![]() |
Hangat
dan menyenangkan. Pagi ini ayah mengajakku bermain ke taman kota. Menikmati
udara pagi juga butiran embun yang bergelayutan manja pada helai daun. Sengaja
aku sentuh, merasakan setiap tetesnya
yang beradu dengan kulit. Suara riuh pengunjung ikut
meramaikan suasana. Terdengar sorak-sorai anak seusiaku bermain sepak bola
dan voli.
Hematku,
matahari sudah mulai meninggi. Menyapa bumi yang semalam tidur lelap dibelai
temaram cahaya bulan. Seakan semburat cahayanya menyiram sekujur tubuhku yang
pada hari-hari biasa lebih suka sendirian di kamar bersenda gurau dengan sepi.
Memaksanya mengeluarkan butiran keringat dari pori-pori kulit.
Hari
ini hari libur. Ayah selalu baik padaku. Selalu tahu keinginanku meski tanpa
aku pinta. Ayah sering memberiku hadiah ketika aku mendapat juara kelas atau
memberi kejutan di momen spesial
tertentu. Aku memang tidak jago dalam olahraga bahkan tergolong payah. Namun
dalam bidang akademik aku lumayan bisa diperhitungkan, karena aku
mempunyai memori hafalan yang kuat.
Ayah
bekerja sebagai pegawai kantoran dengan gaji pas-pasan. Berangkat pagi pulang
sore, setiap hari seperti itu. Namun ayah tak pernah bosan menemaniku belajar
di malam hari, juga tak segan berbagi kisah menarik.
Tawanya yang khas, agaknya terdengar menyenangkan di
telinga. Ia suka bercanda. Tapi aku sendiri kurang suka dicandai. Aku hanya
bisa berandai-andai suatu saat nanti aku bisa menatap baik-baik wajahnya yang
termakan usia.
Ibuku
juga baik. Orangnya sabar dan pengertian. Kendati aku suka merepotkan, sejauh
ini belum ada yang bisa menggeser posisiku sebagai anak tunggal. Aku suka semua
masakan ibu, baik yang sederhana seperti nasi goreng atau yang spesial seperti
kari ayam. Ibuku bukan wanita karier. Tugasnya hanya mengurus aku dan rumah. Semua
tugas rumah mampu ia garap sendirian. Mulai dari mencuci, memasak, membersihkan
rumah, bahkan sampai merawat dan menyiram kebun sederhana kami di pelataran
rumah. Kalau saja aku bisa membantunya pasti aku akan lalukan. Aku sayang
mereka berdua. Sangat sayang.
Kalau
saja guratan takdir bisa diubah, ada yang hendak aku adukan pada Sang Pencipta, "Yaa
Allah, izinkan aku menatap wajah keduanya walau hanya sekali.” Pintaku dalam
hati.
Aku
dilahirkan buta sejak lahir. Terlahir tanpa indra penglihatan yang normal, membuat
duniaku berbeda dari anak-anak lain. Untuk melihat kedua orang tuaku pun tak
sempat. Tidak seperti teman-temanku. Apalagi untuk bertatap sapa dengan dunia
ini. Tapi tidak mengapa. Aku yakin Allah punya takdir lain yang sedang
disiapkan hanya untukku. Mungkin esok hari atau puluhan tahun yang akan datang.
Yang pasti Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya.
Ayah
memberiku nama Hilyah. Diambil dari bahasa Arab
yang artinya permata. Aku tidak tahu pasti mengapa mereka memberiku nama
tersebut. Apakah hendak menghiburku karena aku terlahir tanpa penglihatan atau
ada hal lain yang belum saatnya aku tahu.
Dahulu,
aku sering murung memusuhi takdir, Allah tidak adil. Mengapa aku diciptakan
tanpa penglihatan yang sempurna? Sebegitu bencinyakah
Allah padaku? Lalu untuk apa aku terlahir jika aku
hanya pantas menjadi beban bagi orang di sekelilingku?
Menjadi duri yang hinggap di tengah kebahagiaan mereka sebagai sepasang suami
istri. Ya Allah aku cinta mereka berdua. Mengapa engkau harus hukum mereka
dengan kehadiranku? Kalau sudah begitu aku hanya bisa
menangis tanpa suara di sudut ranjang dengan memeluk guling.
Aku takut ayah dan ibu mendengar tangisanku, sungguh aku tak tega membuat
mereka bersedih.
Aku
beranggapan dunia ini terlalu kejam untuk gadis kecil seusiaku. Memasungku
dalam keniscayaan, jauh dari masa kanak-kanak yang menyenangkan. Berlarian
mengitari taman bunga, saling berkejaran satu sama lain. Bermain boneka, dan
kelereng atau petak umpet. Itu semua hanya untuk mereka dan bukan untukku. Aku terus
membiarkan air mataku mengalir sampai kering tak bersisa. Sampai suatu saat
suratan takdir membawaku pada jalan yang lain. Cahaya yang perlahan tapi pasti
membawaku kepada penerimaan dan pengertian hidup bukan untuk kebanyakan orang.
“Hilyah,
pagi ini udaranya sejuk. Coba kamu tarik nafas dalam-dalam.”
Aku
mencoba mengikuti saran ayah. Menariknya dalam-dalam menikmati setiap bulir
oksigen yang terkandung dalam udara membiarkannya mengalir deras ke sekujur
urat nadi sampai pada ujung-ujung jari. Lalu aku tersenyum. Hatiku sedang
berbahagia.
“Kamu
cantik sekali Hilyah, seperti ibumu. Dan kamu selalu
membuat ayah bangga.”
Entah
itu sebuah pujian atau hanya diksi penghibur, namun aku selalu percaya ayah.
Wajahku semakin memerah tak tahan dipuji. Meski aku sendiri belum tahu pasti
seperti apa rona merah itu.
“Ayah.
Semester lalu aku sudah selesai menyetor hafalan pada ibu guru. Juz 13 surat
Yusuf.” Aku memberi tahu ayah tentang perkembanganku di pesantren, entah dia
sudah tahu atau belum.
“Oh
iya, boleh dong sekarang ayah dengar
lantunan Al-Qur’an dari bidadari cantik di hadapan ayah.” Tangannya membelai
kerudung panjangku. Mungkin dia sedang tersenyum.
“Boleh.
Dengan senang hati.” Lalu aku mulai membacanya dengan tartil satu persatu
ayat-ayat kisah Nabi Yusuf alaihisalam. Tidak terasa ternyata aku sudah
sampai pada ayat ke 86 : Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku
mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang
tidak kamu ketahui. Bacaanku terhenti sejenak.
Aku
merasa ada air mataku yang jatuh mengalir di pipi. Aku segera mengusapnya takut
ketahuan ayah. Ingatanku sedang pulih. Saat itu aku memang belum paham bahasa Arab, hanya
saja aku teringat kata ibu guru ayat ini berkisah
tentang kesedihan Nabi Ya’qub ditinggal pergi oleh putra kesayangannya Yusuf
bertahun-tahun lamanya. Setelah ditinggal Yusuf kali ini Nabi Ya’qub juga harus
menelan getah pahit lagi ketika mendengar saudara kandung Nabi Yusuf -Bunyamin-
tertangkap oleh kerajaan Mesir atas tuduhan pencurian. Berlipat ganda kesedihan
Nabi Ya’qub sampai matanya buta teralu banyak menangis mengadu kepada Allah Rabb
yang maha mengetahui hikmah dibalik semuanya.
“Hilyah
mengapa berhenti ? Ayah senang bisa dengar bacaan Hilyah
yang merdu. Anak ayah yang cantik dan cerdas.”
“Eh
Ayah. Perasaan tadi aku baca terlalu banyak deh.
Takutnya Ayah malah bosan. Terik matahari juga
sudah mulai panas. Sampai sini dulu saja bagaimana? Habis
Hilyah agak lupa ayat setelahnya.”
Kali
ini aku terpaksa berbohong pada Ayah. Berharap ayah bersedia membawaku pulang
ke rumah.
“Benar
juga, matahari sudah meninggi, ayo kita pulang pasti Ibu
sudah menyiapkan hidangan spesial buat Hilyah.” Kami pun bergegas pulang, ayah
tak segan menggandeng tangan kiriku, sedang tangan kananku menenteng tongkat.
Menyusuri jalan aspal dengan berjalan kaki dengan alunan bunyi kendaraan yang
sudah mulai riuh melintas di jalanan terasa menggairahkan. Liburan semester
teramat berharga bagiku untuk melepas rindu sedikit demi sedikit hingga tak
bersisa.
Usiaku
sudah menginjak 14 tahun kelas dua Sekolah Menengah
Pertama. Setelah membersihkan diri, aku
memilih berdiam di kamar memutar murattal Al-Qur’an sembari menghafalnya.
Alunan bacaannya sangat bersahabat dengan telinga. Masuk ke dalam gendang
telinga lalu ditangkap oleh saraf sensorik dibawa menuju otak kiri untuk diolah
sedemikian rupa, kemudian disampaikan kepada mata
melalui saraf motorik. Membuat kantong air mataku
menetes lagi. Tetesan bahagia.
“Hilyah..”
Ibu memanggil dari dapur.
“Iya
bu sebentar.” Aku bergegas mengambil tongkat pergi ke dapur. Menyusuri meja dan
dinding.
Meski
buta jangan salah, aku ternyata mewarisi bakat ibuku jago masak. Tentu semua itu
aku dapat dengan bersikeras melawan takdir, merayunya dengan segala kerja
keras. Berlatih tanpa kenal putus asa. Pekerjaan mengiris bawang bukan sesuatu
yang mudah bagi tuna netra sepertiku, tidak terhitung sudah berapa kali
tanganku teriris pisau. Tapi ibu tidak pernah melarangku mencoba dan mencoba
lagi. Bahkan ibu pernah bilang, “Hilyah seorang perempuan yang baik harus
pandai masak. Minimal mau belajar. Ibu dulu juga seperti kamu dari kecil
diminta nenekmu bantu-bantu di dapur. Pernah suatu ketika malah Ibu
salah menaruh garam dalam kolak pisang, Ibu
kira gula. Ketika dicoba ternyata rasanya asin. Jujur Ibu
malu, tapi nenekmu hanya tersenyum dan bilang.
Nak
dalam setiap hasil ada proses yang menyertai. Banyak perempuan sekarang memilih
instan akibatnya menyajikan nasi goreng saja mereka tidak cakap. Padahal proses
itulah yang membuat sesuatu menjadi begitu spesial. Coba kamu pegang daging
itu, dia tidak akan terasa lezat bila tidak diiris
sisi-sisinya lalu dipanggang di atas api
terlebih dahulu. Panas memang, tapi begitulah takdir berbuat untuknya. Manusia
juga sama, tidak akan pernah sukses bila tak mau mencoba, meskipun itu terasa
sakit, karena gagal dan gagal lagi.
Tapi kegagalan dan rasa sakit mendidiknya menjadi sposok
manusia yang berbeda. Tidak perlu bersedih.” Nasehat itu selalu terngiang di
kepala.
Ibu
dan Ayah yang baik hati, suatu saat nanti
aku akan menjadi seperti yang kalian impikan. Menjadi anak yang kuat. Menjadi
“Hilyah” yang hakiki, permata bagi kalian. Sebuah permata yang dibentuk dari
air mata dan ditempa dengan kasih sayang. Aku memang ditakdirkan buta di dunia
namun aku bersumpah akan menuntun kalian menuju surga-Nya di akhirat kelak. Aku
berjanji akan menyelesaikan hafalan Al-Qur'anku.
Gumamku dalam hati.
***
Debur
ombak membasuh kakiku sekaligus membuat sebagian tubuhku basah kuyup. Tiupan
angin berdesau lembut
Sore
ini aku mengenang kembali kisahku delapan tahun silam. Aku berhasil
menyelesaikan hafalan Al-Qur'an ketika masih kelas 3
di pesantren. Enam tahun sudah aku tinggal di sana ditambah masa bakti satu
tahun. Bahasa Arabku sudah lumayan bagus. Pernah aku
memohon izin sekolah ke luar negeri namun
Ayah dan Ibu merasa keberatan.
Kemudian aku meminta izin mereka untuk mendaftar Ma'had
Qur'an
bersanad di daerah Bogor.
Sekarang
sudah menginjak tahun keempat. Aku sendiri sudah
mengantongi satu qiraah berserta dua riwayatnya. Hafs dan
Syu’bah dari Ashim. Aku menyelesaikannya dalam tiga tahun. Riwayat Hafs
adalah yang paling masyhur di Indonesia bahkan di dunia. Beberapa kejuaraan
dari tingkat kabupaten sampai nasional pernah aku ikuti. Selain itu banyak
matan-matan kitab lain yang aku juga hafal di luar kepala. Usiaku sekarang 23
tahun. Aku mendengar beberapa temanku sudah ada yang menulis skripsi dan sebentar
lagi akan sidang. Ada juga yang memilih segera
melepas lajang, menikah muda membangun rumah tangga kecil.
Aku
hanya merenung. Orang seperti aku akan bertakdir untuk hal-hal seperti temanku
pada umumnya, bisa berkeluarga atau masih tersisa rahasia-rahasia langit yang
menungguku. Entah lah.
Hari
ini adalah hari Ayah pergi untuk selamanya, tepat dua
tahun lalu. Aku kurang pandai bercerita, apalagi untuk menuliskannya. Namun aku
akan tetap mengingatnya dalam paragraf kenangan melalui ayat-ayat yang aku lantunkan bersamanya saat hari-hari libur
di taman kota itu.
Ibnu Abdillah
Mahasiswa International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar