Sakit Mental Bukan Berarti Kurang Iman

 


Wabah Covid-19 sudah lebih dari satu tahun berjalan. Mulai dari lockdown hingga PPKM terus diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran wabah ini, selama itu pula kita melakukan hampir semua kegiatan di rumah dari kerja hingga kegiatan sekolah.

Tuntutan dan permasalahan yang tak kunjung usai, ruang gerak yang dibatasi, dan tak terpenuhinya kebutuhan sosialisasi membuat stres kian menumpuk tanpa bisa diekpresikan seperti yang biasa dilakukan, karena kita belum sepenuhnya beradapstasi dengan kebiasaan kala pandemi ini.

Tetapi ada hikmah di balik pandemi ini, perhatian akan kesehatan dalam masyarakat kian meningkat, mulai menjaga apa saja yang dimakan, lebih sering melakukan olahraga, dan sangat menjaga kebersihan. Sedangkan pada kesehatan mental, kita jadi lebih peduli dengan perasaan dan emosi dialami. Larangan bepergian ke luar rumah dan ketakutan akan penyebaran virus ini memuat orang menjadi lebih mudah stres, jenuh, dan capek.

Meskipun perhatian akan isu kesehatan mental ini meningkat, tetap saja banyak orang masih mempunayi paradigma yang salah akan hal ini. Pertama, mempunyai masalah dalam kesehatan mental sering diartikan sebagai sesuatu yang membahayakan. Padahal tidak semua gangguan mental itu mengakibatkan seseorang tidak bisa mengontrol dirinya hingga menyakiti orang lain. Kedua, memandang kesehatan mental sebagai hal remeh dan tidak penting, hingga menganggap itu adalah kesalahan diri sendiri, contoh dengan kata “kurang iman”. Ketiga, anggapan bahwa orang yang bermasalah mentalnya adalah orang yang lemah khususnya untuk kaum pria, sehingga membuatnya malu untuk meminta bantuan, yang mana keadaan ini biasa dikenal dengan “toxic masculinity”.

Pandangan-pandangan ini membuat orang menjadi enggan untuk terbuka dan malu untuk mengakui permasalahan mental mereka kepada sahabat, orang tua, bahkan psikolog atau psikiater. Dengan perkembangan teknologi sekarang ini, sering kali kita jumpai layanan kesehatan, akun media sosial yang mengajak orang terbuka akan kesehatan mentalnya agar bisa hidup lebih berkualitas.

WHO mendefinisikan kesehatan mental sebagai berikut, kesehatan mental merupakan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang lengkap, bukan hanya tidak sakit dan ketidakmampuan. Kesehatan mental sangat berpengaruh dalam kesejahteraan hidup, baik secara fisik maupun sosial, berpengaruh dalam pengambilan keputusan, cara berpikir, dan bertindak

Mengenali kesehatan mental diri adalah bentuk kepedulian terhadap diri yang biasa disebut dengan self awarnes yang merupakan kesadaran diri untuk memperhatikan diri sendiri, dengannya kita lebih bisa memahami dan mengontrol diri. Semisal kita stres, tiba-tiba emosi atau kinerja kita menurun, kita tidak terlanjur sibuk dan malu mengakui ada yang salah dalam diri sendiri dengan pemahaman akan diri dan tahu penyebab gejala-gejala yang timbul dari dalam diri kita. Setelah mengenali kesehatan mental yang kita miliki, selanjutnya kamu dapat menjaga kesehatan mental dengan menerima diri sebagaimana adanya dan berproses menuju lebih baik.

Akhir kata, marilah kita lebih peduli dengan diri kita masing-masing. Jangan memendam masalah, jika ada masalah dengan ornag lain segera selesaikan, jika ada masalah dengan diri sendiri entah kejadian di masa lalu atau ketakutan akan masa depan, ingat selalu ada Allah yang akan selalu membantu kita selama kita mau bergerak untuk memperbaikinya

Jangan sampai menumpuk, menutup, memendam masalah dalam hati, dan menjadi bom waktu bagi diri kita di masa mendatang. “Dan jika baik, baik pula tubuhnya, dan jika rusak, rusak pula tubuhnya dan itu adalah hati” (Hadis Jibril).

 

 Sumber gambar : pinterest

Muhammad Nur Wahid

Mahasiswa International University of Africa


Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak