Antara Menghafal dan Menulis, Mana yang Lebih Utama?



Dunia keilmuan tidak bisa lepas dari aktivitas menghafal, membaca, dan menulis. Semua itu adalah unsur-unsur yang harus dilalui oleh para pelajar untuk bisa mencapai derajat keilmuan. Dalam dunia Islam, tradisi menghafal sudah mengakar budaya di kalangan para sarjana muslim. Sebut saja Imam Syafi’i, Imam Bukhari, dan para ulama lainnya yang secara hafalan mereka sudah tidak diragukan lagi kualitasnya.

 

Bahkan dalam kitab Al-Bidayah wa Nihayah, Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa: Dalam sebuah majelis hadis, gurunya Syeikh Ismai’il ash-Shaffar tengah mengimlakan (mendiktekan) hadits kepada para muridnya. Para murid pun sangat khidmah dan antusias mendengarkan gurunya. Namun, di tengah suasana khidmah tersebut Imam ad-Daruquthni malah asyik menyalin kitab hadits lainnya dan seolah tidak mendengarkan gurunya. Lalu, ditegurlah oleh salah satu murid yang dari awal sangat khidmat dalam mendengarkan imla dari gurunya, “Kamu tidak akan bisa mendengarkan imla dari Syeikh jika kamu mendengarnya sambil menyalin buku lainnya.”

Ad-Daruquthni pun menjawab, “Pemahamanku berbeda dengan pemahamanmu.”

Temannya pun mengujinya, “Kalau begitu sudah berapa hadis yang sudah didikte oleh Syeikh?”.

Ad-Daruquthni menjawab dengan mudahnya, “Beliau sudah mendikte sebanyak delapan belas hadis, kemudian dia menyebutkannya secara hafalan di luar kepala, bahkan lengkap dengan sanad dan matannya.”

Seketika itu, para hadirin pun terheran-heran dengan kekuatan hafalannya. Itu adalah sebagian kecil dari kisah-kisah para ulama Islam terdahulu, dan masih banyak kisah tentang kehebatan para ulama yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Selain menghafal, salah satu hal yang paling ditekankan adalah membaca. Kegiatan membaca merupakan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu (Al-Qur’an) yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta merupakan ajaran dari para ulama terdahulu hingga sekarang. Membaca merupakan hal yang urgen dalam sebuah usaha mencapai keilmuan yang mana memiliki derajat yang paling tinggi, dan juga diakui oleh para ilmuan Islam. Sebagaimana disebutkan dalam wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

اِÙ‚ۡرَاۡ بِاسۡÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّذِÙ‰ۡ Ø®َÙ„َÙ‚َ​ۚ‏ ﴿96:1﴾ Ø®َÙ„َÙ‚َ الۡاِÙ†ۡسَانَ Ù…ِÙ†ۡ عَÙ„َÙ‚ٍ​ۚ‏ ﴿96:2﴾ Ø§ِÙ‚ۡرَاۡ ÙˆَرَبُّÙƒَ الۡاَÙƒۡرَÙ…ُۙ‏ ﴿96:3﴾ Ø§Ù„َّذِÙ‰ۡ عَÙ„َّÙ…َ بِالۡÙ‚َÙ„َÙ…ِۙ‏ ﴿96:4﴾ Ø¹َÙ„َّÙ…َ الۡاِÙ†ۡسَانَ Ù…َا Ù„َÙ…ۡ ÙŠَعۡÙ„َÙ…ۡؕ‏ ﴿96:5

Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dengan demikian, membaca merupakan sebuah jembatan untuk mencapai suatu ilmu. Namun di samping itu, ada hal yang lebih urgen lagi, yaitu menulis. Yang mana tertera dalam ayat dengan bunyi الَّذِÙ‰ۡ عَÙ„َّÙ…َ بِالۡÙ‚َÙ„َÙ…ِۙ‏ yang mengajar (manusia) dengan pena. Dari uraian di atas, Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dua ayat tersebut menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah Swt dalam mengajarkan manusia. Pertama, melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia, dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat, yang mana cara kedua ini dikenal dengan istilah ‘ilm ladunniy.

