![]() |
Dunia keilmuan tidak bisa lepas dari
aktivitas menghafal, membaca, dan menulis. Semua itu adalah unsur-unsur yang
harus dilalui oleh para pelajar untuk bisa mencapai derajat keilmuan. Dalam
dunia Islam, tradisi menghafal sudah mengakar budaya di kalangan para sarjana
muslim. Sebut saja Imam Syafi’i, Imam
Bukhari, dan para ulama lainnya yang secara hafalan mereka sudah tidak
diragukan lagi kualitasnya.
Bahkan dalam kitab Al-Bidayah wa Nihayah, Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa: Dalam sebuah majelis hadis, gurunya Syeikh Ismai’il ash-Shaffar tengah mengimlakan (mendiktekan) hadits kepada para muridnya. Para murid pun sangat khidmah dan antusias mendengarkan gurunya. Namun, di tengah suasana khidmah tersebut Imam ad-Daruquthni malah asyik menyalin kitab hadits lainnya dan seolah tidak mendengarkan gurunya. Lalu, ditegurlah oleh salah satu murid yang dari awal sangat khidmat dalam mendengarkan imla dari gurunya, “Kamu tidak akan bisa mendengarkan imla dari Syeikh jika kamu mendengarnya sambil menyalin buku lainnya.”
Ad-Daruquthni pun menjawab, “Pemahamanku berbeda dengan pemahamanmu.”
Temannya pun mengujinya, “Kalau begitu sudah berapa hadis yang sudah didikte oleh Syeikh?”.
Ad-Daruquthni
menjawab dengan mudahnya, “Beliau sudah mendikte sebanyak delapan belas hadis,
kemudian dia menyebutkannya secara hafalan di luar kepala, bahkan lengkap dengan sanad dan matannya.”
Seketika
itu, para hadirin pun terheran-heran dengan
kekuatan hafalannya. Itu adalah sebagian kecil dari kisah-kisah para ulama
Islam terdahulu, dan masih banyak kisah tentang kehebatan para ulama yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
Selain menghafal, salah satu hal yang paling ditekankan
adalah membaca. Kegiatan membaca merupakan ajaran Islam yang bersumber dari
wahyu (Al-Qur’an) yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam, serta merupakan ajaran dari para ulama terdahulu
hingga sekarang. Membaca merupakan hal yang urgen dalam sebuah usaha mencapai
keilmuan yang mana memiliki derajat yang paling tinggi, dan juga diakui oleh
para ilmuan Islam. Sebagaimana disebutkan dalam wahyu pertama yang diturunkan
oleh Allah Swt kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam:
اِÙ‚ۡرَاۡ
بِاسۡÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّذِÙ‰ۡ Ø®َÙ„َÙ‚َۚ ﴿96:1﴾ Ø®َÙ„َÙ‚َ الۡاِÙ†ۡسَانَ Ù…ِÙ†ۡ
عَÙ„َÙ‚ٍۚ ﴿96:2﴾ اِÙ‚ۡرَاۡ ÙˆَرَبُّÙƒَ
الۡاَÙƒۡرَÙ…ُۙ ﴿96:3﴾ الَّذِÙ‰ۡ عَÙ„َّÙ…َ بِالۡÙ‚َÙ„َÙ…ِۙ ﴿96:4﴾ عَÙ„َّÙ…َ
الۡاِÙ†ۡسَانَ Ù…َا Ù„َÙ…ۡ ÙŠَعۡÙ„َÙ…ۡؕ ﴿96:5﴾
Bacalah,
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang
mengajar (manusia) dengan pena. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dengan demikian, membaca merupakan sebuah
jembatan untuk mencapai suatu
ilmu. Namun di samping itu, ada hal
yang lebih urgen lagi, yaitu
menulis. Yang mana tertera dalam ayat dengan bunyi الَّذِÙ‰ۡ عَÙ„َّÙ…َ بِالۡÙ‚َÙ„َÙ…ِۙ yang
mengajar (manusia) dengan pena. Dari
uraian di atas, Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dua ayat
tersebut menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah Swt dalam mengajarkan
manusia. Pertama, melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia, dan
yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat, yang mana cara kedua ini dikenal dengan istilah ‘ilm
ladunniy.
Tradisi
Menulis di Barat
Barat merupakan sebuah peradaban kuno
yang ditandai dengan peradaban Romawi. Sejak peradaban Romawi sudah banyak buku
yang menjelaskan tentang tradisi keilmuan yang dipelopori oleh bangsa Yunani.
Yang paling terkenal adalah filsafat keilmuan yang mengakar kuat sebagai
warisan budaya bangsa Yunani. Filsafat sendiri muncul ketika orang-orang mulai
memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar
mereka, dan tidak menggantungkan diri kepada agama untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan.
Dalam
literatur disebutkan bahwa
periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnya ilmu pengetahuan dalam
sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu dilatarbelakangi dengan
perubahan paradigma dan pola pikir saat itu. Sehingga, bangsa Yunani dikenal
sebagai salah satu bangsa dengan peradaban di dunia, karena banyaknya
jejak-jejak tulisan yang dihasilkan oleh para cendekiawannya. Maka, dalam
sebuah ungkapan dikatakan, “Tulisan
hanya terdapat dalam peradaban, dan
peradaban tidak ada tanpa tulisan.”
Tradisi
Menulis Umat Islam
Seiring berkembangnya pengaruh keilmuan dari peradaban lain, mengilhami umat Islam untuk bangkit menjadi umat yang berperadaban atau bertamadun. Maka, untuk menghasilkan karya-karya yang besar, pada awalnya dimulai dengan penerjemahan buku-buku peradaban kuno, seperti penerjemahan beberapa buku dari peradaban India yang terkenal akan pengobatannya, kemudian dari peradaban Yunani yang terkenal akan filsafatnya.
Sebagai gambaran tentang kegiatan
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada zaman Abbasiyah
digambarkan oleh Jurji Zaydan. Dalam
bukunya ia berkata: “Khalifah dan para gubernur mempekerjakan dokter-dokter
Yahudi dan Kristen, penerjemah, serta penulis terutama dari kalangan Kristen
Syiria. Peradaban mereka itu memberikan kontribusi yang besar terhadap
peradaban Islam dengan cara mempelajari kerja penerjemahan dari Yunani, Persia,
Syiria, dan bahasa-bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab.”
Dari penerjemahan besar-besaran tersebut
yang diawasi dan didukung langsung oleh negara,
memotivasi para ilmuan muslim untuk menelaah, mengkaji, melakukan
eksperimen-ekperimen, serta membukukannya menjadi satu karya ilmiah. Sehingga
dari kegiatan tersebut muncullah berbagai macam ilmu pengetahuan yang
dirumuskan dan dikonsepkan menjadi sebuah disiplin ilmu yang sampai sekarang,
pengaruhnya masih bisa kita rasakan. Mulai dari
ilmu agama, seperti; ilmu
tafsir, hadis, ilmu fikih, ilmu
kalam atau teologi Islam, ilmu nahwu, dan lain-lain.
Kemudian, untuk keilmuan filsafat dan
sains seperti;
kedokteran, astronomi, matematika, kimia, fisika, dan geografi. Maka, pada
zaman Dinasti Abbasiyah dianggap sebagai The Golden
Age dalam peradaban Islam. Karena pada zaman inilah
yang paling berhasil dalam membangun peradaban. Yaitu sebuah dinasti terlama
dalam sejarah peradaban, mengantarkan Islam pada puncak kejayaan keilmuan.
Dari uraian di atas menunjukan
keterkaitan antara menghafal dan menulis. Karena sebuah hafalan yang merupakan
satu paket dengan membaca, hanya bisa dilakukan apabila ada sebuah nas atau
tulisan. Karena dasar itulah, maka kita sebagai umat Islam harus lebih sadar
akan pentingnya mempelajari ilmu pengetahun. Dan dengan bekal kemampuan menghafal
dan menulis inilah peradaban suatu bangsa ditentukan. Khususnya bagi umat Islam
yang pernah berada dalam puncak kejayaan keilmuan, agar nantinya bisa
mengembalikan kejayaan itu dengan bekal keilmuan yang dihasilkan dari proses hafalan,
menelaah, serta mengabadikannya dalam sebuah karya ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Inilah jati diri seorang muslim, sebagai sebuah bangsa yang bertamadun.
Falah Aziz
Mahasiswa
International Univetsity of Africa
0 Comments
Posting Komentar