The Informers Eps.4 Selamat Datang Santri

 


Tepat tanggal 5 Syawal nanti santri sudah mulai berdatangan, dan kelas 5 yang pertama kali menginjakkan kakinya di pondok. Maka ustaz bagian pengasuhan santri juga membagi panitia penerimaan santri, dan juga penguji calon pelajar yang akan ke pondok. Sehari sebelum hari kedatangan, Anam sudah mengajak kami kawan-kawan CID untuk menyiapkan stand pusat informasi di custom house[1] yang biasa kami sebut dengan Information Desk. Terop untuk tempat CID juga telah terpasang di tengah-tengah halaman gedung rabithah, satu panggung kecil dengan sofa dan kursi-kursi santai, ditambah satu TV layar lebar untuk menampilkan video-video perpendidikan dan lagu pondok. Sepasang speaker huper berdiri tegak di samping-samping terop dengan satu mixer di samping panggung.

Sungguh bahagia, kali ini tidak kesepian lagi di pondok adik-adik kelas sudah berdatangan.

Welcome to our beloved campus! And lets speak english and arabic every day!”

Kami dari stand menyambut mereka menyusuri lorong gedung rabithah. Sesekali kami menyambutnya dalam bahasa Inggris dan  tak jarang juga kami menyapanya dalam bahasa Arab.

Ahlan wa sahlan biquduumikum jami’an fii ma’hadina-s-syarif, haisu natakalam billungotil arabiyah wal injliziyyah![2]

Kami bergantian menyebutkanya menggunakan mik, tak jarang juga bagian-bagian di dalam custom house ataupun ustaz-ustaz memberikan pengumuman dengan bantuan kami.

Pondok semakin pada dipenuhi para santri yang berdatangan, beberapa dari mereka ada yang suka mampir ke tempat kami hanya sekedar untuk menonton video-video nasyid pondok. Biasanya sembari mengantri barangnnya diperiksa oleh petugas,  mereka menyaksikan totonan di TV stand. Tri, Farhat, dan Panji memegang kontrol laptop, mereka bebas memilih apa yang akan diputar. Video nasyid, penampilan-penampilan acara besar, profil pondok, bahkan video-video lucu karya santri juga dipertontonkan. Aksi mereka memancing ustaz suyuh datang,

”Hei! berikan tontonan yang mendidik jangan seperti itu!”

Na’am, Ustaz, Afwan

“Jangan diulangin lagi! Santri-santri juga jangan hanya menonton saja di sini, selesaikan urusan kalian di custom house, setelah itu kembali ke asrama!

Santri-santri yang semenjak tadi berbaris menonton, seketika itu berbalik badan dan bubar. Kawan-kawan CID juga menekukkan pandanganya ke tanah dengan penuh rasa malu. Suasana santai berubah menjadi canggung. Dan tiba-tiba Alvis datang, berbisik ke daun telinga Panji.

“Hayoo, Ji, gara-gara ente kan?”

“Apaan sih, Vis, enak aja, Farhat yang di depan laptop ana  cuman duduk santai doang.” Panji tak terima.

“Tri pee yang milih videonya ana ga ngapain-ngapain.” Farhat membalas ketus.

Afwan pee, ghoiru qosdin."[3]Tri senyum-senyum minta ampun.

HELEH, AQLUKA FASID!"[4]Panji dan Farhat kesal.

‘BRRRRR’ Ustaz Geraudi datang bersama Ustaz Akhlis memberhentikan motornya di dekat mereka.

“Eh, ente, Kenapa ribut-ribut Alvis?!” Tegur Ustaz Geraui.

“Bukan ana, Ustaz, Trirama dimarahin sama Ustaz Suyuh.” Remaja berkulit putih, bermulut lebar itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ya Allah, Tri!, malu-maluin aja,” Kritik Ustaz Akhlis.

Ana ga sengaja, ustaz, ana ga tau kalau muterin video pantomim ga boleh. Padahal fungky,” Si anak berambut ikal ini menggaruk-garuk kepalanya.

“Makanya Tri tau waktu muterinnya, jangan sekarang lagi Costum House ente puter.” Sahut Ustaz Geraudi.

“Tuh, dengerin Tri!” Ujar Farhat.

SAL DHOMIRAK SUL!"[5] Panji menambahkan.

Aku di dekatnya hanya tersenyum melihatnya.

Kholas loh kholas..  Afwan jiddan pee,” Tri berdiri, menyalimi tangan kami satu-persatu.

Kami pun tertawa lepas melihat ulahnya.

           Entah mengapa perasaan gondok, cape, dan pusing tak terasa, seolah terhapuskan oleh senda gurau kami. Apalagi ditambah gemerlap senyuman para santri yang baru saja datang walaupun hanya sekedar menyapa, “Assalamualaikum, Al-Akh!"[6] Rasanya seperti berjumpa dengan keluarga yang baru saja pulang dari kota, menjenguk kami yang tenang di desa.

            Kawan-kawan CID tidak cuma berperan menjaga stand information desk[7] di custom house, melaikan ada juga yang menjaga di tempat lainya seperti; pembagian buku tabungan, pembagian papan nama, dan pengecekan barang-barang terlarang. Luthfi salah satu teman CID kami yang berkacamata, bertumbuh tinggi semampai, dengan wajah ramahnya yang terkadang sering mengeluarkan keluhan-keluhan. Dia menjaga di pemeriksaan koper dan tas yang dibawa pulang oleh santri. Biasanya dapat benda-benda terlarang kecil seperti; sabuk kain, baju tidak berpendidikan, ataupun yang lainya. Namun kali ini Remaja dari Kalimantan itu menemukan beberapa kaset DVD, salah satunya kaset flim terkenal saat itu Deadpool, dan kaset-kaset lainya.

            Gudang menjadi markas besar kami, tak hanya berfungsi untuk menyimpan sound-sound saja. Akan tetapi sering juga dipakai untuk makan-makan bareng, ataupun ruang bersembunyi dari kegiatan kalau malas. Sewaktu-waktu ruangan itu juga bisa jadi tempat penuh perjuangan seperti, menyolder banyak barang, membuat terminal, mengangkat-ngakat barang, mengecek barang-barang, dan yang lainya. Namun bukan santri namanya kalau tidak pernah berbuat nakal, dan semenjak Lutfhi mendapatkan kaset ketika di pemeriksaan barang. Kami diam-diam menontonya di dalam gudang menggunakan sound koper ber-DVD milik konsulat kami. Layarnya yang kecil berukuran lima kali sepuluh sentimeter, sudah cukup membuat kami terhibur nonton bersama diam-diam.

Pondok memang suci, jika kami tidak ketahuan melanggar maka hal lain yang akan terjadi. Suatu hari tiba-tiba layar sound Koper ber-DVDnya rusak, kasetnya tidak bisa dibaca lagi, layarnya pecah seperti dikerumuni semut-semut. Kami pun taubat tidak lagi menggunakanya kembali untuk menonton flim, hanya untuk kepentingan kumpul konsul ataupun latihan penampilan.

* * * * * * * *

Bulan Syawal menjadi salah satu waktu teramai di pondok. Ribuan santri berdatangan dari liburan panjang selama sebulan lebih, ditambah lagi tiga ribu lebih anak-anak calon pelajar yang ingin mengikuti ujian masuk pondok. Maka bagi wali murid yang ingin mencari anaknya di pondok bukanlah hal yang mudah di tengah-tengah keramaian. Teman-teman dari bagian penerimaan tamu tak jarang meminta bantuan kami CID, untuk memanggil anak yang ditunggu orang tuanya di Bapenta.[8]

Sampailah datang siang itu, salah satu ibu berkepala tiga menghampiri Najieb di bibir pintu ruang tamu.

Assalamualaikum, nak, Ibu mau minta tolong panggilkan anak Ibu kesini, boleh?” Raut mukanya penuh harap.

Walaikumsalam, Ibu, silakan. Nama anaknya siapa ya, Bu? Kelas berapa?” Tanya Najieb dengan hangat.

“Rizal, kelas 3B.”

“Oke tunggu sebentar ya, Bu, saya panggil,” anak itu segera berbalik badan dan mengambil mik di ruang tamu.

Nafi yang melihatnya dari dalam dengan tenang seperti biasanya sama sepertiku yang duduk di luar. Dan Najieb segera memberikan pengumuman ke seluruh area pondok.

Bismillahirrahmanirrahim.. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Summons, summons to Central Information Department office right now, he is Rizal from Class 3B. Postcribe: His mother waited. [9]

Thanks for your attention, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Najieb dengan santai mengumumkannya.

Belum sempat anak yang mengumumkan itu keluar, di depan kamar sudah berhenti Ustaz Abadi dengan motornya. Raut muka terlihat serius sekali, mulutnya rapat membentuk bulan sabit terbalik, matanya menatap tajam sinis ke dalam ruang tamu.

“Siapa yang baca pengumannya? Panggil kesini!”

Nafi yang tadi duduk santai membaca koran, seketika panik dan menghampiri Najieb.

“Jieb, itu dipanggil Ustaz Abadi diluar.”

“Duh, ana salah apa pee.” Ia berdiri keluar menghadap.

“Udah, Jieb pokoknya datang dulu aja,” Nafi menenangkannya sesaat.

Sampailah wajah anak remaja ini bertatapan tepat di depan Ustaz Suyuh yang menantinya. Beliau mulai dengan lantang dan cepat menasehati Najieb,  bahwasanya tidak boleh memanggil santri untuk kepentingan pribadi, termasuk walisantri juga. Karena bisa menggunakan cara lainya, seperti meminta penjaga gerbang Bapenta untuk memanggil anaknya. Panjang lebar Ustaz Abadi memberi wejangan, semakin lama semakin memunjak, dan ditutupi dengan satu kalimat tajam.

TADZUNNU HADZA MA’HAD LAKA!"[10]

Anak berasal dari Kalimantan Utara itu hanya menunduk. melipat tanganya ke depan, dan menahan rasa malu dilihat banyak orang lalu lalang di depan kamar. Aku pun yang mendengarnya terkejut. Menatap heran apa yang sebenarnya terjadi.

            Ustaz Abadi sepertinya sudah puas menyampaikan nasehatnya lalu pergi. Najieb yang terbebas dari hadapanya mengehela nafas kecil.

“Haaaah, tadzhunnu haza ma’had laka.” Ujarnya dengan pelan sembari mengibaskan tangan.

 “Jieb-jieb, kholas, ishbir faqot."[11] Kataku dengan santai.

Ente gapapa kan, Jieb?” Nafi khawatir mendekatinya.

La’arif pee, ana la’ubali."[12] Ia menjawabnya dengan santai lalu masuk ke dalam kamar.

Kami teman-teman CID yang berkumpul di dekatnya tertawa senang melihat nasib Najieb yang sial siang ini, niatnya mau membantu ibu-ibu berakibat dimarahi Ustaz Senior.  Terkadang memang seperti itu, tidak semua yang baik menurut kita, baik untuk orang lainya.

        * * * * * * * * *

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, sembilan puluh persen santri sudah mendapatkan lemarinya masing-masing dan menetap di asrama. Selama ini kami hanya bisa siaran dari kamar, dan belum sama sekali menggunakan stander mic setelah magrib seperti siaran-siaran CID pada hari biasa. Sore ini Zain tampil pertama menyambut kedatangan santri dengan idza’ah[13]-nya. Dia adalah wakil ketua bagian pengembahan bahasa di CID, bahasanya memang hebat. Si gembul putih itu pandai sekali menyusun kata-katanya dengan rapi dan sesusai kaidah bahasa yang benar, dituliskan dengan cara yang sederhana. Tapi walaupun begitu ada yang lebih hebat darinya.

            Waktu senja kali itu banyak pekerjaan yang harus kulakukan, sampai aku terlambat pergi ke masjid. Untung saja ustaz pengasuhan memakluminya, pondok masing belum kondusif karena hari ini batas terakhir kedatangan santri. Aku bergegas berjalan mencari tempat duduk  dari depan masjid, tiba-tiba suasana masjid berubah. Awalnya gemuruh suara tilawah Al-Qur’an seketika senyap, lalu terdengar suaar.

Alkuhduu..Walikhtimam nahwa hazihil idzaaa’ah.[14]

Bismillahirrahmanirrahim.. Asslamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh..

Kaifa halukum jami’an? Hal antum bil khair?” [15]

Suara Zain terdengar jelas dari bawah masjid, nada dan intonasinya berbeda dari yang ku dengar dulu saat di kampus tiga, lebih santai dan mengalir apa adanya. Syair-syairnya juga terdengar nikmat di telinga, mengena di hati.  Mungkin tedengar biasa saja bagi orang lain karena sudah hal yang wajar, tapi tidak bagiku. Semenjak itu aku sangat menantikan giliranku bisa siaran di masjid berhadapan dengan ribuan santri.

           Tekadku semakin bulat dan kuat untuk menjadi CID setelah mendengar siaran malam itu. Kugantungkan kepada yang maha kuasa. Karena aku yakin akan janjinya dan firmanya dala Al-Qur’an, “Faizza Adzamta fatawakkal alaallah!"[16]



[1] Tempat pemeriksaan barang dan pemberian buku tabungan santri yang baru datang..

[2] Selamat datang atas kedatangan kalian di pondok kita yang mulia ini, marilah berbicara dengan bahasa arab dan inggris.

[3] Maaf ga sengaja.

[4] Otak ente ga bener

[5] Tanya hati kecil kamu bro!

[6] kaka

[7] Tempat stand CID di Area Custom House

[8] Bagian penerimaan tamu

[9] Panggilan, Panggilan ke Kantor Bagian Penerangan sekarang, dia adalah Rizal dari kelas 3B. NB ibunya menunggu.

[10] Kamu kira ini pondok punyamu!

[11] Udah sabar aja.

[12] Ga tau ah, ana ga peduli

[13] Siaran

[14] Tenang dan perhatikan siaran ini.

[15] Gimana kabarnya semuanya apa semuanya baik-baik saja?

[16] Jika kamu memiliki tekad maka sandarkanlah kepada Allah.


Sumber gambar : almunawwir.com

Oleh: M. Ismail

Mahasiswa International University of Africa


Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak