Tuhan Lebih Merindukannya

 



Layar jingga menyelimuti semesta, menangui bumi yang lelah dibawa oleh manusia. Rasa yang melekat juga pada sepasang pegawai kantor swasta, keduanya baru saja menyelesaikan tugas di luar kota. Mobil innova abu-abu yang mereka kendarai menyusuri jalanan yang membelah hamparan sawah keemasan dengan pemandangan beberapa petani riang menepuk-nepuk padi. Tak banyak kendaraan yang melintas, bahkan setiap kali mereka berkedip tidak selalu ada mobil yang lewat.

Langit perlahan merah merona, kegelapan pun seolah siap melahap senja. 

“Pak Wawan, sudah jam 5 ini. Kira-kira sempat tidak ya sampai kantor sebelum azan magrib?” Ujar Pak Sugeng, seorang bagian pemasaran di kantornya.

In syaa Allah bisa pak, saya ngebut nih!” Pak Wawan membalasnya sembari memainkan tangannya ke tuas gigi mobil.

Eh hati-hati ya pak, walau jalanan sepi kaya gini tetap harus waspada pak,” Pak Sugeng menasehatinya.

Oh siap pak, Aman kok.

           Si sopir yang mulanya santai, kini seolah-olah berubah menjadi pembalap F1. Satu dua kendaraan di depannya dengan mudah ia susul. Hingga lintasan itu mempertemukannya dengan sebuah mini bus yang berhenti di pinggir jalan. Tanpa ragu ia menancapkan gas sekuat mungkin dari jarak 100 m dengan kecepatan 100 km/jam untuk melewatinya. Tiba-tiba di jarak 50 m dari mini bus itu, ada seorang gadis kecil berlari menyebrang jalan.

“AWAS PAK!” Pak Sugeng panik.

Pak Wawan lantas dengan cepat melepas pedal gas lalu menginjak rem. Tapi sayang usahanya tidak bisa menahan laju mobil, anak itu tertabrak. Gadis itu terpental jauh, memuntahkan banyak darah dari mulutnya, tulang pinggangnya patah, kepalanya bocor menghantam aspal jalan, lintasan itu kini bermandikan banyak darah segar. Petani dan warga sekitar yang melihatnya segera mengerubungi tempat kejadian.

“TABRAKAN-TABRAKAN!” Salah seorang berteriak.

           Pak Sugeng tanpa pikir panjang dengan kemeja putihnya lekas keluar dari mobil, menggendong gadis itu dengan cucuran darah yang terus tumpah, beberapa warga disuruh ikut naik mobil, dan segera menuju rumah sakit terdekat.

           “Nak, bertahanlah kamu kuat,” Pak Sugeng cemas dengan tanggannya yang bergetar kuat, dan mata yang menatap gadis itu dengan penuh harap. Meski anak itu tak sadarkan diri.

           “Kita ke rumah sakit mana ini pak?” Tanya Pak Wawan.

           “Rumah Sakit Cendrawasih saja pak, nanti tinggal belok kanan di depan,” salah satu warga memberikan arah dengan jari telunjuknya.

           “Ayo cepat pak! Nyawa anak ini taruhannya,” Pak Sugeng menggertak.

           “Siap pak,” jawab si sopir.

Sesampainya di UGD, petugas buru-buru menjemputnya. Pak Sugeng dan yang lain hanya bisa menunggu di luar. Tak lama setelah itu, keluarga dari si gadis datang dengan gelisah memadati ruangan. Ibu si gadis itu menangis tiada henti di pangkuan suaminya, kakak dan adiknya hanya bisa merunduk menantikan nasib saudaranya.

Tiba-tiba beberapa polisi ikut masuk ke dalam rumah sakit, mereka menangkap Pak Wawan sebagai sopir atas tragedi tadi. Hanya tertinggal Pak Sugeng sendirian dengan pikiran yang semrawut oleh masalah yang bertubi-tubi ia terima. Pertama, tidak sengaja mobilnya menabrak seorang gadis. Kedua, sopir yang menemaninya kini diringkus polisi, ditambah lagi sudah tiba waktu magrib sedangkan ia tidak bisa salat dengan banyaknya bekas darah yang menempel pada kemejanya.

Dokter akhirnya keluar, ia merunduk dengan suara lembut mengatakan kabar yang tidak pernah ingin mereka dengar, yaitu kematian. Ibunya kaget, seketika tubuhnya lemas terjatuh ke lantai. Suaminya memikulnya lalu menghampiri Pak Sugeng. Ia memaklumi keadaannya, merelakan salah satu anaknya yang harus pergi untuk selamanya. Sebagai pegawai kantoran, perusahaannya mengabari akan membayar semua biaya rumah sakit, penguburan, dan memberikan uang asuransi kepada keluarga korban.

Pak Wawan kini terkurung dalam sel sementara di kantor polisi. Pak Sugeng menelepon salah satu teman kantornya yang memiliki jaringan di kepolisian. Beruntung Pak Wawan bisa terselematkan dari dalam bui, meski masih menyisakan trauma pedih atas apa yang ia lakukan. Salah satu polisi memberikan pesan sebelum mereka pergi, “Pak, lebih baik kehilangan satu menit dalam hidup, daripada harus kehilangan hidup dalam satu menit.”

Beberapa hari setelah kejadian tragis itu terjadi. Pak Wawan dan Pak Sugeng telah bekerja seperti biasa di kantor. Sampai suatu pagi, mereka mendapat kabar bahwasanya gadis kecil yang mereka tabrak kala itu, dia adalah sepasang anak kembar. Katanya si anak tidak pernah sama sekali menyeberang sendirian selama hidupnya. Namun sore itu, ada neneknya yang amat merindukannya di seberang jalan, lalu ia berlari kencang menjemput rindu. Akan tetapi sayang, Tuhan lebih merindukannya dibandingkan siapa pun.

Sumber gambar : klikdokter.com

M. Ismail

Mahasiswa International University of Africa

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak