![]() |
Cinta, sebuah fenomena yang dirasakan umat manusia, di mana kita
mendapati sebuah rasa yang timbul di dada, merasa terpompa untuk menggapai
dengan segala cara, hingga sebuah pengorbanan termasuk di dalamnya. Cinta merupakan
fitrah manusia, sekaligus anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita, darinya
timbul kebahagiaan dalam hidup dan penerus generasi selanjutnya. Yang
membuatnya istimewa adalah terkadang ia datang secara tiba-tiba tanpa disangka,
dan akhirnya menjadi prioritas atas segala hal yang dimiliki, demi menggapai keutuhan
dari cinta sejati.
Islam membawa kita pada sebuah definisi tingkat tertinggi dalam
mencintai, yaitu sebuah pengorbanan, di mana itu menjadi bukti, serta tolak
ukur kecintaan kita terhadap sesuatu. Dalam hal ini Islam mengajarkan kita
untuk mencintai Tuhan alam semesta, Allah subhanahu wa ta`ala. Tuhan
yang menciptakan kita dan memberi kehidupan di dunia ini, bukankah wajar jika
kebaikan membawa pada kecintaan? Lalu pertanyaan muncul di benak kita, sudah
sampai manakah wujud kecintaan kita terhadap Tuhan kita? Apakah kecintaan kita
terhadap Allah sudah melampaui kecintaan kita terhadap makhluk-Nya? Atau hanya
sekedar penggugur kewajiban kita sebagai ciptaan-Nya?
Pengorbanan sebagai bentuk tertinggi dalam mencintai dapat kita
temukan dalam kisah para nabi terdahulu, kisah Nabi Ibrahim alaihissalam
contohnya. Beliau dilahirkan di lingkungan yang jauh dari agama Allah,
sesembahan berhala mengaitkan definisi Tuhan untuk mereka. Ketika akhirnya
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membawa risalah kebenaran kepada kaumnya untuk
menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu wata`ala.
Keluarganya pun mengusirnya, lalu kaumnya menyiapkan sebuah api
unggun besar untuk membakarnya, tapi apakah dengan begitu wujud kecintaan
beliau terhadap Allah sirna? Tidak, malah cintanya makin menggelora bersamaan
dengan kobaran api yang kian membara, melangkah pasti menuju tempat eksekusi
yang mungkin menjadi tempat terakhirnya di dunia, akan tetapi Allah senantiasa menolong
hamba-Nya yang mencintai-Nya, dengan izin Allah api menjadi dingin dan Nabi
Ibrahim selamat.
Ujian akan pengorbanan yang ditujukan untuk Nabi Ibrahim belum
selesai, Allah ingin kembali menguji kecintaan Ibrahim kepada-Nya. Ketika
umurnya hampir mencapai 90 tahun, baru Allah berikan keturunan atasnya berupa
anak laki-laki bernama Ismail, yang juga akan menjadi penerus panji perjuangan Islam.
Sebuah penantian panjang dari rentetan doa yang senantiasa dipanjatkan oleh
Ibrahim kepada Allah, akan tetapi momen dari penantian panjang tadi, hanya
dinikmati singkat oleh beliau.
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membawa anaknya yang masih
sangat kecil serta istrinya ke sebuah lembah tak berpenghuni, yang di dalamnya
bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan, sebuah lembah yang hanya dikelilingi
batu dan pasir yang bahkan orang sekalipun tidak mengetahui tempat tersebut
sebelumnya. Bagaimana mungkin anak dan istrinya dapat bertahan hidup di tempat
ini tanpa seorang pun yang mendampinginya, tapi dengan wujud kecintaan Nabi
Ibrahim kepada Allah atas segala sesuatu, beliau pun melaksanakan perintah
tersebut walau dengan mengorbankan anak dan istrinya.
Perintah Allah tak pernah sia-sia, tempat tersebut hari ini kita
kenal dengan nama kota suci Mekkah Al-Mukarromah. Di dalamnya terdapat sebuah
bangunan yang menjadi kiblat sujud jutaan umat Islam di dunia, serta mengalir mata
air zam-zam yang tak pernah terputus.
Di saat Ismail beranjak remaja, Nabi Ibrahim akhirnya dapat kembali
menemuinya, setelah bertahun-tahun lamanya terjadilah reuni antara ayah dan
anak sulungnya. Dan sekali lagi, Allah menguji kecintaan Nabi Ibrahim kepada-Nya,
dengan memerintahkan beliau untuk menyembelih anaknya sendiri yang baru saja ia
temui setelah sekian lama. Inilah pengorbanan tertinggi Nabi Ibrahim atas bukti
cintanya kepada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, di hatinya beliau menempatkan
Allah sebagai yang paling dicintainya atas segala sesuatu, maka Nabi Ibrahim
pun melaksanakan perintah Tuhannya, dan dengan bukti kasih sayang Allah kepada kekasih-Nya,
Ia ganti Ismail dengan seekor domba besar yang akhirnya peristiwa ini menjadi
sebuah ibadah yang pada hari ini kita kenal dengan ibadah kurban.
Hari ini, kita mengenal ibadah kurban yang dilaksanakan setiap
tahun pada tanggal 10 Dzulhijjah, tepatnya pada hari raya kedua umat muslim di
seluruh dunia yaitu hari raya Iduladha. Kurban sendiri berasa dari bahasa Arab
yang artinya mendekatkan diri, karena dengan berkurban dapat menjadi bukti
cinta kita kepada Allah subhanahu wa ta`ala, dan dengannya kita dapat
mendekatkan diri kepada Allah.
Akan tetapi, hari ini kita tidak diperintahkan untuk berkurban
dengan anak kita seperti perintah Allah atas Ibrahim, atau dengan mengorbankan
anak dan istri kita dengan meninggalkan mereka di sebuah tempat yang asing,
atau bahkan mengorbankan diri kita sendiri untuk dilempar ke sebuah api unggun
besar, kita hanya diperintahkan oleh Allah untuk berkurban dengan hewan ternak
seperti domba, sapi ataupun unta. Yang mana dengan mengorbankan sedikit dari
harta kita di setiap tahunnya, yang mana harta hakikatnya hanyalah titipan
Allah semata. Sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah atas segala makhluk
ciptaan-Nya, bagaimana mungkin jerih payah kita hanya diberikan kepada manusia
padahal masih ada Tuhan pencipta kita semua yang berhak dicinta lebih dari
segalanya.
Dengan segala hikmah dan keutamaan yang sudah kita ketahui,
realitanya masih banyak orang-orang di luar sana yang masih mengacuhkan ibadah
ini. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, untuk berkurban 1 ekor kambing
saja terasa sulit luar biasa, padahal untuk hal lain mereka dengan mudah
membelinya.
Terkadangan prioritas dapat menujukkan kecintaan kita terhadap
sesuatu, bahkan bisa menjadi tolak ukur ketakwaan, karena katakwaan kita kepada
Allah dibuktikan dengan mencintai-Nya segenap hati dan jiwa raga, melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta mengikuti pembawa risalah-Nya yaitu
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Hal tadi seharusnya menjadi
dasar kecintaan kita dalam hidup, dan semua itu butuh pengorbanan sebagai bukti
tertinggi kita dalam mencintai-Nya, lantas sudahkah kau mencintai Tuhanmu?
Abdurrahman Boy
Mahasiswa International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar