![]() |
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna.
Penciptaannya bukan untuk dipermainkan. Ada skenario yang sudah tersusun sangat
rapi. Tanpa adanya kekeliruan sedikit pun. Mungkin iya, kita seringkali salah
paham dengan takdir kita. Beberapa orang bahkan mengutuk tentang takdirnya. Memberikan
label bahwa dirinya adalah pembawa sial.
Kita terlalu sibuk memikirkan urusan takdir, yang
padahal sudah sangat jelas kalau takdir bukanlah ranah kita. Apa yang terjadi
saat ini, baik ataupun buruk merupakan proses dari terciptanya kita yang lebih
baik lagi. Akan ada sebuah hikmah di akhirnya.
Covid-19 misalnya, sebuah fenomena pengguncang dunia.
Menghancurkan kestabilan seluruh negara. Bukan satu, dua orang yang terkena
imbasnya, tetapi seluruh penjuru dunia. Banyak sekali kabar duka bertebaran.
Satu demi satu para mujahid berguguran. Dalam medan tempur yang berbeda.
Rasa khawatir menghinggapi siapa saja yang mendapat
sebuah kabar bahwa keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Dan semakin hancur
ketika kabar kematian tiba-tiba muncul. Apalagi jikalau itu salah satu dari
kedua orang tuanya.
Orang tua menjadi salah satu tempat kembali seorang
anak yang ternyaman. Orang tua pulalah yang paling banyak berkorban untuk
kebaikan anak-anaknya. Pengorbananya pun tak bisa kita balas walau dengan
mengegedongnya mengelilingi ka’bah.
Maka Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk
berbakti.
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا
بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ
“Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang tua.” (QS. Al An’am: 151).
Dan Rasulullah pun telah memerintahkannya, ketika beliau ditanya oleh
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
أيُّ العَمَلِ
أحَبُّ إلى اللَّهِ؟ قالَ: الصَّلاةُ علَى وقْتِها، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: ثُمَّ
برُّ الوالِدَيْنِ قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: الجِهادُ في سَبيلِ اللَّهِ قالَ: حدَّثَني
بهِنَّ، ولَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزادَنِي
“Amal apa yang paling dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla?” Nabi bersabda: “Shalat pada
waktunya.” Ibnu
Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Nabi menjawab: “Lalu birrul walidain.” Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu
apa lagi?” Nabi menjawab: “Jihad fi sabilillah.” Demikian yang beliau
katakan, andai aku bertanya lagi, nampaknya beliau akan menambahkan lagi (HR. Bukhari dan Muslim).
Nah, dari
sini kita telah mengetahui bahwa berbakti kepada orang tua bukanlah perkara
yang dianjurkan. Melainkan sebuah perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Namun, bagaimana ketika mereka telah tiada? Apakah sudah berakhir tugas kita
untuk berbakti.
Masih ada banyak cara untuk berbakti. Masih ada banyak
hal yang bisa kita lakukan untuk memberikan kebahagian kepada mereka. Bukan
kebahagian dunia melainkan kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan yang paling abadi.
Suatu hari seorang sahabat yang telah ditinggal pergi
oleh kedua orang tuanya bertanya kepada Rasululkah tentang bagaimana cara ia berbakti
kepada kedua orang tuannya.
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ
أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا
“Wahai Rasulullah, apakah
masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah
meninggal dunia?”
Setelah mendengar
pertanyaannya, Rasul ﷺ menjawab:
نَعَمْ، الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ
لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ
تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا
“Iya, masih tetap ada
bentuk berbakti pada keduanya. (Bentuknya adalah) mendoakan keduanya, meminta
ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin
hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua, dan
memuliakan teman dekat keduanya.” (HR: Abu Daud).
Setidaknya ada empat hal
yang masih bisa kita lakukan. Pertama, mendoakannya. Mendoakannya adalah
hal yang wajib kita lakukan ketika mereka telah tiada. Ini bahkan menjadi satu
hal yang lebih baik daripada memperingati tapi lupa mendoakannya. Kedua,
memohonkan ampunan. Memohonkan ampunan merupakan amal Jariyah yang tak pernah
terputus. Dan menjadikan naiknya derajat orang tua kita. Ketiga, menjalin
hubungan silaturahmi dengan keluarga orang tua. Dan yang keempat,
memuliakan teman dekat keduanya.
Keempat hal inilah yang
Rasulullah contohkan kepada kita. Bagaimana beliau tetap menjalin silaturahmi dengan
keluarga orang tuanya. Dan tetap memuliakan kerabat orang tuanya.
Satu hikmah, yang
didapat. Rasulullah memang ditakdirkan menjadi yatim piatu sejak kecil karena
Allah ingin menjadikan beliau pribadi yang kuat, yang hanya bergantung
kepada-Nya.
Jangan terlalu larut
dalam kesedihan, buatlah mereka bangga dengan diri kita. Berikan hadiah
terindah disurga.
Sumber gambar : madaninews.id
Abida Kamila
Mahasiswi International University of
Africa
0 Comments
Posting Komentar