Proses Apropiasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam



Sejak Islam menyebar pertama kali ke seluruh jazirah Arab, Rasulullah saw sudah meyuruh para sahabat untuk mempelajari ilmu, terutama baca dan tulis. Padahal waktu itu menurut riwayat hanya ada sekitar tujuh belas pengikut Rasulullah saw yang bisa baca tulis. Kepandaian baca tulis yang waktu itu hanya dimiliki para elit cendekiawan, tidak lagi menjadi monopoli dan menyebar ke seluruh masyarakat secara besar-besaran. 

Memang awalnya ilmu yang berkembang dalam Islam adalah ilmu agama., namun kemudian wilayah Islam megalami perluasan, terutama sepeninggalan Nabi saw, yaitu zaman khulafaurasyidin yang dilanjutkan oleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Poeradisastra mencatat berturut-turut jatuh ke tangan umat Islam. Damaskus pada tahun 4 H (629 M), seluruh Syam dan Irak pada tahun 17 H (637 M), Mesir terus ke  Barat sampai Maroko pada tahun 20 H (645 M), Persia pada tahun 21 H (646 M).

Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw (632 M), kaum muslim telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabi dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang dalam sejarah Islam disebut sebagai pembukaan negeri-negeri (futuh al-buldan) ini berlangsung pesat dan tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil berhasil ditaklukkan serta dianeksasi. Sehingga tidak sampai satu abad, pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh jajahan Alexander the Great di Asia (Kaukakus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko), mencakup Mesopotamia (Irak), Syiria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, ditambah semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis), serta India. Islam bertahan di Poiteier dalam usahanya meluaskan pengaruh ke Perancis. Dalam waktu seabad setelah hijrah, Islam telah membentang dari Teluk Biskaya di sebelah Barat hingga ke Turkistan (China) dan India, melebihi imperium Romawi pada puncak kejayaannya.

Dengan wilayah kekuasaan seluas itu, peradaban Islam berkembang dan berinteraksi dengan bangsa, agama, dan peradaban lain. Kaum muslim bersentuhan dengan kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, bangsa Yunani, Romawi, penganut Zoroaster, dan lain sebagainya yang berbeda cara pandang terhadap dunia (worldview). Untuk keperluan dakwah dan berargumen, kaum muslimin pun mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di peradaban tersebut, mereka menerjemahkan buku-buku untuk dipelajari, diteliti, dibahas, dan dikembangkan.

Sebagai contoh, Khalifah Abu Ja’far Abdullah Al-Manshur (memerintah 735-775 M) telah mempekerjakan para penerjemah yang menerjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat dari bahasa Yunani, Persia, dan Sansekerta. Diantaranya Bakhtaisyu Kabir alias Bakhtaisyu ibn Jurijs ibn Bakhtaisyu (800 M), Al-Fadzl ibn Naubakht (815 M), dan anaknya Abu Sahl Tiamdz ibn Al-Fadzl ibn Naubakht, serta Abdullah ibn Muqaffa (1720-1757). Pada kekhalifahan Al-Maimum ibn Harun al-Rasyid yang memerintah tahun 813-832 M kegiatan diperdebatkan. Pada tahun 830 M, Al-Maimun mendirikan Darul Hikmah atau Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia, terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, obeservatorium bintang, dan universitas (darul ulum), bahkan fakultas kedokteran telah didirikan pada tahun 765 M oleh Jurjijs ibn Naubakht. Al-Maimun mengirimkan serombongan penerjemah ke Konstatinopel, Roma yang terdiri dari Abu Yahya ibn al-Batriq (815 M), Muhammad ibn Sallam (839 M), pemimpin Darul Hikmah Hajjaj ibn Yusuf ibn Mathar (833 M) dan Hunayn ibn Ishak (874 M).

Dari hasil terjemahan mereka, bekembanglah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran dan karya kaum muslimin itu sendiri. Mereka mulai meramu, meracik, dan menghasilkan karya dari hasil pengetahuan yang mereka pelajari dari peradaban lain. Beberapa karya lain dari filsafat asing dan filsafat Yunani yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dibuang. Hal-hal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan.

Proses ini digambarkan dengan sangat baik oleh Syed Hossein Nasr, sebagai berikut:

Dalam kedua kasus tersebut (yakni kemunculan sains di dunia Islam dan Eropa Barat) memang mengalami masa pemindahan, namun ada juga masa pengunyahan, pencernaan, dan penyerapan, yang juga berarti penolakan. Tidak pernah ada sains yang diserap ke sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip dengan tubuh kita, kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang.

Dalam proses interaksi tersebut, kaum muslim pun terdorong untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Suryani (Syiriac) ke bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syiria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan. Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‘Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, mereka pun banyak merekrut kaum terpelajar lokal sebagai staf pemerintahan. Mereka inilah yang kemudian banyak mewarnai perkembangan pemikiran selanjutnya. Sebut saja, Ibn al-Muqaffa (759 M) dan Yahya ibn Khalid ibn Barmak (803 M), cendekiawan dan politisi berdarah Persia yang diangkat menjadi menteri kala itu. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (833 M) mulailah dilaksanakan proyek penerjemahan secara intensif dan massif. Ia mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti sebagai berikut; Hunayn ibn Ishaq dan anaknya Ishaq ibn Hunayn, Abu Bishr Matta ibn Yunus, Yahya ibn Adi dan lain-lain. Menjelang akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi, dan alchemy.

Istilah Apropiasi Ilmu Pengetahuan

Apropiasi berarti tindakan mangambil sesuatu untuk dipakai sendiri (the act of taking something for your own use). Kadang-kadang terlebih akhir-akhir ini, pengambilan itu tanpa seizin pemiliknya. Dalam beberapa hal disinonimkan dengan kata aneksasi (pengambilalihan).

Istilah tersebut juga sering dipakai untuk pengambilalihan budaya (Cultural Appropiation) dalam rangka memakai atau meminjam sebagian dari suatu budaya untuk dipakai. Semisal, orang barat menata rambutnya dengan dikepang kecil-kecil sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Afrika. Istilah Cultural Appropiation biasanya mengandung makna kebudayaan besar mengambil sesuatu dari kebudayaan kecil, sebagaimana kasus rambut di atas. Apropiasi budaya atau kultural adalah mengadopsi elemen-elemen tertentu dalam suatu budaya tanpa memerdulikan orang yang memiliki budaya tersebut. Jadi ringkasnya, apropiasi kultural adalah proses ‘meminjam’, ‘menggunakan’, bahkan ‘mengambil’ secara bebas atribut, unsur, ikon, bahkan ritual budaya milik kelompok minoritas atau kelompok yang rentan mengalami diskriminasi dan eksploitasi.

Istilah apropiasi lebih dipilih oleh Sabra karena mengandung arti tindakan yang lebih aktif dibanding naturalisasi yang terkesan natural atau apa adanya tanpa adanya tindakan aktif. Berbeda dengan makna apropiasi kultural yang cenderung negatif, apropiasi dalam ilmu pengetahuan sah-sah saja. Dan ketika proses tersebut berlangsung dan “sukses”, maka akan terjadi penerimaan (resepsi) dari budaya baru untuk kemudian dikembangkan sendiri.

 

Sumber gambar : TAJDID.ID

Falah Aziz

Mahasiswa International university of Africa

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak