![]() |
Ustaz Rahman, salah satu guru pondok pesantren di
pelosok Lampung. 10 tahun lamanya tempat itu berdiri, dan santrinya telah
mencapai ratusan. Kini pondok dalam suasana ujian, santri-santri belajar
dibiarkan belajar di luar kelas dengan dibimbing para ustad.
Ustaz Rahman beranjak melangkah ke lapangan tempat
semuanya berkumpul. Di tengah perjalanan, salah satu panitia ujian menghentikan
langkahnya.
“Ustaz Rahman! Anggota kelas antum ada yang belum membayar SPP.”
“Ya Allah, siapa ustaz?” tanya ustaz Rahman bingung
sembari memasukan hand phone ke kantungnya.
“Iqbal, itu anak belum bayar dua bulan. Totalnya 1,4
juta. Kalau sampai jam 12 malam dia masih belum bayar, maka terpaksa dia besok
tidak bisa ujian,” ujar ustaz panitia tersebut sambil melotot tajam.
“Haduh Iqbal-Iqbal. Kok bisa besok ujian belum bayar
SPP sih tu anak.”
“Pokoknya tolong antum
ingetin tu anak ya, jangan sampai besok dia ga ikut ujian,” ucap ustaz
panitia ujian itu memperingati untuk terakhir kalinya sebelum pergi.
Rasa gelisah, takut, dan kesal
bercampur dalam hati ustaz Rahman. Sesampainya dia di lapangan yang telah
dipenuhi dengan sinar lampu tembak, ia berkeliling mengawasi para santri
belajar. Ia berfikir, satu-satunya jalan menolong Iqbal hanya dengan bantuan
dari teman-temannya. Tapi apakah mereka mau membantu? Karena faktanya Iqbal
selama ini terlalu nakal di kelas, sering menjahili teman, berkelahi, berusaha
kabur dari pondok, dan malas-malasan dalam belajar.
Nilai ujian Iqbal yang kecil di awal
tahun, menjadikan ujian semester kedua menjadi sebuah penentuan, karena tidak
naik kelas menjadi ancamannya. Meski raut wajah itu seperti tidak ada masalah,
tepatnya pasrah. Ustaz Rahman terus memutar otak, mencari cara. Beruntung ada
temannya dari bagian tabungan santri. Ia meminta bantuan agar anak-anak lain
bisa mengambil uang untuk meminjamkan ke Iqbal. Karena katanya, anak itu baru
bisa membayar beberapa hari ke depan. Teman ustaz seangkatannya menyetujui, ia
akan membantu pengambilan uang.
Pukul 21.30 kegiatan pembelajaran di
akhiri dengan kumpul bersama setiap kelas. Ustaz Rahman kali ini memimpin doa
penutup. Usai berdoa, ustaz Rahman memberikan nasehat kepada para santri kelas
1-E.
“Bismillahirahmanirrahim, Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakaatuh.”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,”
mereka menjawab dengan hikmat.
“Kali
ini ustaz mau menyampaikan sesuatu penting. Malam ini teman kalian ada yang
terancam tidak bisa masuk ruang ujian besok karena belum membayar SPP selama
dua bulan. Kalian tahu siapa?”
“Iqbal
ustad,” salah seorang anggota kelas menjawab ringan.
Iqbal
yang mendengarnya merunduk malu.
“Iya
betul Iqbal. Teman sekelas kalian ini memang nakal, di kelas suka tidur, kalau
disuruh menghafal susah, dihukum terus sama ustaz, dan suka jahil lagi. Betul?”
“Betul
ustaz,” anak-anak membalas pelan.
“Tapi
senakal apa pun dia, Iqbal ini tetap teman kalian. Dia juga berhak untuk ikut
ujian besok, maka kali ini dia butuh bantuan kalian. Malam ini dia butuh uang
1,4 juta untuk melunasi SPP selama dua bulan. Katanya dia bisa bayar, tapi
beberapa hari ke depan, bukan sekarang. Jadi yang mau bantu Iqbal dengan cara
meminjamkan uang atau mau bersedekah, bisa setelah ini catat namanya ke ustaz,
dan tulis mau meminjamkan berapa banyak, setelah itu ustaz akan ambil jumlah
uang yang dituliskan di bagian administrasi. Paham semuanya?”
Mereka mengangguk memaklumi keadaan
temannya. Ustaz Rahman pun menutup pertemuan. Satu per satu anak menulis nama,
hingga terkumpul sepuluh orang. Namun sayang jumlahnya masih jauh dari cukup
untuk melunasi biayanya.
Sebagai wali kelas Iqbal, ustaz
Rahman tidak mau menyerah. Ia mencoba meminta tolong kepada para wali kelas 1
lainnya untuk mengajak anggotanya untuk membantu Iqbal. 15 Menit setelah
membaca doa bersama, uang pinjaman dan sedekah ke si anak malang semakin
banyak, hingga dipukul 11 malam, telah terkumpul penuh.
Sesuai persetujuan dengan temannya
di bagian adiministrasi, ia mengambil uang anak-anak yang berniat membantu
Iqbal. SPP Iqbal kini telah lunas, tanda bukti pembayarannya segera ustaz
Rahman berikan ke panitia ujian. 30 menit sebelum berganti hari, ia sukses
membebaskan satu muridnya dari ancaman tidak ikut ujian. Ia menghela napas penuh
syukur, beruntung si anak nakal itu kali ini masih diberi Allah Swt kesempatan
untuk berubah.
Kegiatan ujian tulis berjalan lancar
tanpa kendala selama 2 minggu. Beberapa hari setelahnya para santri pulang
untuk liburan Panjang. Iqbal mengucapkan terima kasih dengan senyuman tulus
kepada ustaz Rahman yang telah bersusah payah membantunya. Ustaz Rahman hanya
membalasnya dengan lambaian tangan.
20 hari setelah santri meninggalkan
pondok. Pengumuman kenaikan kelas kini telah terpampang di depan kantor panitia
ujian. Tak sabar, ustaz Rahman memeriksa dengan berharap anggotanya bisa naik
kelas semua. Tapi harapannya kini harus
gugur, ketika faktanya ada 3 orang anak yang belum diizinkan naik tingkat, dan
Iqbal adalah salah satunya.
Gondok, kesal, dan rasa bingung
pasti ada setelah melihat kenyataan Iqbal tidak naik. Padahal sudah
diperjuangkan sekuat tenaga oleh semua orang, masih saja gagal. Ya, sudahlah
mungkin sudah takdirnya, mungkin itu cara terbaik Allah Swt untuk mendidik
Iqbal dalam kehidupan. Belajar menggunakan kesempatan sebaik mungkin.
M. Ismail
Mahasiswa International University of
Africa
0 Comments
Posting Komentar