![]() |
Menikah merupakan salah satu ikatan atau akad yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan norma agama. Di samping sebagai alternatif penyaluran kebutuhan biogis, ia juga merupakan sarana untuk menjaga keberlangsungan generasi manusia. Ia merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada setiap makhluk-Nya. Oleh karenanya, tradisi menikah sudah dikenal sebelum datangnya Islam di berbagai belahan dunia.
Islam memiliki pandangan yang lebih jauh mengenai pernikahan, bukan
hanya sebatas ‘adah (tradisi) melainkan ibadah dengan segala syarat dan
rukunnya. Sabda Nabi saw.
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (البخاري)
“Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”
(Bukhori)
Sesungguhnya Dia yang menurunkan syariat adalah Dia juga yang
menciptakan fitrah kepada seluruh makhluk-Nya. Maka fitrah yang Allah turunkan
tentu sejalan dengan syariat yang Allah tetapkan. Syekh Thorify (al Hijaab: 7)
berkata bahwa setidaknya syariat yang Allah turunkan tidak terlepas dari dua
unsur utama: Pertama, pelaksanaan perintah serta menjaganya. Kedua, melarang
untuk merubah fitrah tabiatnya.
Karena keselarasannya dengan syariat, kerap kali fitrah sendiri
dimaknai sebagai agama oleh sebagian ulama sebagaimana yang dikuatkan oleh al-Baghawi,
as-Sam’aniy, Jalaluddin al-Mahally, Jalaluddin as-Suyuty, dan yang lainnya.
Baru-baru ini muncul satu istilah yang sedang hangat dimasyarakat
mengenai childfree. Dikutip dari tribunnews.com (Sabtu, 21 Agustus 2021)
“Melansir dari Cambridge Dictionary, child-free adalah istilah
yang dipakai untuk merujuk pada orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki
anak, atau tempat dan situasi tanpa anak.” Artinya kedua mempelai bersepakat
untuk tidak memiliki keturunan semasa hidupnya.
Bagaimana pandangan Islam mengenai childfree?
Memiliki keturunan atau anak merupakan salah satu tujuan pernikahan
dalam Islam. Syekh Abdul
Majid an-Najar berkata dalam kitab risalahnya maqashid syariah fi ahkaamil
usroh,
فقد قال تعالى:" ياأيّها الناسُ اتّقُوا ربَّكُم الذي خلقَكُم من
نفسٍ واحدةٍ وخَلَقَ منها زوجَها وبثّ منهما رجالاً كثيرا ونساءً " (
النساء/1 )، فالآية تومئ إلى أنّ الزواج وهو أساس الأسرة إنّما الهدف الأوّل منه
هو التكاثر لاستمرارية وجود النوع الإنساني. (مقاصد الشريعة في أحكام الأسرة: 9)
Allah berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang-biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisaa: 1)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa pernikahan adalah pondasi utama dalam
keluarga, dan tujuan pertama dalam pernikahan adalah perbanyakan (keturunan)
untuk keberadaan generasi manusia. (Maqashid syariah fi ahkaamil usroh: 9)
Memiliki keturunan juga merupakan salah satu keinginan yang
dicita-citakan para nabi, Allah berfirman,
وَاِ نِّيْ خِفْتُ الْمَوَا لِيَ مِنْ وَّرَآءِيْ
وَكَا نَتِ امْرَاَ تِيْ عَا قِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا. يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ ۖ وَا
جْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Dan Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku,
sedang isteriku adalah seorang yang mandul. Maka anugerahilah aku dari sisi
Engkau seorang putera yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian
keluarga Ya'qub; dan Jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai.”
