![]() |
“Hari ini gladi terakhir, upacara
untuk apel tahunan. Ustaz harap semuanya siap tampil dengan sebaik mungkin.
Kontingen-kontingen konsulat yang betul tampilnya, material art, gymnastic, dan marching band juga. Parade barisan jangan ada yang asal-asalan!” Tegas Ustaz riayah memberi
komando dari panggung. Seminggu setelah pelantikan pengurus resmi OPPM, Acara apel tahunan
diadakan. Biasanya ada jarak waktu sekitar 2 minggu atau lebih, namun betapa
padatnya tahun ini.
Qismul I’lam mengontrol penuh pengeras suara untuk acara kelak, namun tidak
semua anggota ikut. Karena beberapa dari kami juga ada yang turun ke lapangan
untuk tampil seperti Nafi dan Alvin yang memegang alat musik tim marching band. Gladi hari ini aku menjaga stander mik parade barisan setiap
konsulat, menjaga agar mik berada tepat di depan mulut sang komandan barisan
yang berseru, “HORMAT GERAK! …… TEGAK GERAK!”
Husein, Sulthan, Revo, Yazid, Anam, dan
yang lainya sibuk mempersiapkan daerah panggung. Mixer dengan 32 channel menyambungkan arus
yang menyebar ke seluruh lokasi-lokasi sumber suara,
seperti mik untuk pembawa acara, pimpinan upacara, alat-alat musik, dan
beberapa clip’on untuk petugas upacara.
Rentetan Huper juga berderet
rapih dengan jarak 4 meter setiap satu pengeras suara dan pengeras suara
lainya. Tapi karena apel tahunan ini tidak hanya dihadiri oleh kaum Adam, ada terop
besar di depan gedung Al-Azhar khusus untuk istri-istri ustaz
senior
dan ustazah-ustazah
maka ditaruh juga dua pengeras suara di sana.
Huper pun diletakkan di belakang barisan-barisan santri. Banyaknya kotak
suara aktif yang digunakan di lapangan membuat kurangnya jumlah huper
yang diperlukan untuk apel tahunan di sekitar qoah. Maka mau tidak mau
teman-teman CID nantinya harus segera menganggkat huper yang ada
dilapangan ke aula pertemuan, beberapa menit setelah upacara selesai.
Gladi sore ini berjalan dengan
lancar dengan sedikit evaluasi. Background upacara apel tahunan telah
terikat dan tersusun rapi dengan bambu-bambu, begitu pula background di belakang
panggung utama. Tak terasa lantunan ayat Al-Qur’an sudah berbunyi dari
instalasi pondok, tanda waktu persiap-siap untuk salat Magrib. Pekerjaan akan dilanjutkan setelah shalat
isya kelak.
Malam pun tiba dan para pembimbing
telah siap mengontrol juga turut membantu. Aku dan lainya menuju lapangan dari
gerbang di samping kantor pengurus harian OPPM. Teman-teman kelas yang lainnya
juga sibuk menyelesaikan pekerjaanya masing-masing, beberapa orang merapikan
tanaman di depan panggung, ada yang menyiapkan maskot, ada juga menaruh segala
atribut-atribut yang akan dikenakan besok.
“CID-nya mana? Kok
cuman sedikit, Nam?” Tanya Ustaz Mahmud pembimbing kami, dari tempat mixer.
“Mungkin masih siap-siap di kamar, Ustaz,
atau engga ada urusan yang lain,“ jawab Anam sambil mengulurkan kabel cannon.
“Ya Allah, acara besar perdana
kalian kok begini.”
Anam hanya diam tak menghiraukan kritiknya, walaupun faktanya benar
beberapa teman tak terlihat saat acara besar pertama saat resmi menjadi OPPM.
Aku turut membantu-bantu apa merapikan
kabel kebelakang tanaman-tanaman hias di depan panggung menuju podium utama. Dua
sound pasif kecil diletakkan di depan panggung utama. Yazid, Husein,
Nova, dan
teman-teman yang lainya juga ada yang menyiapkan mik-mik untuk musikus.
Kabarnya besok ada kelompok tanjidor yang melantunkan musik Ojrot yang biasanya di putar saat parade
barisan. Hingga tengah malam kami berkerja, lalu memastikan semuanya aman
setelah itu segera kembali istrihat ke kamar. Besok acara besar, kami harus
bangun tepat waktu besok.
Sejuk embun pagi menyambut hari yang
luar biasa ini. Santri berbondong-bondong pergi menuju ke lapangan hijau.
Peserta parade barisan konsulat mengenakan kemeja putih dengan peci songkok,
sedangkan kelas 6 gagah dengan kemeja angakatan berwarna biru langit. Dan juga anggota
penampilan Bhinneka Tunggal Ika dari konsulat-konsulat menggunakan kostum-kostum
yang menarik, topi bulu ayam, boneka ondel-ondel, Reog Ponorogo, kuda lumping, dan
banyak lagi. Begitu pula kostum kompak rombongan penampilan dari material art, Gymnastic, dan Marching Band. Dan kami sebagai tim multimedia siap
siaga di sekitar panggung.
Nikmat sekali rasanya jadi Qismul
I’lam saat apel tahunan. Dengan berjas dan berdasi berwibawa di bawah terop-terop
merah putih seperti ustaz-ustaz yang lainya, dikala kelas 6 yang lainya harus
terjemur di bawah terik panasnya matahari. Selama 3 tahun menjadi santri baru
kali ini rasanya bisa menonton setiap penampilan saat upacara
apel tahunan
dari atas panggung. Apalagi saat penampilan tarian-tarian daerah kami harus
menjaga kabel yang ada di depan panggung agar tidak disenggol ataupun
diinjak-injak. Rasanya bangga bisa menonton dari dekat bahkan melebihi ustaz-ustaz
yang lainya. Betapa senangnya kami melihat senyuman-senyuman ceria para santri,
atraksi-atraksi menakjubkan, dan juga maskot mother ship[1] kelas
6 yang diiringi barisan siswa akhir dibelakangnya.
Apel tahunan kali ini
amat menyenangkan bagi kami semua. Segalanya berjalan dengan lancar tanpa ada
kendala yang terlihat. Kami rekan-rekan CID pun dengan tanggap memindahkan huper-huper dari lapangan
ke Aula pertemuan dengan tepat waktu. Meski memuaskan akan tetapi benar-benar
menguras tenaga dan pikiran. Setelah salat Zuhur diadakan
tidur wajib untuk melepas semua letih yang melekat di raga. Kadang aku berfikir
banyaknya kegiatan yang ada di pondok adalah cara pendiri dan pimpinan agar
para santrinya terus bergerak, tidak kaku, dan menyatu dalam kebersamaan.
* * * * * * *
** * *
Malam-malam terasa lebih padat dari
biasanya. Rasanya 25 lima anggota CID saja tidak cukup. Dalam satu waktu ada
tiga acara yang berbeda. Husein, Zain, Prass, dan Anam bergerak di panggelaran
seni akbar kelas 5. Nafi,Yazid, Wildan, dan Nova mengontrol sound system di
panggung
gembira
kelas 6. Nafi sibuk mepersiapkan menjadi pembawa acara panggung
gembira.
Bayu, Agilatul, Fawwas, Panji, dan Lalu dikarantina untuk acara
drama.
Revo dan Najieb fokus menciptakan lagu untuk acara panggung
gembira.
Sedangkan aku sendiri bersama Aidil, Sulthan, dan beberapa teman yang lain
menjaga acara kelas 3 intensive dan kelas 4 di qoah.
Ustaz Naufal berfokus di tengah qoah, mengontrol mixer
dalam acara demonstrasi bahasa. Aku dan rekan Qismul I’lam yang lainya fokus di atas
panggung sebagai operator mik. Tugas kami mengontrol memandu pengisi suara
menggunakan mik dengan benar, mengamankan miknya jika sudah terpakai, dan
berkerjasama dengan panitia untuk pembagian mik. Sulthan memegang mik yang
terhubung dengan operator mixer untuk mempermudah komunikasi.
Sebuah acara untuk melestarikan
bahasa daerah dalam bentuk pentas seni. Perwakilan-perwakilan dari beberapa
konsulat besar menampilkan drama dengan logat sukunya. Konsulat Kalimantan
dengan bahasa Banjar, Konsulat Jawa Barat dengan bahasa Sunda, Konsulat Sumatra
Barat dengan dengan bahasa Minang, dan beragam bahasa lainya. Karena ini sebuah
drama,
maka pengontrolan pembagian suara harus terkoordinir dengan baik jika tidak
maka aktor yang tampil buruk. Dan kali ini CID menyiapkan 4 mik kabel dan 2 mik
wireless, aku dan yang lainya selalu siap siaga di samping panggung.
“Penampilan pertama siapa yang tampil?” Tanyaku pada panitia.
“Konsulat Jakarta, Al-akh[2],” jawab Arif salah
satu panitia acara dengan memegang kertas susunan acara di tangan.
Aku lihat anggota konsulat yang akan tampil perlahan memenuhi
panggung.
“Ayo siapa yang aktor utamanya?”
“Ana, Al-Akh,” anak
bercelana batik melambaikan tangan padaku.
“Oke ini kabel wireless-nya. Ingat
dipakainya jangan terlalu jauh, dua jari dari mulut!” Ku mencontohkanya
dengan menempelkan kedua jariku di depan
bibirku.
“Na’am, Al-Akh.” Ia mengangguk.
“Siapa lagi nih yang butuh miknya? Ayo!” Tegas Aidil menanyakan kepada
santri-santri di atas panggung.
“Ini, ini, Al-akh,” salah
satu dari mereka menunjukan orang-orang yang akan mengambil peran.
“Ana ingetin, miknya kalau sudah dipakai jangan dibanting
atau dibuang ke lantai, ditaruh pelan-pelan. Fahimtum?”
“Fahimtu, Al-Akh.”
Sulthan dari tembok panggung sembrang melambai bertanya pada kami.
“Gimana, uda siap?”
Aku dan Aidil mengangkat jempol, dan tiraipun perlahan terbuka
lebar.
Syukur acaranya
berjalan lancar sejauh ini. Komunikasi dengan para panitia berhasil
menghasilkan penampilan yang sempurna. Tapi tidak dengan beberapa peserta, ada
saja ulahnya. Salah satu aktor ceroboh sekali mejatuhkan mik keras ke lantai,
bahkan ada satu pengeras suara yang tertendang jauh.
“AAARRGH!” kesal Sulthan dari sisi tertutup panggung, tangannya mengepal
keras.
“Itu kok ditendang miknya?!” Heranku.
“Yaudah, Il, cepet gulung miknya kesini biar ga ketendang lagi.” Aidil
menepuk dari belakang.
“Oh iya, Dil, ini mau ana ambil.”
Aku mengambil miknya, menggulung kabel hitam dengan jempol lalu
membawanya kesamping.
“Udah, Dil, aman.”
“Oke, Il, semoga aja abis ini gak ada lagi yang buat masalah.”
“Yaah, semoga aja, Dil.”
Rekan-rekan Qismul I’lam dan panitia kembali lagi siap siaga
mengontrol di atas panggung.
Beruntungnya
setelah itu acara berjalan dengan lancar tanpa ada tragedi-tragedi yang tak
diinginkan lagi. Beginilah santri, ada-ada saja ulahnya. Dan aku salah satu
dari mereka. Live is never flat, hidup tidak pernah datar. Seperti
acara-acara di pondok yang ada saja masalahnya, tentunya kami tidak bisa
mengontrol kapan masalah akan datang. Tapi kami bisa mencegah hal buruk itu
terjadi, atau menghadapinya dengan tenang dan sabar.
* * * * * * * * * *
Di area kelas tertua di pondok, gedung
Granada berbentuk leter L bertingkat dua digunakan untuk santri-santri kelas
latihan pentas
seninya.
Drama Arena (DA), sebuah pagelaran seni akbar khusus untuk kelas 5 dan hanya
dirasakan oleh mereka. Berbeda dengan panggung gembira
yang turut mengikut sertakan para santri. Namun acara besar ini juga tidak
lepas dari pimbingan para pembimbing dan kaka kelas 6, termasuk zona sound
system.
Zain, Prass, Husein, dan Anam
bertanggungjawab penuh mengontrol sound system di DA. Tepatnya setiap
kali anak-anak kelas 5 gladi acara. Uniknya mereka tidak hanya berempat saja, beberapa santri
tahun ke-5 ini juga turut membantu. Dari Afdol yang lugu dan berbadan kecil,
Risvan yang murah senyum dan pura-pura tak tahu apa-apa padahal duduk kelas teratas,
Ubed yang berbadan tinggi kekar namun sangat ramah dengan kaka kelas, Obit yang
bersosok tegas penuh ambisi tapi tetap sangat hormat kepada yang lebih tua, dan
juga anggota lainya.
Husein dan Anam tak banyak bicara
ataupun memberi pesan apapun kepada penanggung jawab sound system dari
kelas 5, mereka hanya memberikan contoh dan menjawab ketika ditanya. Berbeda dengan Zain dan Prass yang begitu
menyayangi adik-adik kelasnya. Mereka berdua suka sekali memberi motivasi
setelah gladi selesai, mengajak mereka ngobrol santai, dan bahkan sesekali
mengajak mereka makan bersama. Di antara panasnya persaingan untuk
lebih baik dalam pagelaran seni akbar yang diadakan kelas 5 dan 6, ada sebuah titik
persaudaraan yang hangat di antara kaka kelas dan adik kelas.
Terkadang kami juga terkagum-kagum
dengan cara menghormati adik kelas kami. Jika biasanya saat gladi DA, tak hanya
ustaz yang diberikan konsumsi kami pun anggota CID disuguhkan semangkok sekoteng
ataupun es buah. Sesekali juga Anam terkesima saat Ustaz
Mimin pembimbing dari kelas 5 mengucapkan terimakasih kepada Qismul I’lam,
karena baru kali ini dia seseorang mengucapkanya.
Dulu seseorang pernah bilang bagian
penerangan
itu seperti gula dalam kopi. Seenak apapun kopinya tidak akan pernah dipuji gulanya
enak, pasti disebut kopinya enak. Akan tetapi ketika kopi dalam
cangkir itu terasa pahit, gula selalu disalahkan gulanya kurang nih.
Mirip halnya dengan Qismul I’lam sebaik apapun kualitas suara dalam
acara, kita tak pernah menerima terima kasih
sedikitpun. Namun saat terjadi NGIIIIIIIIIING alias feedback,
pasti kami jadi kambing hitamnya. Ideologi ini bukan prinsip kami, hanya
sekedar kicauan-kicauan manusia belaka.
Kami tetap teguh ikhlas membantu
pondok, dipuji atau tidak, dihargai atau tidak, dimengerti ataupun tidak. Jujur
teman-teman CID tidak peduli, yang terpenting pondok tetap maju. Sebab bukan
karena manusia kami bergerak, tapi wujud syukur kepada Allah SWT
yang telah memberikan kesempatan mengemban amanah yang besar ini. Maka kami
lakukan sebaik mungkin untuk membantu pondok dan agama.
0 Comments
Posting Komentar