![]() |
Tanah
subur terhampar luas di tengah lautan gurun pasir nan gersang mengelilinginya. Terlihat
juga tumbuhan hijau yang menghiasi sanubari pemandangan daerah yang mungkin
menjadi surga dunia bagi ribuan mata yang melihatnya. Jabal Marroh pun
menjulang tinggi melebihi gunung Prahu yang menjadi salah satu ikonik bumi
pertiwi, ditambah lagi air terjun yang selalu mengalir kencang seakan menjadikan
ia benar-benar surga dunia.
Tapi
semua itu tinggal kenangan, surga dunia yang dahulu selalu menjadi perbincangan
akan keindahannya, tiba-tiba menjadi sebuah neraka dunia yang hanya ada
pertumpahan darah dan suara gemuruh di sana. Bukan lagi tentang suara burung
yang setiap pagi berkicau sembari menambah keindahan daerah itu, tetapi gemuruh
peluru yang hampir setiap saat terdengar yang membuat setiap orang tertuju ke padanya.
Bukan untuk menikmati indahnya surga dunia itu, tetapi untuk membersihkan
peluru dan selalu berharap semoga neraka segera kembali menjadi surga.
14
tahun berlalu, dan ribuan orang telah menjadi saksi kejamnya siksaan neraka
dunia itu, bahkan tak segan-segan mereka dibantai habis oleh algojlo penjaga
neraka disana, anak kecil orang tua dan perempan pun tidak luput dari pandangan
sang algojo. Di setiap mereka hanya bisa menangis ketakutan dan berharap akan
datangnya sebuah keadilan dari sebuah dewan yang mengaku menjadi penjaga
tatanan dunia, sehingga tak banyak dari mereka meninggalkan tanah kelahiranya
demi berharap menemukan surga yang baru.
“Bukan
soal tak mampu menghadapi, tapi soal ketenangan hati demi menjaga iman kami dan
kenyamanan dalam kami bersujud kepada Sang Maha Kuasa dan Maha Adil”.
Rabu,
21 Juli 2021 bertepatan dengan hari Tasyrik pertama, kami We Care Sudan dan
APIA Sudan yang bekerja sama dengan organisasi kemanusian Rowahil di Sudan mengadakan
qurban dengan tema “Qurban Garis Depan Menyapa Negrei 2 NIL”. Kegiatan
ini hasilnya akan disalurkan kepada warga pribumi Sudan, para santri tahfiz di khowah,
dan para penuntut ilmu Indonesia yang berada di Sudan.
Desa
Darussalam yang terletak di distrik Umbada adalah destinasi tujuan kami untuk menyalurkan
hasil qurban. Sebuah desa yang terletak di ujung kota Omdurman itu
adalah tempat pelarian bagi penduduk Darfur demi menyelamatkan diri dari
konflik yang terjadi di sana, bahkan nama Darussalam sendiri diambil dari kata
“Dar” yang artinya rumah dan “Salam” yang berarti keselamatan, yang mana mereka
berharap semoga dari nama itu, tempat yang mereka huni sekarang adalah tempat
yang senantiasa diberikan keselamatan dan dilindungi dari berbagai hal-hal yang
tidak diinginkan.
Senyuman mereka menghiasi pagi kami kala itu,
harapan mereka pun sedikit demi sedikit mulai terwujud, bagaimana tidak, sudah
bertahun-tahun mereka menjalani hidup dengan berbagai keterbatasan, menjalani
hidup dengan berbagai kekurangan, menjalani hidupi dengan berbagai pelik kisruh
kehidupan.
6
ekor sapi sudah disembelih, mereka pun berbondong-bondong untuk mengangkat daging
sapi-sapi yang disembelih itu ke atas sebuah tuk-tuk (motor Tossa) untuk dibawa
ke Mas’ul muroba’ (RT) untuk dikuliti, dipotong, dan dibagikan pada
setiap RT di sana, jangan bingung dengan yang sudah terjadi memang seperti itu
adatnya.
Kami
pun berkeliling ke setiap rumah ketua muroba’ yang menjadi tempat pendistribusian
daging sapi di sana. Ramai kerumunan manusia menunggu di depan setiap rumah
para ketua muroba’, menunggu apa yang mereka selama ini harapkan dari Sang
Maha Pemberi rezeki, walaupun terlihat sedikit bagi kami, tapi bagi mereka
adalah sebuah anugerah terbesar yang pernah mereka dapat.
Hingga
akhirnya, kami tiba pada muroba’ terakhir pada desa tersebut, keadaan
yang sama juga terlihat. Antusias mereka juga begitu baik pada kami, ya
walaupun kita tahu sendiri, budaya Afrika sangat berbeda degan budaya Asia,
yang mugkin mereka lakukan itu biasa saja bagi mereka itu yaitu sebuah ke-bar-bar-an
bagi kami.
Beberapa
foto pun kami ambil pada setiap muroba’ yang kami kujungi, tak
segan-segan pula salah satu dari mereka meminta untuk dibuatkan video demi
mengucap terima kasih untuk para peng-qurban yang berada Indonesia. Tak
sedikit dari mereka juga menangis haru saat mengucapkan terima kasih kepada
kami, karena selama ini mereka berpendapat bahwa orang yang berpangkat itu sama
saja, hanya mementingkan jabatan tanpa melihat rakyatnya yang lemah hingga
dibantai.
“Wallahi,
saya ucapkan terima kasih kepada kaum muslim yang ada di Indonesia. Wallahi
demi Allah saya tidak akan pernah makan daging kecuali kalian para orang baik
dari Indonesia datang ke kita dan ber-qurban untuk kita,” ucap seorang
lansia yang berteriak sambil menangis memberikan ucapan terima kasih, jujur aku
pun mendadak menjadi orang yang cengeng waktu itu.
Di sana
juga terdapat bangunan kecil terbengkalai di tengah tanah lapang di antara
rumah-rumah penduduk, aku melihatnya dengan bingung, kemudian datanglah seorang
bapak berkemeja putih kotak menghampiriku dan berkata, “Itu adalah bangunan
yang ingin kami jadikan sebuah masjid, madrasah, dan tempat kholwah di
desa ini, tapi kami tidak punya uang untuk melanjutkannya,” lalu aku bertanya
kepada bapak itu, “Apakah itu tidak terlalu kecil untuk sebuah masjid bahkan
sebuah madrasah pak?” Beliau menjawab, “Yang penting niat dulu mas, kami bangun
hanya sekecil itu karena memang kemampuan kami hanya bisa membangun segitu,
tapi kami tahu Allah Maha Tahu dan Maha Pemberi rezeki. Kami harap suatu saat
nanti akan datang orang-orang baik seperti kalian dan membuatkan masjid untuk
kami, karena satu-satunya masjid di desa ini berada di ujung jalan sana.”
Aku
hanya terdiam dan terenung mendengar ucapan bapak itu, dalam hati ku menangis, tetapi
mataku menolaknya karena malu akan banyaknya orang di sekelilingku, kemudian
aku menyusul teman-temanku dan melanjutkan dokumentasi di daerah itu.
Tak
terasa bayangan yang dibuat oleh sang surya sama panjangnya oleh tinggi badan
kami, yang mana tanda hari sudah mulai sore. Kami pun kembali menaiki mobil
hilux yang sedari siang setia mengantar kami berkeliling desa Darussalam itu,
kami pun berpamitan dengan penduduk setempat, dan tak disangka bapak berkemeja
putih itu pun ikut mengantarkan kami ke titik kumpul awal saat penyembelihan
tadi.
Bapak
itu pun bercerita kepada kami keadaan di Darfur yang menjadi tanah nenek moyang
mereka sebelum memuntuskan untuk meninggalkannya, lalu aku dengan spontan
bertanya, “Kenapa kalian tidak melawan para oknum bersenjata itu?” Bapak itu
terdiam sejenak lalu tersenyum kepadaku.
“Bukan
soal tak mampu menghadapi, tapi soal ketenangan hati demi menjaga iman kami dan
kenyamanan dalam kami bersujud kepada Sang Maha Kuasa dan Maha Adil,” ujarnya
dengan tegas. Kemudian bapak tersebut menambahkan, “Kami juga mementingkan
keadaan orang tua, anak-anak, dan cucu kami. Selalu berharap mereka tidak lagi
harus hidup dalam suasana yang dramatis walau hidup di tanah nenek moyang kami.”
Sampailah
kami di pusat desa itu, kemudia kami berpamitan untuk pulang dan kembali ke
kehidupan ibu kota yang penuh tanda tanya. Kehidupan ibu kota yang banyak
cobaan, yang pada hakikatnya cobaan itu tak seberat dari cobaan-cobaan saudara
kami yang dengan berat hati harus meninggalkan tanah nenek moyangnya demi
menjaga iman dan asar sujud mereka.
Pengalaman
yang membuatku semakin mengerti apa itu rasa syukur, pengalaman yang membuatku
menangis dalam renungan akan segala keputusasaanku selama ini, dan pengalaman
yang membuatku bangkit dari sebuah keterpurukan akan adanya masalah yang harus
aku hadapi di depan nanti.
Terima
kasih Sudan yang selama ini mengajarkanku arti sebuah rasa yang mana susah dari
kami untuk memaminya. Terima kasih Darussalam yang sudah memuatku menangis
dalam renungan dan bisa memahami dari sebuah masalah yang datang. Dan terima kasih
kalian yang masih bisa mempertahankan keimanan dalam keadaan yang tidak
meyakinkan.
Danil Haq
Mahasiswa Universitas Internasional of
Afrika
0 Comments
Posting Komentar