![]() |
Sering
manusia merasakan kegundahan tak berujung lantaran ujian dan cobaan yang menimpanya.
Kebanyakan, semuanya adalah perkara duniawi yang semakin dibuat risau, semakin
buntu arah pikiran dan batin, dada sesak tak karuan, dan kepala pening tak
berkesudahan seolah penyakit manusia ini begitu melekat erat dalam jiwa manusia.
Dunia
yang fana ini begitu menggiurkan untuk dikejar. Ibarat semangka di musim panas,
ingin sekali untuk langsung melahapnya. Padahal, dimensi kehidupan manusia tak
hanya sebatas dunia. Masih ada ruang-ruang akhirat yang perlu dijadikan tujuan
akhir. Allah ta’ala berfirman:
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَ
“Dan kehidupan
akhirat itu lebih baik dan abadi.”
Betapa
Allah telah menjamin dengan penawaran yang seharusnya manusia menyadarinya,
bahwa dunia ini bukanlah harta karun yang sempurna. Namun, apakah dengan
demikian manusia harus berlepas begitu saja dari dunia? Allah subhanahu wa
taala berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِين
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang - orang yang berbuat kerusakan.”
Ternyata Allah tidak memerintahkan manusia supaya
meninggalkan dunia begitu saja. Justru setelah manusia mengejar akhirat,
manusia diberi kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi. Tentu hal ini
merupakan kebahagiaan yang tidak menimbulkan keburukan dan kerugian bagi diri
sendiri dan kehidupan sekitar.
Manusia tetaplah manusia. Apalagi kita yang bukan wali bahkan
nabi. Tentu sulit untuk dapat menyeimbangkan mana yang harus dipikirkan dengan
seksama. Dunia atau akhirat yang kekal selamanya. Hidup ini sebenarnya
sederhana. Meraih kebahagiaan dunia dengan sederhana saja, sudah menentramkan
hati dan pikiran. Badai kegelisahan dalam jiwa kita untuk memaknai permasalahan
duniawilah yang mencipatakan kerunyaman tak berkesudahan. Ada seni bersyukur
yang sering luput dari diri manusia. Sehingga kenikmatan dunia yang
berkecukupan terasa kurang.
Maka, mari kita kembali tadabburi firman Allah yang
menekankan supaya manusia tidak terlalu larut dimabuk pencapaian, kegelisahan, cobaan,
dan masalah duniawi. Masih ada kampung akhirat menanti. Hingga kita dapat
memperoleh kebahagiaan sejati bertemu Sang Ilahi Robbi. Bukankah merupakan
kerugian ketika waktu yang diberikan oleh Allah kita gunakan hanya untuk
memepermasalahkan urusan dunia?
Dalam setiap aktivitas manusia, tersedia banyak sekali
momentum keakhiratan yang bisa dimaksimalkan. Seduhan kopi di pagi hari, dapat
dijadikan kesempatan untuk berpikir ukhrawi. Rebahan kita di siang hari, bisa
juga diselingi dengan tafakur nikmat ilahi. Bahkan, cengkerama kita bersama
teman-teman juga dapat kita selipkan syukur sembari diskusi. Dengan banyak
momen yang bisa kita konversikan menjadi kegiatan ukhrawi meskipun kecil, niscaya
akan sedikit mengikis rasa cemas kita terhadap dunia yang tak abadi ini.
Bagaimana?
Dunia yang penuh rona godaan ini tak melulu hanya membuat hati kita gusar dan
gundah jika kita memiliki cara berpikir akhirat. Akhirat sebagai our goal
semestinya selalu terpatri dalam mindset kita. Mari menjadi manusia yang
berusaha sebaik mungkin mengelola keduniawiaan agar tak merugi hanya karena
galau memikirkan pencapaian semu duniawi.
Selamat menikmati hidup dengan mensyukuri
hal-hal kecil hingga kebahagiaan mampu membersamai kita meskipun problema hidup
senantiasa mengelilingi kita.
Hasan Albana
Mahasiswa International University
of Africa
0 Comments
Posting Komentar