![]() |
Wuusss
Angin kencang
menerpa wajahku. Cadar bandana poni yang kupakai menghalangi sebagian
penglihatan. Ah, tak bisa kuperbaiki. Tangan kananku menggenggam
perbekalan, tangan kiriku digenggam oleh temanku. Serasa kuingin berteriak, "Hei, Iman, tolong singkirkan kain ini!" Tapi dia fokus
mencari jalan yang tepat.
Jalan yang kami lalui sedikit berair, bekas hujan semalam, namun
ada sebagian yang mampu menciptakan genangan. Teriakan pedagang asongan
menyertai suara ‘aw’ saat kaki melompat mencari posisi pijakan yang tepat. Anak
kecil yang tengah melamun, meratapi barang dagangan yang tak kunjung dijamah
pembeli, terlihat sangat lucu wajahnya, sedikit cemberut, dan tentunya berambut
keriting.
Abaya, sepatu, tas, koper, dan peralatan lainnya terpampang
sempurna di gerai-gerai milik paman berambut keriting, berkulit hitam namun
juga tak jarang ada yang berkulit sawo matang. ‘Waah, kalau ingin membeli abaya
berarti aku nyari di sini saja,’ gumamku saat melihat abaya serba hitam
terpajang di depan gerai.
“Yaa Nailurrahmah, kita jalan ke sana, kemudian
setelah masjid itu kita belok ke kanan, terus kita nyari mobil.” Iman sedikit
berteriak, berusaha mengalahkan teriakan para pedagang. Pikiranku tentang abaya
seketika bubar.
Aku suka jalan-jalan. Sepertinya darah bapak yang mendominasi dalam
tubuhku, kita memiliki banyak kesamaan, termasuk hobi kita sama, jalan-jalan.
Kalau ke pasar, jangan ditanya, aku juga suka, walau sekadar melihat tak
membeli apa pun. Seperti sekarang, tapi kita kebetulan harus ke sini, mencari
kendaraan. Layaknya di Indonesia, terminal juga terkadang bergabung dengan
pasar tradisional.
Eh, tapi, sebentar, dari sekian ratus meter pandanganku mengitari pasar
yang kulewati, kenapa tak kujumpai kios ikan hias seperti yang ada di
pasar-pasar negaraku? Ah, mungkin ikan-ikan mereka tak sewarna-warni di
Indonesia. Atau mungkin mereka malas membuat akuarium yang harus dilem
berkali-kali agar air yang ditampungnya tidak tumpah.
Kreeek
Sontak aku menoleh, pemuda berkulit gelap dengan wajah
datar berpakaian kaos merah muda berusaha membuka tas temanku. Aku melihatnya,
seketika dia langsung pergi. ‘Oh, jadi begitu salah satu cara kerja haromi,
untung aja ketahuan.’ gumamku dalam hati. Aku memperbaiki resleting tas
temanku. Setelahnya kami melanjutkan perjalanan. Mobil yang kita maksud sudah
di depan mata, sedang menunggu penumpang kemudian bersiap untuk berangkat.
Perjalanan ini tak direncanakan jauh-jauh hari. Hari Jumat, Iman
mengabariku, mengajakku berhari raya bersama keluarganya. Aku mengiyakan,
walalu mendadak sekali. Cucianku yang menumpuk segera kubereskan, piket masak
kuselesaikan, berbagai ‘amunisi’ untuk menjalankan amanah kuserahkan pada
atasan. Huft, melelahkan.
Sepanjang perjalanan kuamati jalanan. Tidak hanya di ibu kota, di
tempat yang kusinggahi ini juga kutemukan para pedagang rujak mangga muda di
sepanjang jalan. Truk-truk yang penuh dengan kambing, sudah macam mengangkut
mobil mewah, mendominasi pengguna jalan. Maklum lah, Iduladha tinggal
menghitung hari. Pemandangan sungai terpanjang juga tak kalah indah,
mendominasi penglihatan saat melewati jembatan.
Aroma yang sedikit mengganggu penciuman di sebagian jalan, seakan
memberi isyarat, 'bersyukurlah, hidungmu masih mampu menghirup bau'.
“Assalamu’alaikum, Mama..” Iman membuka pintu. Mengucap salam dengan wajah
sumringah
Kami telah sampai. Perjalanan memakan waktu dua jam. Sampai di
rumah aku disambut hangat oleh keluargnya Iman. Ibunya apalagi, sampai-sampai
lama sekali kita berpelukan, kakak-kakanya juga, mereka mengatakan, “Keluargaku
juga keluargamu". Ah, masyaallah, kutemukan keluarga sehangat mereka di
negeri rantau ini.
“Yaa binti,” suara Baba menyapa untuk pertama kalinya. Aku sedikit
terkaget.
Kami menyebutnya Baba, kepala keluarga di rumah ini. Beliau sangat
baik. Baru hari pertama aku berkunjung, aku sudah diajak jalan-jalan, diberi
ini itu, dan angpau lebaran darinya. Baba seorang guru IT, telah mengambil
pendidikan di Moscow. Inggrisnya sangat lancar, bahkan waktu perkenalan aku
sempat diajaknya berbicara dengan berbahasa Inggris.
Suasana kota yang sangat nyaman. Hmm tapi menurutku tempat yang
kusinggahi ini lebih cocok disebut desa. Pemandangan yang didominasi oleh
hamparan, sedikit dipenuhi pohon, sisanya pondasi bangunan yang akan digarap,
dan kambing tak berikat beserta gembalanya. Cuaca yang selalu cerah setiap
harinya. Hujan deras setiap menjelang siang berhasil menciptakan genangan yang
cukup mengganggu mobil saat melintas. Malam dengan angin yang sangat
bersahabat, cukup mampu menerbangkan anak rambut yang bersembunyi di sela-sela
pangkal rambut bagian depan. Ah iya, apakah kau pecinta bulan? Di sini,
kau tak perlu naik ke lantai paling atas tempat tinggalmu untuk memandang
bulan, kau cukup membuka jendela kamar, bulan akan dengan senang hati
menampakkan dirinya, tak akan ada bangunan tinggi yang akan menghalangi. Bahkan
saat mandi pun kau akan merasa ditemani oleh bulan, dibalik tembok kamar mandi
tak beratap, kau akan melihat cahayanya yang berpendar. Namun tetap saja, sangat tidak disarankan
untuk mandi di siang hari, matahari pun sama, dengan tegasnya akan menampakkan
diri dengan memberi kehangatan saat kau mandi. Benar-benar tegas.
“Yaa binti, kamu sedang
jalan-jalan?”
Pagi itu Baba meneriaki aku dan Iman yang sedang asyik menikmati
pemandangan. Beliau sedang mengambil air, hari itu listrik di rumah tidak
berfungsi, katanya.
Baba memakai jalabiyah, pakaian khas negara sini yang dikhususkan
untuk laki-laki. Rada aneh melihatnya, apalagi tengah mengambil air seperti
itu. karena setiap hari kudapati Baba berpakaian necis, dengan sapaan hangat
berbahasa Inggrisnya walau bercampur dengan logat negara sini yang kental, yang
hendak pergi mengajar.
Benar-benar keluarga yang bersahaja di tengah desa
yang menenangkan.
Malam itu, di mobil.
Kecepatan stabil dari awal, walau sesekali ditambah untuk
menghindari kemacetan.
“Kami kesusahan menyebut namamu. Nailurrahmah.” Kakak pertama dari empat bersaudara,
dengan tetap fokus pada jalan, tiba-tiba nyeletuk kepadaku.
“Baiklah, sebut saja Nailul.” aku sedikit tersenyum. Ah, sudah biasa orang sini
berkata seperti itu.
“Sama saja, susah. Aku akan memanggilmu Niele.” Kakak pertama tetap fokus pada jalanan.
Kali ini sedang berhenti, ada lampu merah di depan.
Aku tersenyum
masygul. Sudah biasa
orang sini berkata seperti itu, sampai-sampai sudah terhitung kupunya empat
julukan dari mereka. Dan sekarang, julukan baru lagi,
berarti nama baru lagi. Ah, tidak mengapa, kali ini lebih unik. Aku suka.
Lain kali aku akan
main ke sini lagi. Di desa dengan segala ketenangannya. Berbeda dengan ibu kota.
Nailul Rahmah Muwafaqoh
Mahasiswa International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar