![]() |
Kamis pagi ini tidak ada kewajiban
menjadi pengawas latihan pidato untuk rekan-rekan CID, karena Ustaz
Riza telah meminta kami agar meminta izin. Dia ingin mengumpulkan kami di
gudang, hendak membicarakan beberapa hal dan menyelesaikan sesuatu
bersama-samaa. Kostum amal; kaos jersey dan celana training sudah
melekat di badan kami menggantikan kemeja-kemeja masuk kelas sebelumnya. Satu
persatu berangkat ke ruang bawah tanah Qismul I’lam, beberapa dari kami
juga telah ada yang sampai di sana.
Ada alasan kuat kenapa Ustaz
Riza sampai mengumpulkan kami, aku penasaran. Husein, Sulthan, Najieb dan yang
lainya dengan tanggap merapihkan gudang, Bayu juga dengan cekatan menyapu
lantai ruangan. Tak lama yang ditunggu-tunggu pun tiba mengenakan kemeja
mengajar tanpa mengenakan dasi. Dia duduk diantara sound-sound besar
sembari meminta Revo mengambil kotak mik.
“Bismillahirahmanirrahmanirrahim… Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakaatuh.”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh.”
“Langsung saja, Ustaz tidak mau berlama-lama. Satu
setengah bulan lagi kita akan menghadapi acara terbesar tahun ini yaitu
peranyaan 90 tahun pondok. Sebelum itu tiba kita harus ngecek semua
barang-barang yang ada, berapa yang masih bisa, berapa yang harus dibetulin.
Jika ada yang perlu dibeli lagi kita beli segera. Anam!”
“Iya, Staz”
“Dulu setiap pagelaran seni akbar kelas 5 dan 6, mereka mesti mewakafkan puluhan mik. Nah kok
Sekarang di kotak miknya kok cuman tinggal sedikit, sisanya pada ke mana?”
Tanyanya tegas.
“Afwan, Ustaz, kayanya mik-miknya ketinggalan di aula-aula
di sekitar pondok, setelah menyiapkan sound belum dikembalikan lagi ke
gudang.”
“Yaudah kalau gitu, tolong pagi ini ente sweaping[1]
ke tempat-tempat yang mungkin ada mik disitu atau alat-alat lainya. Ajak
temen-temen.”
“Oh iya, Ustaz,
nanti ana bagi tugas untuk sweaping setelah ini.”
“Jangan sweaping semuanya, Nam,
ada juga yang disini cek kabel cannon ada yang noise atau engga.”
“Oke, Ustaz nanti
anak-anak bagian teknisi yang ngecek, Ustaz.”
“Bagus kalau gitu, kamu dan teman-teman didata alat-alat semua. Catat
kira-kira berapa yang kurang, setelah itu laporkan ke Ustaz
Akhlis, atau ustaz yang lainya. Afwan ini Ustaz buru-buru
juga ada acara lain. Jadi gitu ya nam jangan lupa!” Dia menegakkan badanya lalu
beranjak pergi menaiki tangga.
“Iya, Ustaz,
nanti ana koordinir teman-teman,” Katanya sembari tersenyum menunggunya pergi.
Anam
mengumpulkan kami segera, membagi tugas masing-masing. Satu tempat dikirim satu
pasangan untuk sweaping ke tempat-tempat seperti; Aula Pakistan, Aula
Bagian Pendidikan Pondok, Aula Wisma Pondok, sekitar masjid, studio, dan area
lainya. Kali ini aku mendapatkan memeriksa di wisma bersama Wildan.
Si
Anak Saburai ini berhasil memperoleh sepeda ontel, entah dari mana. Karena
memang jaraknya cukup memakan waktu jika dilalui dengan berjalan kaki, kami
bergonjengan ke sana. Melewati lapangan hijau dan
gapura pondok. Setibanya di wisma hijau milik pondok ini, tempatnya begitu
sunyi, tenang, dan sejuk.
“Eh, Dan, ayo naik ke
atas!”
“Yaudah yuk, Il.”
“Sepedanya hati-hati ditaruhnya
jangan sampai ilang.”
“Weh aman, Il, ga
ada siapa-siapa kok.”
TOK..TOK..TOK
“Assalamualaikum, Ustaz!”
Ku ketuk pintu kamar Ustaz
penghuni wisma ini, kebetulan bersebrangan dengan aula wisma
letaknya.
Pintu perlahan terbuka, lalu tampak
pria berambut klimis menyilaukan itu.
“Walaikumussalam, limaza
akhie?”[2]
“Afwan, Ustaz,
saufatis adawat lil Qismul I’lam fil Qo’ah.”[3]
“Oh ya, taffadol, Akhie,[4]” dia segera berbalik dan memberikan kuncinya.
“Syukron, Ustaz.”
“Afwan~”
Aku dan Wildan lekas membuka pintu
aula, memeriksa lokasi biasanya teman-teman CID bersangkar disini. Ternyata
firasat Anam betul, ada beberapa mik yang masih tertinggal di sini
dengan dua buah kabel. Barang-barang itupun ku ambil, dan mengembalikan
kuncinya.
Man
Arafa bu’da safarin, istadda.[5]
Salah satu pepatah arab ini menjadi prinsip utama kami sebagai bagian
penerangan.
Padahal acara masih 2 bulan lagi, sudah mulai dipersiapkan sedini mungkin. Ini
pun baru persiapan permulaan, biasanya akan ada kumpul-kumpul penting bersama
para musrif di aula CID untuk membicarakan semuanya secara terperinci. Meski
ancang-ancang kami telah dari jauh-jauh hari, tidak menutup kemungkinan terjadinya masalah saat acara.
Entah apapun yang terjadi, setidaknya sudah kami persiapnkan semaksimal
mungkin.
* * * * * * * *
* * *
Operator sound setiap kumpul
wajib
pondok
selalu berada di samping jendela depan aula. Tugasnya mengontrol kualitas suara
yang keluar dari setiap media yang digunakan, dari mulai, video di layar kaca,
melodi piano, sampai yang paling sentitif yaitu mik. Benda itu memiliki
pengontrolan suara lebih, dari yang lainya. Karena beda orang yang menggunakan
mik, beda pula pengaturanya di mixer. Di dalam benda dengan banyak
tombol bass, tremble, middle yang dapat diputar ke kanan atau ke kiri ataupun
yang channel mik yang naik turun mengatur volume. Jika salah mensettingnya
akan menimbulkan suara yang memekikkan telingnya. “NGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING,”
atau biasanya kami sebut dengan Feed-Back.
Mixer Yamaha dengan 6-16 channel mik yang biasa digunakan saat acara pondok, entah di aula
ataupun yang lainya. Ada pun yang lama bentuknya abu-abu, terlihat sangat
manual dengan hanya dua 2 channel mik didalamnya. Dan kali ini rumornya ada mixer yang baru
saja dibeli khusus untuk acara peranyaan 90 tahun Pondok.
Malam itu
setelah menyantap tahu lem tambak, alias tahu isi aci tebal tapi biasanya
anak-anak menyebutnya begitu. Aku, Nafi, Aidil, Alvin, dan Raka hendak masuk ke
dalam kamar. Tiba-tiba Zain menarik lenganku dari belakang.
“Eh, Il, ente
mau lihat sesuatu ga?” Ajaknya.
Nafi, dan yang
lainya tidak mepedulikanku lalu asyik bersantai di ruang tamu.
“Lihat apa, Zain?”
“Udah ikut ana
aja dulu, Il, ke gudang.”
Aku pun
menerutinya berjalan menuju markas CID itu.
Tak lama kami
pun tiba di sana, waktunya memang tak cocok karena berhempitan dengan azan
Isya. Aku terdiam sesaat terheran-heran padanya.
“Ada apa sih, Zain?”
“Ini loh, Il!”
dia menarikku mendekat suatu benda yang masih terlihat asing.
“Apa nih?
Barang baru ya?”
“Iya, Il,
ini namanya Mixer Digital, channel-nya
ada 32, katanya ini itu ga banyak tombol-tombol kaya bass, tremble, middle, dan
gainnya. Semuanya diatur di satu layar yang Touch-Screen, keren kan, Il?”
“Iya mantep
banget pee, barang fungky kaya gini bisa berapa ya harganya?”
tanyaku sambil mengelus-mengelus kardus barang itu.
“Katanya sih
sekitar 200 juta’an, Il, harganya.”
“Gholin jiddan pee, masrufat ana mundu judud hatta faslu sadis faqot,
la yakfi lisrai haza.”[6]
“Soheh il
ana kazaka hahahahha.”[7]
“Hahahhahhaha.”
Ruang bawah itu pecah dengan tawa
kami berdua. azan Isya pun berkumandang,
membuat kami segera keluar dari ruangan tersebut dan segera mengambil air wudu.
Pondok
bukan hanya mempersiapkan sesuatunya dari jauh-jauh hari. Tapi memberikan yang
terbaik untuk para santri, bukan hanya sekadarnya saja. Dan Kabarnya bukan
hanya mixer digital yang baru
datang, ada juga sap aktif yang amat berat dan katanya harganya mencapai
puluhan juta. Benar adanya kata pendahulu, pondok ini dari santri untuk santri
dan didik oleh kiai santri. Jadi terasa betul keberkahan kebersamaan di dalamnya.
* * * * * * * * * * *
Sebuah menara
menjulang di sebelah masjid
berwarna abu-abu, konon sudah berumur puluhan
tahun higga tampak banyak karat menempel di dinding besinya. Tikus-tikus
dan burung-burung menjadi penghuni tetap disana. Namun bagaimana pun juga bangunan itu masih
amat berjasa memopong tinggi banyak corong TOA untuk mengumandangkan azan
dan lantungan ayat suci Al-Qur’an. Kabarnya di tahun ini menara itu akan
dirubuhkan lalu diubah menjadi lebih baik dan modern.
Diantara ribuan
santri, tidak semua boleh memasuki lokasi tersebut. Hanya bagian-bagian
terpilih yang mempunyai kepetingan diperbolehkan ke sana, seperti
bagian
diesel
untuk memeriksa lampu-lampu dan arus listrik, dan juga bagian
penerangan
yang mengontrol suara-suara tetap bisa keluar dari corong-corong yang menggantung
di sana.
Malam hari,
sepulang dari kumpul di masjid. Aku, Nafi, Alvin, Aidil, dan Raka sedang asyik menyantap
seporsi Pecel Lele di kafetaria. Kebetulan sekali makan di sana
karena masih awal bulan, uang belum terkuras habis. Perut kenyang hatipun senang,
sudah makan tak lekas pergi kembali ke masjid tapi kami hendak mampir bersantai
terlebih dahulu di teras kamar CID. Bersantai di atas sofa tua sembari
memadangi wajah-wajah santri yang lalu lalang.
“Dil, masih
laper ga ente? Beli roti bakar di samping Qoah yuk?”
“Kholas, Il, mabtun jiddan ana haqiqotan,”[8] jawab Aidil sembari mengelus-ngelus perutnya.
“ Deh ente, Il, ga kenyang-kenyang,” tegur Alvin.
“Ya kali aja
masih ada yang laper kan,” kataku sambil mataku melirik yang lainya.
“Nanggung, Il,
udah bentar lagi salat Isya. Nanti besok-besok lagi aja,” kata
Nafi menasehatiku.
“Iya soheh
pee, tapi kok jam segini belum ada suara murottal dari JMQ[9]-nya?”
“Wah iya pee,
kok belum ada ada ya?”
Di tengah-tengah percakapan kami,
tiba-tiba Sulthan lewat dan berseru.
“SOUND MENARA MATI!”
Kami tekejut mendengarnya, bergegas
belari kenjang ke menara, menerobos kerumunan orang-orang yang berjalan. Aku
dan yang lainnya yakin, ada kemungkinan kabel sound di atas sana terputus
sebab gigitan tikus. Para santri terheran-heran melihat kami panik melewati
gedung-gedung. Tepat di depan Masjid Jami’ kami
membagi menjadi dua tim, ada yang masuk ke dalam menara, ada juga yang
memeriksa mixer dan amplifier dari blue house.
“Ana, Yazid,
sama Husein ke Blue House. Dil, sama yang
lainya tolong cek ke atas menara,” seru Sulthan.
“Oke-oke.”
Gembok
kode yang menempel di pintu menara dengan cepat dibuka. Kegelapan ruangan
menara pun menyambut kami, tak ada sinar terpancar di dalamnya selain dari
lampu cabai kecil yang pernah ditaruh Qismul Makinah.[10] Puluhan
anak tangga dengan besi yang keropos kami pijaki satu persatu, tangan kami
bepegang kuat di pagar besi yang sesekali bergoyang-goyang seakan ingin rubuh.
Jantung pun berdenyut semakin kencang dari biasanya. Kala itu tak terfikirkan lagi keselamatan
kami, hanya ingin terus berjuang bagaimana caranya membantu pondok.
Tibalah
kami di pintu pertama menara. Alvin dan Panji yang pertama kali menjajahkan
kakinya disana, sedangkan aku masih berhati-hati menyusul dari bawah. Mereka
yang telah sampai di atas lekas memerika kabel-kabel, corong-corong pengeras
suara, di dalam dan diluar ruangan. Menurut mereka tidak ada satupun kerusakan
yang ditemukan. Aku yang baru di CID bingung apa yang harus dilakukan.
“Audzubillahi-minasyaitonnirrajimm.. Bismillahirahmanirrahim”
Suara lantunan Al-Qur’an mulai
keluar dari corong-corong menara.
“JIII! PANJII!” Husein teriak dari
bawah Masjid yang berjarak sekitar 20 meter.
“KENAPA,
SEN!” Panji membalas.
“UDAH SELESAI JI, SALAHNYA DARI BLUE
HOUSE!”
“OKE, SEN!” Panji pun
berbalik badan.
“Kholas pee, fabana
muskilahtuhu fi Blue House pee.”[11]
“Haduh, kalau gitu ngapain susah
naik menara,” keluh Aidil.
“Hah yaudahlah gimana lagi, udah
terlanjur juga,” kataku.
Kami
berlima pun segera beranjak turun dengan rasa campur aduk, tenang karena
masalahnya sudah selesai, dan kesal karena tidak ada gunanaya naik menara.
Bagaimanapun juga apa yang kami lakukan sekarang, akan menjadi cerita indah di
masa depan kelak. Benar kata Pimpinan pondok.
“Seindah-indah masa adalah masa
muda.
Seindah-indahnya masa muda adalah
waktu belajar.
Dan kalian semua rasakan itu semua
di pondok.”
[1] Menyapu memungut barang-barang.
[2] Kenapa nak?
[3] Maaf ustaz mau mengecek peralatan bagian penerangan di dalam.
[4] Silahkan nak.
[5] Siapa yang mengetahui seberapa jauhnya perjalanan akan
bersiap-siap.
[6] Mahal banget, uang bulanan saya dari anak baru sampai kelas enam
aja, ga mungkin cukup buat beli ini.
[7] Bener il ana juga.
[8] Udah lah, Il, saya udah kenyang banget beneran.
[9] Jamiyyatul Qurro, Komunitas Qori Santri-santri.
[10] Bagian Diesel.
0 Comments
Posting Komentar