut kegiatan belajar masih
asyik bersantai membaca koran atau sekedar tidur-tiduran di atas karpet halus.
Karena baru mulai kerja pukul jam 8 tepat biasanya.
* * * * * * * *
* *
Aku buru-buru ke kamar mengajak
Fawwas untuk izin hari ini. Hari paling diidam-idamkan CID untuk izin, yaitu hari
Kamis. Rasa menyenangkan sekali saat penat-penatnya belajar, bisa izin tidak
masuk kelas paginya, diizinkan tidak membimbing latihan pidato siangnya,
apalagi kerjanya hanya mengontrol mik dari jauh ketika ada tamu-tamu dari pondok
alumni.
Perizinan hari kamis tidak hanya
pagi saja, malam pun kami bergantian menentukan siapa yang dizinkan tidak ikut
kumpul wajib mingguan dengan Ustaz Pengasuhan. Dua atau tiga orang diperbolehkan
mempersiapkan sound system di depan Aula untuk acara bahasa setiap hari
Jumat pagi.
Qismul I’lam
sebagai keluarga pergerakan bahasa di pondok. Tidak diwajibkan ikut serta dalam
kajian bahasa untuk kelas 5 dan 6 di masjid pada tiap Selasa dan Jumat. Sesekali
aku coba bergabung ke acara itu setelah salat Subuh, ustaz
pembimbing bahasa marah-marah ke kelas 6. Aku sampai sekarang masih ingat
sekali apa yang dikatakannya dengan lantang.
“WALLAHI MAN LA YAHMIL KUTAIB, ANA UHALLIK!”[6]
Sejak mendengar itu, aku tidak pernah lagi hadir.
Sampai datanglah
suatu pagi, tubuhku terasa lelah sekali setelah membimbing lomba pidato kemarin
malam. Selepas salat Subuh hari Jumat aku segera buru-buru bersembunyi ke gudang
untuk tidur. Kabarnya pagi itu juga Ustaz Faruq membuat
keributan di kamar karena anak-anak terlambat bangun, tanpa sepengetahuanku,
Nafi dan Alvin ikut bersembunyi tidur di gudang. Benar-benar nyenyak terbawa
mimpi indah hinga akhirnya.
‘STUUUUUUK’
Sebuah novel tebal menghantam keras
kepalaku, aku mengelus-ngelus kesakitan. Saat perlahan kumemandang ke depan,
Ustaz
Mimin menatap dingin seolah sudah dijatuhkan hukuman karena tidur di gudang.
Aturannya memang sudah ia buat sebagai ustaz riayah pembimbing CID. Ku lirik ke samping kanan dan kiriku, terlihat
Nafi dan Alvin tampak pasrah juga menerima hukuman.
“Kalian bukannya ikut agenda marhalah [7]di
depan gedung
Syiria, malah tidur di gudang!” Ustaz Mimin memarah-marahi kami yang
masih berusaha mengumpulkan nyawa, usai tidur pagi.
“Sekarang kalian semua botak!”
Kami hanya mengangguk menyetujui keputusannya, lemas, dan pasrah.
“Husein mana guntingnya,” tanya Ustad Mimin.
“Ini. Ustaz,” gunting kecil pink diberikan Husein.
KREK-KREK-KREK
Si petugas disiplin itu mencoba mencukur-cukur rambut panjangku.
Karena tebal, dia pun kesulitan, bukannya rambut yang terpotong malah
guntingnya yang menyangkut di kepalaku.
“Husein, minta gunting ke bagian Keamanan!”
“Na’am, Ustaz.” Husein segera
pergi meninggalkan kami.
Suasana semakin canggung, Alvin dan Nafi tertunduk diam, begitu
pula Ustaz Mimin.
Ku hanya berharap ini lekas selesai.
Tak lama Husein kembali dengan gunting hitam panjang. Sang penegak disiplin
ini pun mulai memitak rambut kami satu persatu secara bergantian.
“Jangan diulangi lagi! Setelah ini silakan dirapikan di tukang cukur,
ingat botak! Bukan yang lain.” Kata Ustaz
Mimin sembari beranjak meninggalkan kami semua.
Rasanya kesal sekali dibotak di gudang sendiri, apalagi ini kali
pertamaku botak selama duduk di kelas 6. ‘AAAAAARRRGGGGHHH USTAZ
MIMIN!’ Gumamku
dalam hati. Semenjak hari itu aku tak pernah ikut kajian bahasa lagi, dan
pastinya gudang bukan tempat persembunyian yang aman lagi. Untungnya masih
banyak tempat persembunyian CID.
* * * * * * * *
*
“Hari ini siapa aja yang diizinin?” Tanya Wildan polos.
“Ana, Aidil, Asyrof, Sulthan, sama Fawwas.” Jawab Zain
datar.
“Yaah ana ga diizinin lagi pee,” keluh Wildan.
“Udah lah Dan, ente ba’din faqot ma’i
murofiq KMD[8],
lebih lama ga masuk kelasnya.” Sambung Raka dari tengah kamar.
“Iya pee jalan-jalan ke kampus 2 lagi,” ujar
Yazid.
“Yaudah lah, oke.”
Aku hanya menyimak dari depan lemari, tak berharap dapat izin ikut
KMD. Karena jujur saja, ku tak suka kegiatan Pramuka. Di saat mereka bercengkerama
soal perizinan, aku bernegosiasi dengan Nafi mengenai sarapan pagi.
“Fi, ente mau beli lauk atau ngambil nasi?”
“Ana beli lauk aja, Il, ente ambil nasi yang
banyak ya di dapur.” Nafi mengambil secarik uang di lemarinya.
“Oke deh, Fi, siap.”
Aku beranjak pergi sepuluh langkah ke dapur umum, sedangkan Nafi
tujuh langkah ke walapa[9] sekedar membeli lauk 5 ribu
dapat 7 macam makanan. Hal ini sering kali kami lakukan untuk menghemat waktu, dan ingin lauk tambahan. Beruntungnya kamar kami
amat strategis untuk pergi kemana pun.
Rasa iri dan
dengki tak pernah bersarang di hati rekan-rekan CID. Kami paham semuanya pasti
akan dapat giliranya masing-masing, dan memiliki kapasitas kemampuan yang
berbeda-beda. Daripada memperdebatkan hak, kami lebih suka menebar tawa dan
canda-canda. Bersyukur bisa dipertemukan di satu kamar dengan orang-orang yang
bisa saling menghargai.
M. Ismail
Mahasiswa International University of Africa
[1] Siapa yang diizinin?
[2] Panji terus nih.
[3] Dia-dia terus.
[4] Udahlah, Dil, terima aja.
[5] Udahlah ana ga peduli.
[6] Demi Allah yang ga bawa buku catatan kecil, saya botak!
[7] Angkatan
[8] Kamu nanti aja sama saya ngebimbing kursus mahir dasar.
[9] Kafetaria dekat kamar.
0 Comments
Posting Komentar