(Maryam: 5-6)
وَزَكَرِيَّاۤ اِذْ نَا دٰى رَبَّهٗ رَبِّ لَا تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَّاَنْتَ
خَيْرُ الْوٰرِثِيْنَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: ‘Ya
Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris
yang paling Baik.’” (al-Anbiya: 89)
Dan dalam
hadits Nabi saw.,
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَام
لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ بِمِائَةِ امْرَأَةٍ تَلِدُ كُلُّ امْرَأَةٍ غُلَامًا
يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
فَلَمْ يَقُلْ وَنَسِيَ فَأَطَافَ بِهِنَّ وَلَمْ تَلِدْ مِنْهُنَّ إِلَّا
امْرَأَةٌ نِصْفَ إِنْسَانٍ (البخاري)
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Sulaiman bin Dawud a.s. berkata, “Pada
malam ini, aku benar-benar akan menggilir seratus orang isteri, sehingga
setiap wanita akan melahirkan seorang anak yang berjihad di jalan Allah.”
Lalu Malaikat pun berkata padanya, "Katakanlah ‘Insya Allah.’"
Namun ternyata ia tidak mengatakannya dan lupa. Kemudian ia pun menggilir pada
malam itu, namun tak seorang pun dari mereka yang melahirkan, kecuali seorang
wanita yang berbentuk setengah manusia. (Bukhory)
عَنْ مَعْقِلِ
بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لَا تَلِدُ
أَفَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ لَا ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ
الثَّالِثَةَ فَقَالَ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
بِكُمْ الْأُمَمَ (أبو داود)[1]
Dari Ma'qil bin Yasar, ia berkata; seorang laki-laki datang kepada
Nabi saw. lalu berkata; “Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang
mempunyai keturunan yang baik dan cantik, akan tetapi dia mandul, apakah aku
boleh menikahinya? Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang lagi kedua
kalinya dan beliau melarangnya, kemudian ia datang ketiga kalinya lalu
Rasulullah saw. bersabda: ‘Nikahkanlah wanita-wanita yang penyayang dan
subur (banyak keturunan), karena aku akan berbangga kepada umat yang lain
dengan banyaknya kalian.’” (Abu Daud)
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا
وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا
وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعُهَا أَعْضَاءً ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا
امْرَأَةٌ إِلَّا خَدِيجَةُ فَيَقُولُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي
مِنْهَا وَلَدٌ. (البخاري)
Dari 'Aisyah r.a. berkata; "Tidaklah aku cemburu kepada salah
seorang istri-istri Nabi saw. sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah.
Padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi ini karena beliau sering
sekali menyebut-nyebutnya (memuji dan menyanjungnya) dan acapkali beliau
menyembelih kambing, memotong-motong bagian-bagian daging kambing tersebut,
lantas beliau kirimkan daging kambing itu kepada teman-teman Khadijah. Suatu
kali aku pernah berkata kepada beliau yang intinya seolah tidak ada wanita di
dunia ini selain Khadijah. Maka spontan beliau menjawab: ‘Khadijah itu begini
dan begini dan dari dialah aku mempunyai anak.’" (Bukhory)
Menurut hemat penulis, childfree atau enggan memiliki anak
serupa dengan kasus para sahabat yang melakukan ‘azl (mengeluarkan dzakar
saat berhubungan sebelum keluar air mani, sehingga air mani keluar di luar farji
perempuan) di zaman Nabi saw.
عَنْ جَابِرٍ
قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ زَادَ إِسْحَقُ قَالَ سُفْيَانُ لَوْ
كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ (مسلم)
Dari Jabir, dia berkata; “Kami biasa melakukan azl di saat al-Qur`an
masih turun." Ishaq menambahkan; Sufyan berkata; “Sekiranya azl
dilarang, tentu al-Qur`an akan melarang perbuatan kami.” (Muslim)
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ ذُكِرَ الْعَزْلُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَلِمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ أَحَدُكُمْ وَلَمْ
يَقُلْ فَلَا يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدُكُمْ فَإِنَّهُ لَيْسَتْ نَفْسٌ مَخْلُوقَةٌ
إِلَّا اللَّهُ خَالِقُهَا. (مسلم)
Dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata; “masalah Azl pernah
dibicarakan di hadapan Rasulullah saw., lantas beliau bersabda: ‘Kenapa salah
seorang dari kalian melakukan hal itu?’ -beliau tidak bersabda: ‘Janganlah
salah seorang dari kalian melakukan hal itu’- sesungguhnya tidak ada jiwa yang
telah diciptakan melainkan Allah lah Penciptanya." (Muslim)
Syekh Amin al-Hajj dalam kitabnya Ahkaamu Zawaaj menjelaskan
perbedaan ulama tentang hukum azl.
Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada juga yang di-rukhsoh-kan
oleh beberapa sahabat di antaranya Ali, Ibnu Masud, Abu Ayyub, Zaid, Jabir,
Ibnu Abbas, Hassan bin Ali, Khobbab, Abi Sa’id, dan Sa’ad bin Abi Waqosh.
Dan berkata Ibnu Taimiyyah,
وَأَمَّا "
الْعَزْلُ " فَقَدْ حَرَّمَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ؛ لَكِنَّ مَذْهَبَ
الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ يَجُوزُ بِإِذْنِ الْمَرْأَةِ. (مجموعة
الفتاوى, 32/108)
“Adapun azl, maka
sebagian ulama mengharamkannya, namun para imam yang empat berpendapat bahwa ia
boleh atas izin perempuan.” (Majmuatul fatawa, 32/108)
Adapun ulama yang tidak membolehkan dari golongan sahabat Umar dan
Ibnu Umar, bahkan Ibnu Hazm cenderung mengharamkan.
Namun, semua kembali kepada maksud dan tujuannya. Jika tujuan tidak
memiliki anak karena khawatir akan keselamatan sang ibu atau anaknya kelak,
maka hukumnya boleh. Tetapi jika hal tersebut bertujuan untuk membatasi atau
bahkan tidak mau memiliki anak karena takut miskin dan sengsara, maka ini tidak
diperbolehkan di samping tidak sesuai dengan tujuan utama dari pernikahan dan
keinginan Nabi Muhammad saw. hal tersebut juga bertentangan dengan ayat al-Quran,
وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَوْلَا دَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَا قٍ ۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ
وَاِ يَّا كُمْ ۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَا نَ خِطْاً كَبِيْرًا
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar.”
(al-Israa: 31)
Atau beralasan dengan dalih hak
perempuan atau hak suami istri untuk chilfree pun sangat keliru. Sebab
dalam Islam tidak ada kebebasan mutlak yang tidak memiliki batas, semua mesti
dilingkari oleh batasan-batasan syariat. Ketika suatu kebiasaan adat yang hukum
asalnya boleh, namun bertabrakan dengan tujuan syariat, maka wajib
ditinggalkan.
Salah satu sasaran utama iblis dalam
menjerumuskan manusia adalah dengan merusak fitrah manusia yang selaras dengan
syariat.
وَّلَاُ ضِلَّـنَّهُمْ وَلَاُ مَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰ
مُرَنَّهُمْ فَلَيُبَـتِّكُنَّ اٰذَا نَ الْاَ نْعَا مِ وَلَاٰ مُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ
خَلْقَ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يَّتَّخِذِ الشَّيْطٰنَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَقَدْ
خَسِرَ خُسْرَا نًا مُّبِيْنًا
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan
mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh
mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar
memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi
pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
(an-Nisaa: 119)
Karena dengan rusaknya fitrah
manusia dapat berimbas pada perusakan syariat Islam sendiri.
وَاِ ذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيَا تُنَا بَيِّنٰتٍ ۙ قَا
لَ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَآءَنَا ائْتِ بِقُرْاٰ نٍ غَيْرِ هٰذَاۤ اَوْ بَدِّلْهُ ۗ قُلْ
مَا يَكُوْنُ لِيْۤ اَنْ اُبَدِّلَهٗ مِنْ تِلْقَآئِ نَـفْسِيْ ۚ اِنْ اَتَّبِعُ اِلَّا
مَا يُوْحٰۤى اِلَيَّ ۚ اِنِّيْۤ اَخَا فُ اِنْ عَصَيْتُ رَبِّيْ عَذَا بَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan
Kami berkata: ‘Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia.’
Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.…’” (Yunus:
15)
Wallahu a’lam bis Showab.
Ikoy Azhari
Mahasiswa IUA
Sudan
0 Comments
Posting Komentar