![]() |
“Medina, Medina.
Medinatun Nabi.
Medina, Medina.
That's where I want to be.” Lagu Maher Zain favoritku tedengar dari sound-sound di
sekitar pondok menemani langkahku menuju gudang. Sore ini rencananya
kawan-kawan CID ingin menyiapkan sound di lapangan hijau. Beberapa sound huper, kabel-kabel,
mik, dan alat-alat lainya akan kami pasang di sana.
Ku kenakan baju
ungu polos dengan logo kecil di dadanya, warnanya terlalu mencolok dipandang,
tapi aku tidak peduli selama masih bisa dipakai dan nyaman. Papan nama
merupakan hal penting bagi santri-santri sebagai tanda pengenal, sering
ditekankan oleh para pengurus asrama dan bagian keamanan, juga Ustaz riayah[1]. Tapi untuk kali ini aku tidak menjepitnya di bajuku, karena hanya
satu papan nama yang kupunya. Bukan hal yang mudah juga untuk mendapatkan lauhatul
ism[2]
untuk kelas 6 butuh proses yang lama, lagi pula aku hanya kerja biasa. Rasanya
tidak masalah jika tidak memakainya sekarang.
Beberapa ikatan
kabel cannon dan terminal kuambil, dan menentengnya keluar gudang.
Sultah, Husein, dan Raka mengangkat sound-nya
ke atas gerobak hitam yang sudah tersedia di depan tangga ruang bawah tanah.
Aku pun meletakkan barang-barangnya, lalu tiba-tiba ada jepitan jari yang
menyelinap, menyerang dadaku.
“AAAAAH,” Reflekku, kemudian ku lirik di depanku sudah ada Ustaz
Jerry yang menatap dingin menakutkan.
“Aina
lauhatuka akhie?”[3] Tanyanya dari
samping motor bebeknya.
“fi Hujroh ustad?”[4]
“limaza la tasta’mil?”[5]
“Nassitu, Ustaz,”[6] kataku sambil tertunduk senyum berharap dimaklumi olehnya.
Dia hanya memandangku dingin dan datar, seolah menolak alasanku.
“Man ismuka, Akhie”?[7] Tanya
ustaz riayah itu seraya
mengambil sesuatu dari dalam jok kendaraanya.
“Ismail, Ustaz.” Jawabku sembari kepalaku mengintip pelan-pelan apa yang sedang
penegak disiplin itu ambil.
Seketika dia memungut setangkai spidol hitam, lalu menulis namaku
besar-besar di kaosku. “Ismail la tansa, ista’mil lauhataka![8]”
Aku hanya mengangguk-ngangguk pasrah, kali ini pakaianku benar-benar
menjadi korban utama. Ustad Jerry pun lekas pergi bak agen rahasia yang sudah
menyelesaikan tugasnya, wajahnya yang terlihat dingin seakan menutupi rasa
puas.
“Gila il gede banget tulisanya hahahahaha,” Aidil menertawaiku dari
samping gerobak.
“Soheh il, Kabir jiddan pee,” Sulthan memeriksa bajuku dari
depan.
“Haduuh, kaifa Kaman pee.”[9]Kataku meratapi nasib bajuku yang belum berumur lama.
“Sabar ya, Il,” Husein menepuk pundakku dari sebelah.
Aku membalas tepukannya
lalu berbalik menyelesaikan segala pekerjaan-pekerjaan
bagian sore ini. Ustaz Jerry memang terkenal menemukan pelanggaran santri-santri dengan
sangat halus, sunyi, bahkan pinjakan kakinya saja tidak terdengar. Dia pandai
menyergap pelanggar-pelanggar secara mengejutkan dengan gerak-gerik yang tidak
bisa ditebak. Untungnya kali ini hanya soal papan nama yang ia temukan, jikalau
ia menemukan kami saat makan-makan nasi bersama di gudang mungkin sekarang
anggota Qismul I’lam sudah hidup tanpa rambut.
* * * * * * * * * * *
Beberapa minggu kali ini tidak ada
belajar malam bagi santri-santri, termasuk kelas 6. Orang-orang tersibukan
dengan latihan-latihan penampilan untuk menghadapi apel tahunan
dan pagelaran
seni akbar
siswa akhir pondok. Dan ashabul Qismul I’lam[10]
terbiasa paling awal datang menyiapkan sound untuk latihan, kemudian
paling terakhir pulang demi mengembalikan alat-alat pengeras suara ke dalam
gudang. Maka bukan hal yang asing lagi kalau kami tidur di atas
jam 10 malam, bahkan sampai dini hari. Namun bagaimanapun perjuangan dan
pengorbanan di pondok, aturan dan disiplin tetap tegak tidak memudar
sedikitpun.
Ku lipat bantal kapuk, dan
kusandarkan kepala di atasnya. Rasanya malam ini lelah
sekali setelah mengontrol sound system saat acara di aula,
begitu pula teman-teman terlihat energi di wajahnya terkuras habis. Kami baru
selesai membereskan semuanya tepat sebelum tengah malam tiba. Aku memilih tidur
di depan lemariku dengan kasur busa tipis, teman-teman yang lain ada yang nyaman
di bawah hembusan kipas ruang tamu, di atas karpet biru hall CID, dan
ada juga yang telentang di atas sofa pink yang sudah bobrok. Bagusnya
tidak ada yang tidur di lantai dua diatas Studio CID, takutnya tidak ada yang
membangunkan karena tempatnya tak mudah diketahui orang-orang.
DOOR! DOOR! DOOR!
Suara
gaduh terdengar kencang dari bibir balik lemari Anam, aku terkejut takut hingga
tak berani melepaskan kelopak mata dan mengabaikanya.
“QISMUL I’LAM ALA HISABI ASYAROH UKHRUJU JAMI’AN!! QUMUU AMAAMA
HUJROH![11]”
Teriakan ustaz riayah menghantam
penuh satu ruangan.
Tubuhku sontak terbangun, bergegas berlari meninggalkan kamar tanpa
sempat mengganti pakaian. Revo, Farhat, Islah, dan beberapa teman yang lainya juga
buru-buru melesat melewati Ustad Faruq yang berjengger di pintu.
“WAHID! .. ISNANI! .. TSALATSAH! … ARBA’AH! .. KHOMSAH! ..
SITTAH! … SAB’AH! … SAMANIYYAH! … TIS’AH! .. ASYAROH!” Ia menghitung begitu
cepat dengan penuh amarah yang membara, suaranya membuat para anggota asrama
mengintip dari lantai dua.
Shocking morning[12]
rasanya, memandang para santri sudah
ramai mengulang-ngulang kosa-kata pagi, orang-orang sudah lalu lalang di
sekitar gedung Indonesia, dan aku masih tercengang mengumpulkan nyawa. Ustaz Faruq berbalik badan, menatap kami
dengan mulut bulan sabit.
“INHARIFUU JAMI’AN![13]”
Kami pun perlahan-lahan mengambil posisi push up, tangan
kami melebar menapaki bumi, kaki menahan bobot badan belakang tanpa alas, dan
tak lupa mengangkat tinggi-tinggi pinggul agar tidak mudah lelah. Di
tengah-tengah kami menjalani hukuman, sang penegak disiplin memanggil seorang
santri dari lantai dua. Dia membicarakan sesuatu ke anak yang datang
menghampirinya, kami tak mempedulikanya hanya berharap ini lekas usai.
Lambat laun langit
menghapuskan gelapnya, ku intip Ustaz Faruq tidak
ada di depan kami. Dan tiba-tiba,
BYUUUUUUUUUR … BYUUUUUUR
Dua ember penuh tumpah tersiram di atas badan kami, sontak
santri-santri keluar mengintip dari pagar lantai 2, wibawa kami sebagai kakak
kelas runtuh terbawa air yang mengalir di tanah. Hawa dingin yang merasuk ke
seluruh tubuh terkalahkan dengan perasaan malu yang mendalam.
“La tu’id marrotan tsaniyatan!, kholas intasyiruu jami’an!”[14] Dia dengan
singkat mempringati kami, dan lekas pergi dengan sepeda motornya.
Hah udah? Gitu aja? Tidak ada kata-kata motivasi gitu atau alasan
dia menghukum kami sampai seperti ini, gumamku. Aku pun dan lainya segera bediri, meregangkan badan yang
lemas. Tak sengaja ku lirik ke kanan, ada Panji yang diam-diam berjalan keluar
dari kamar mandi.
“Weh, JI! Dari mana ente?” Seruku.
“Hehehehe dari dalam WC pee,” katanya
tanpa rasa berdosa sedikit pun.
“Mafii dhomir pee, ente tahrub!”[15] Farhat marah di samping
Anam.
“Dasar ente, JIIII, JIIII,” Najieb menyambung rasa kesal.
“afwan pee,” ujarnya polos.
Tak lama Aidil, Bayu, Jaka, Nafi, dan yang lainya pulang dari masjid.
“Eh abis dihukum sama siapa nih? Kasian banget pee,”
tanya Aidil.
“Biasa, Dil, Ustaz Faruq.” Jawabku datar.
“Hehehehe sabar pee”
“Ah ente ga bangunin sih, Dil!” Anam kesal
“Ana juga bangunya
telat nam.”
Di sela-sela pembicaraan, Raka dan Zain dengan santai keluar dari
ruang tamu.
“Ka, ente dari mana?”
Sahut Nafi.
“Dari dalam pee, di lantai dua studio dari tadi sama Zain”
Jawabnya dengan cengingisan.
“Iya pee, ana denger semua ente diapain aja
dari tadi,” Zain menambahkan seraya memasang wajah tanpa dosanya.
“AARGH, mafie dhomir pee ente berdua,” kataku ketus.
Kami pun dengan sekujur pakaian yang basah kuyup menerobos masuk
ke kamar.