 

Tradisi Menulis di Barat

Barat merupakan sebuah peradaban kuno yang ditandai dengan peradaban Romawi. Sejak peradaban Romawi sudah banyak buku yang menjelaskan tentang tradisi keilmuan yang dipelopori oleh bangsa Yunani. Yang paling terkenal adalah filsafat keilmuan yang mengakar kuat sebagai warisan budaya bangsa Yunani. Filsafat sendiri muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka, dan tidak menggantungkan diri kepada agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan.

Dalam literatur disebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnya ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir saat itu. Sehingga, bangsa Yunani dikenal sebagai salah satu bangsa dengan peradaban di dunia, karena banyaknya jejak-jejak tulisan yang dihasilkan oleh para cendekiawannya. Maka, dalam sebuah ungkapan dikatakan, “Tulisan hanya terdapat dalam peradaban, dan peradaban tidak ada tanpa tulisan.

 

Tradisi Menulis Umat Islam

Seiring berkembangnya pengaruh keilmuan dari peradaban lain, mengilhami umat Islam untuk bangkit menjadi umat yang berperadaban atau bertamadun. Maka, untuk menghasilkan karya-karya yang besar, pada awalnya dimulai dengan penerjemahan buku-buku peradaban kuno, seperti penerjemahan beberapa buku dari peradaban India yang terkenal akan pengobatannya, kemudian dari peradaban Yunani yang terkenal akan filsafatnya. 

Sebagai gambaran tentang kegiatan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada zaman Abbasiyah digambarkan oleh Jurji Zaydan. Dalam bukunya ia berkata: “Khalifah dan para gubernur mempekerjakan dokter-dokter Yahudi dan Kristen, penerjemah, serta penulis terutama dari kalangan Kristen Syiria. Peradaban mereka itu memberikan kontribusi yang besar terhadap peradaban Islam dengan cara mempelajari kerja penerjemahan dari Yunani, Persia, Syiria, dan bahasa-bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab.”

Dari penerjemahan besar-besaran tersebut yang diawasi dan didukung langsung oleh negara, memotivasi para ilmuan muslim untuk menelaah, mengkaji, melakukan eksperimen-ekperimen, serta membukukannya menjadi satu karya ilmiah. Sehingga dari kegiatan tersebut muncullah berbagai macam ilmu pengetahuan yang dirumuskan dan dikonsepkan menjadi sebuah disiplin ilmu yang sampai sekarang, pengaruhnya masih bisa kita rasakan. Mulai dari ilmu agama, seperti; ilmu tafsir, hadis, ilmu fikih, ilmu kalam atau teologi Islam, ilmu nahwu, dan lain-lain.

Kemudian, untuk keilmuan filsafat dan sains seperti; kedokteran, astronomi, matematika, kimia, fisika, dan geografi. Maka, pada zaman Dinasti Abbasiyah dianggap sebagai The Golden Age dalam peradaban Islam. Karena pada zaman inilah yang paling berhasil dalam membangun peradaban. Yaitu sebuah dinasti terlama dalam sejarah peradaban, mengantarkan Islam pada puncak kejayaan keilmuan.

Dari uraian di atas menunjukan keterkaitan antara menghafal dan menulis. Karena sebuah hafalan yang merupakan satu paket dengan membaca, hanya bisa dilakukan apabila ada sebuah nas atau tulisan. Karena dasar itulah, maka kita sebagai umat Islam harus lebih sadar akan pentingnya mempelajari ilmu pengetahun. Dan dengan bekal kemampuan menghafal dan menulis inilah peradaban suatu bangsa ditentukan. Khususnya bagi umat Islam yang pernah berada dalam puncak kejayaan keilmuan, agar nantinya bisa mengembalikan kejayaan itu dengan bekal keilmuan yang dihasilkan dari proses hafalan, menelaah, serta mengabadikannya dalam sebuah karya ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Inilah jati diri seorang muslim, sebagai sebuah bangsa yang bertamadun.

 

Sumber gambar : Dream.co.id

Falah Aziz

Mahasiswa International Univetsity of Africa

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak