![]() |
Seperti
kebanyakan presiden dunia yang memiliki ambisi untuk memimpin suatu
pemerintahan, meski banyak jalan terjal yang harus dilewati, segala hal akan
tetap dilakukan. Kali ini penulis ingin memberikan sorotan terhadap negara
Turki dengan presidennya yang bisa dibilang sukses dalam menjalani karier
politik. Dialah Recep Tayyip Erdogan, yang 2 dekade terakhir menarik perhatian
dunia karena kebijakan dan langkahnya dalam membangun pemerintahan Turki
sehinnga membuahkan hasil yang memuaskan, terutama bagi Turki sendiri. Namun
kali ini, penulis tidak ingin terlalu condong membahas tentang kepribadian
Erdogan, melainkan penulis akan membahas partai AKP yang sudah menjadi
kendaraan politiknya dalam menyukseskan karier politiknya.
AKP
(Adalet ve Kalkinma Partisi) atau Justice and Development Party merupakan
partai yang digunakan Erdogan dalam berjuang mengarungi kontestasi politik di
Turki. Partai yang berdiri pada 14 Agustus 2001 ini, hadir sebagai stimulus
iklim politik Turki yang tidak bisa mengharmonisasikan Islam dengan sekuler.
Refah, partai yang dibentuk oleh Necmettin Erbakan pada tahun 1983 pun akhirnya
menjadi partai terlarang karena kurang cakap mengimplementasikan nilai Islam
dalam berpolitik. Alhasil partai ini harus tunduk pada kekuatan sekuler. Oleh
karena itu, lahirnya AKP merupakan oase di tengah buramnya kondisi politik Turki
yang sejak Republik Turki berdiri di bawah kuasa Kemal Attaturk, negara
tersebut terkurung dalam ketimpangan ekonomi dan pembangunan, sehingga dijuluki
sebagai “the sickman in Europe”.
Kiprah
AKP pun bisa dibilang mulus. Pada pemilu 2002 saja partai berlambang lampu
bohlam ini mampu meraup 34% suara, pada 2007 memperoleh 46%, dan pada 2011
mendapat suara yang cukup meyakinkan, yakni 50%. Masyarakat Turki seperti
melihat harapan baru berada pada partai yang dikomandoi oleh Erdogan ini.
Pemilu 2011 sangat mengokohkan posisi Turki di pemerintahan karena AKP
memperoleh popular vote (50%) dan menyabet 327 kursi parlemen.
Kemenangan ini juga merefleksikan dukungan mayoritas rakyat Turki atas
stabilitas politik dan ekonomi, pelayanan sosial, dan kepemimpinan yang kuat.
AKP
dengan Erdogannya tidak hanya memperluas jangkauan politik dalam negeri saja.
Timur Tengah menjadi objek serius yang perlu ditangani, di tengah beberapa
negara yang masih bergejolak. Bahkan AKP juga mendukung penuh beberapa revolusi
yang terjadi di beberapa negara Arab ketika Arab Spring pecah. Mesir
kala itu juga menjadi salah satu negara yang didukung. Dengan menggulingkan
kekuasaan tirani Husni Mubarok akhirnya Mohammed Morsi mampu memegang tampuk
kekuasaan dengan memenangkan pemilu “paling demokratis” sepanjang sejarah
Mesir.
Namun
seperti yang diketahui, AKP bukannya berjuang tanpa hambatan. Selalu ada lawan
yang ingin menggeser dominasi AKP dalam pemerintahan Turki. Kalangan militer di
Turki pun cenderung kontra dengan pemerintahan Erdogan yang didominasi kader
AKP. 2016 silam, terjadi kudeta yang berpusat di Istanbul dalam rangka merebut
kekuasaan Erdogan. Meskipun pada akhirnya kudeta dapat digagalkan, mengingat
ini bukan kudeta pertama yang terjadi pada pemerintahan Erdogan, karena pada
2007 juga pernah terjadi kudeta oleh gerakan Ergenekon dan gagal. Kudeta yang
terjadi pada tahun 2016 juga diduga didalangi oleh Fetullah Gulen, tokoh
islamis yang pernah berkawan dengan Erdogan.
Demi
mengokohkan posisinya dalam pemerintahan, Erdogan yang sudah menjabat sebagai
presiden (sebelumya Perdana Mentri dengan presiden Abdullah Gul) pada 2017
silam mengadakan referendum untuk mengubah sistem pemerintahan Turki dari
parlementer ke presidensial. Upaya ini membuahkan hasil dengan 51,4 persen
penduduk menyetujui referendum ini. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ke
presidensial, Erdogan berpeluang menjabat sebagai presiden di negara dua benua
itu hingga 2029.
Pada
2018, Erdogan mengajukan agar diselenggarakannya pemilu presiden (pemilu ini
menjadi pemilu pertama setelah referendum). Pada tahun ini, AKP tidak mudah
memenangkan pemilu seperti pemilu sebelumnya. Pasalnya, pesaing AKP, CHP
(partai berhaluan kiri) dengan mencalonkan Muharrem Ince, berhasil mengimbangi
suara AKP. Bahkan, AKP sempat kalah suara di Istanbul sehingga memaksa AKP
meminta pengulangan pemilu.
Beberapa
tahun yang lalu, harian Prancis menyebut Erdogan sebagai “diktator”. Sepertinya
sebutan itu tidak bisa disalahkan meskipun tidak benar sepenuhnya. Mungkin
Erdogan dengan AKPnya seperti Soeharto dengan Golkarnya pada masa Orde Baru.
Dengan menguasai pemerintahan sejak 2002 hingga sekarang, penyebutan diktator
memang “agak” pantas. Meskipun dalam memutuskan langkah, sebenarnya Erdogan dan
AKP selalu melibatkan rakyat.
Berkuasanya
AKP yang memiliki keberpihakan terhadap umat Islam memanglah menjadi tumpuan
harapan bagi negara-negara Islam yang sedang tidak stabil. Terutama terkait isu
Palestina, Erdogan selalu berani bersikap kemana Turki berpihak. Mari kita
nantikan strategi apalagi yang akan dicanangkan Erdogan dengan AKPnya ke depan.
AKP harus lebih berhati-hati dalam upaya mempertahan eksistensinya, meskipun
sudah menguasai parlemen hingga kini, namun pemilu 2018 menjadi pelajaran bahwa
masyarakat yang simpatik terhadap AKP mulain menurun.
Hasan Al Bana
Mahasiswa University of The Holy Qur’an and
Taseel of Science
1 Comments
Ternyata begitu
BalasHapusPosting Komentar