Pagi ini terasa
amat menyebalkan, tapi bagaimanapun juga ini adalah pendidikan. Sekeras apapun
kita berjuang untuk pondok, tetap beribadah kepada Allah Azza wa Jalla
merupakan yang utama. Jadi kami maklumi itu, lagi pula aku dan yang lainya
memang melanggar, sudah seharusnya menerima balasan. Mungkin ini juga salah
satu cara bagaimana pondok mendidik keikhlasan ke dalam jiwa santri-santrinya.
* * * * * * * *
* *
Siang ini lauknya
begitu lezat, tiga tusuk sate dengan tumpahan saus kacang. Apalagi Prass yang
membawa oleh-oleh ke kamar dari dapur, membawa beberapa sisa tusuk sate. Kami
berkumpul santai di ruang tamu sembari mengemil.
“Eh, Vis, kemarin malem ente yang maju waktu kemisan di gor,
ya?” Tanya Prass.
“Iya pee, ana, Anam
sama Farhat yang berdiri di depan kemarin.”
“Waah sohean,[16] Vis, habisnya ana kemarin sama Husein izin ga
kemisan buat nyiapin sound untuk acara bahasa.” Sambungku.
“Soheh,[17] Il, kemarin ana ketahuan Ustaz Dodo ngumpet
di lantai 2 studio.”
“Kok bisa ketahuan, Vis? Hikayah loh pee!”[18]
“Gini loh, Il, ceritanya. Sebelum muhadoroh[19] tuh udah ngerasa ga enak badan kan, lemes
banget. Waktu ana mau naik, eh Anam dateng keliatan lemes banget, yaudah
dia naik juga. Eh gak lama, Farhat ikutan naik. Awalnya kan cuman ga mau ikutan
latihan pidato, abis itu malah keterusan. Tembus ga kumpul kemissan sama
pengasuhan.
“Awalnya ana
tenang-tenang aja tuh , Il, tidur, eh tiba-tiba ada kamus Munjid terbang dari bawah kena
perut ana pee, sakit banget. Yaudah ana reflek kebangun dong, eh Ustaz
Dodo langsung lihat dari bawah. Dia ngelepar lagi galon kosong dari bawah,
dihitung sampai sepuluh disuruh keluar kamar kumpul di gor. Akhirnya dipejeng
di depan anak-anak kelas 6 yang lagi kumpul, dari awal sampai selesai. Capek
banget berdiri lama, tapi untungnya ga di botak, Il.”
“Hehehehehehe, beruntung banget pee ente.”
“Yah wajar, Il ga dibotak, ada Anam kok.” Panji menyambung obrolan.
“Dah? Kenapa emangnya, Ji?”
“Anam udah kebal sama Ustaz Dodo, Il.”
“Ah apaan sih, Ji, ga jelas ente,” seru Anam.
“Alah ngaku aja ente nam”
“kholas lah masi’ta dzalik ji!,”[20] Anam pergi
meninggalkan kamar.
“Ente cara ngumpetnya basi sih, Vis,” tegur
Prass.
“Ah terserah ente lah, yang penting ana ga di
apa-apain.”
“Kok Ustaz Dodo bisa tahu, ya? Sampe ngelempar galon
segala lagi.”
“Nah itu, Il, ana juga ga tahu. Kok dia bisa tahu dan kepikiran sampe
ngelempar galon.”
“Yaudahlah, Vis, Il, prass la tubalii.[21] Mendingan sekarang ke masjid yuk,
bentar lagi azan Asar nih.” Alvin mengajak kami semua.
Aku pun beranjak dari kursi kayu panjang di ruang tamu, keluar
menuju masjid.
Prass, dan Alvis, dan yang lainya juga segera pergi.
Seseorang pernah
mengingatkanku. Pondok itu seperti lautan yang jernih, maka sampah akan tersingkir
terbawa ombak dengan sendirinya ke pinggiran pantai. Sampah-sampah ini
merupakan kami orang-orang yang melanggar ataupun tidak betah, entah kapan
pasti akan ketahuan juga ataupun dikeluarkan dari pondok ujung-ujungnya.
M. Ismail
Mahasiwa International University of Africa
[1] Pengasuhan santri
[2] Papan nama
[3] Dimana papan nama kamu nak?
[4] Di kamar ustad
[5] Kenapa tidak kamu pakai?
[6] Saya lupa ustaz
[7] Siapa nama kamu nak
[8] Ismail jangan lupa pakai papan namanya.
[9] Gimana lagi.
[10] Teman-teman bagian penerangan
[11] Bagian penerangan hitungan sepuluh semuanya keluar! Berdiri di
depan kamar!
[12] Kaget pagi-pagi
[13] Push up ( tolak angkat) semuanya!
[14] Jangan ulangi kedua kalinya! udah bubar semua!
[15] Gak ada hati yaa, kamu kabur!
[16]Yang bener, Vis.
[17] Betul.
[18] Ceritalah.
[19] Latihan pidato.
[20] Udahlah terserah kamu, Ji.
[21] Jangan peduliin.
0 Comments
Posting Komentar