![]() |
Tepat tanggal 5 Syawal nanti santri sudah mulai
berdatangan, dan kelas 5 yang pertama kali menginjakkan kakinya di pondok. Maka
ustaz bagian pengasuhan santri juga membagi panitia penerimaan santri, dan juga penguji
calon pelajar yang
akan ke pondok. Sehari
sebelum hari kedatangan, Anam sudah mengajak kami kawan-kawan CID untuk
menyiapkan stand pusat informasi di custom house[1]
yang biasa kami sebut dengan Information Desk. Terop untuk tempat CID
juga telah terpasang di tengah-tengah halaman gedung rabithah, satu
panggung kecil dengan sofa dan kursi-kursi santai, ditambah satu TV
layar lebar untuk menampilkan video-video perpendidikan dan lagu pondok. Sepasang speaker huper berdiri tegak di samping-samping
terop dengan satu mixer di samping panggung.
Sungguh bahagia, kali ini tidak kesepian lagi di pondok
adik-adik kelas sudah berdatangan.
“Welcome to our beloved campus! And lets speak english
and arabic every day!”
Kami dari stand menyambut mereka menyusuri lorong
gedung rabithah.
Sesekali kami menyambutnya dalam bahasa Inggris
dan tak jarang juga kami menyapanya
dalam bahasa Arab.
“Ahlan
wa sahlan biquduumikum jami’an fii ma’hadina-s-syarif, haisu natakalam
billungotil arabiyah wal injliziyyah![2]”
Kami bergantian menyebutkanya menggunakan
mik, tak jarang juga bagian-bagian di dalam custom house ataupun ustaz-ustaz
memberikan pengumuman dengan bantuan kami.
Pondok semakin pada dipenuhi para santri yang berdatangan,
beberapa dari mereka ada yang suka mampir ke tempat kami hanya sekedar untuk
menonton video-video nasyid pondok. Biasanya sembari mengantri barangnnya
diperiksa oleh petugas, mereka
menyaksikan totonan di TV stand. Tri, Farhat, dan Panji memegang
kontrol laptop, mereka bebas memilih apa yang akan diputar. Video nasyid,
penampilan-penampilan acara besar, profil pondok, bahkan video-video lucu karya
santri juga dipertontonkan. Aksi mereka memancing ustaz suyuh datang,
”Hei! berikan tontonan yang mendidik jangan seperti itu!”
“Na’am, Ustaz, Afwan”
“Jangan diulangin lagi! Santri-santri juga jangan hanya menonton saja di sini, selesaikan urusan kalian di custom house, setelah itu
kembali ke asrama!”
Santri-santri yang semenjak tadi berbaris menonton,
seketika itu berbalik badan dan bubar. Kawan-kawan CID juga menekukkan pandanganya
ke tanah dengan penuh rasa malu. Suasana santai berubah menjadi canggung.
Dan tiba-tiba Alvis datang, berbisik ke daun telinga Panji.
“Hayoo,
Ji, gara-gara ente kan?”
“Apaan
sih, Vis, enak aja, Farhat yang di depan laptop ana cuman duduk santai doang.” Panji tak terima.
“Tri
pee yang milih videonya ana ga ngapain-ngapain.” Farhat membalas
ketus.
“Afwan
pee, ghoiru qosdin."[3]Tri
senyum-senyum minta ampun.
“HELEH,
AQLUKA FASID!"[4]Panji dan Farhat
kesal.
‘BRRRRR’
Ustaz Geraudi datang bersama Ustaz Akhlis memberhentikan motornya di dekat
mereka.
“Eh, ente,
Kenapa ribut-ribut Alvis?!” Tegur Ustaz
Geraui.
“Bukan
ana,
Ustaz,
Trirama dimarahin sama Ustaz Suyuh.” Remaja berkulit
putih, bermulut lebar itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya
Allah,
Tri!, malu-maluin aja,” Kritik Ustaz
Akhlis.
“Ana
ga sengaja,
ustaz, ana ga tau kalau muterin
video pantomim ga boleh. Padahal fungky,” Si anak berambut ikal ini
menggaruk-garuk kepalanya.
“Makanya
Tri tau waktu muterinnya,
jangan sekarang lagi Costum House ente puter.”
Sahut Ustaz
Geraudi.
“Tuh,
dengerin Tri!” Ujar Farhat.
“SAL
DHOMIRAK SUL!"[5]
Panji menambahkan.
Aku
di dekatnya hanya tersenyum melihatnya.
“Kholas
loh kholas.. Afwan jiddan pee,” Tri
berdiri, menyalimi tangan kami satu-persatu.
Kami
pun tertawa lepas melihat ulahnya.
Entah
mengapa perasaan gondok, cape, dan pusing tak terasa, seolah terhapuskan oleh
senda gurau kami. Apalagi ditambah gemerlap senyuman para santri yang baru saja
datang walaupun hanya sekedar menyapa, “Assalamualaikum, Al-Akh!"[6] Rasanya
seperti berjumpa dengan keluarga yang baru saja pulang dari kota, menjenguk
kami yang tenang di desa.
Kawan-kawan CID tidak cuma berperan menjaga stand information
desk[7]
di custom house, melaikan ada juga yang menjaga di tempat lainya
seperti; pembagian buku tabungan, pembagian papan nama, dan pengecekan
barang-barang terlarang. Luthfi salah satu teman CID kami yang berkacamata,
bertumbuh tinggi semampai, dengan wajah ramahnya yang terkadang sering
mengeluarkan keluhan-keluhan. Dia menjaga di pemeriksaan koper dan tas yang
dibawa pulang oleh santri. Biasanya dapat benda-benda terlarang kecil seperti;
sabuk kain, baju tidak berpendidikan, ataupun yang lainya. Namun kali ini
Remaja dari Kalimantan itu menemukan beberapa kaset DVD, salah satunya kaset
flim terkenal saat itu Deadpool, dan kaset-kaset lainya.
Gudang menjadi markas besar kami, tak hanya berfungsi
untuk menyimpan sound-sound saja. Akan tetapi sering juga dipakai untuk
makan-makan bareng, ataupun ruang bersembunyi dari kegiatan kalau malas.
Sewaktu-waktu ruangan itu juga bisa jadi tempat penuh perjuangan seperti,
menyolder banyak barang, membuat terminal, mengangkat-ngakat barang, mengecek
barang-barang, dan yang lainya. Namun bukan santri namanya kalau tidak pernah
berbuat nakal, dan semenjak Lutfhi mendapatkan kaset ketika di pemeriksaan
barang. Kami diam-diam menontonya di dalam gudang menggunakan sound koper
ber-DVD milik konsulat kami. Layarnya yang kecil berukuran lima kali sepuluh
sentimeter, sudah cukup membuat kami terhibur nonton bersama diam-diam.
Pondok
memang suci, jika kami tidak ketahuan melanggar maka hal lain yang akan
terjadi. Suatu hari tiba-tiba layar sound Koper ber-DVDnya rusak,
kasetnya tidak bisa dibaca lagi, layarnya pecah seperti dikerumuni semut-semut.
Kami pun taubat tidak lagi menggunakanya kembali untuk menonton flim, hanya
untuk kepentingan kumpul konsul ataupun latihan penampilan.
* * * * * * * *
Bulan Syawal
menjadi salah satu waktu teramai di pondok. Ribuan santri berdatangan dari
liburan panjang selama sebulan lebih, ditambah lagi tiga ribu lebih anak-anak
calon pelajar yang ingin mengikuti ujian masuk pondok. Maka bagi wali murid
yang ingin mencari anaknya di pondok bukanlah hal yang mudah di tengah-tengah
keramaian. Teman-teman dari bagian penerimaan tamu tak jarang meminta bantuan
kami CID, untuk memanggil anak yang ditunggu orang tuanya di Bapenta.[8]
Sampailah
datang siang itu, salah satu ibu berkepala tiga menghampiri Najieb di bibir
pintu ruang tamu.
“Assalamualaikum,
nak, Ibu
mau minta tolong panggilkan anak Ibu kesini,
boleh?” Raut mukanya penuh harap.
“Walaikumsalam, Ibu, silakan. Nama anaknya
siapa ya, Bu? Kelas berapa?” Tanya Najieb
dengan hangat.
“Rizal,
kelas 3B.”
“Oke tunggu
sebentar ya, Bu,
saya
panggil,” anak itu segera berbalik badan dan
mengambil mik di ruang tamu.
Nafi yang
melihatnya dari dalam dengan tenang seperti biasanya sama sepertiku yang duduk
di luar. Dan Najieb segera memberikan pengumuman ke seluruh area pondok.
“Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Summons, summons to
Central Information Department office right now, he is Rizal from Class 3B.
Postcribe: His mother waited. [9]
Thanks for your
attention, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Najieb dengan santai
mengumumkannya.
Belum sempat anak yang
mengumumkan itu keluar, di depan kamar sudah
berhenti Ustaz Abadi dengan motornya. Raut muka
terlihat serius sekali, mulutnya rapat membentuk bulan sabit terbalik, matanya
menatap tajam sinis ke dalam ruang tamu.
“Siapa yang baca
pengumannya? Panggil kesini!”
Nafi yang tadi duduk
santai membaca koran, seketika panik dan menghampiri Najieb.
“Jieb,
itu dipanggil Ustaz Abadi diluar.”
“Duh, ana salah
apa pee.” Ia berdiri keluar menghadap.
“Udah, Jieb
pokoknya datang dulu aja,” Nafi menenangkannya
sesaat.
Sampailah wajah anak
remaja ini bertatapan tepat di depan Ustaz Suyuh yang menantinya. Beliau
mulai dengan lantang dan cepat menasehati Najieb, bahwasanya tidak boleh memanggil santri untuk
kepentingan pribadi, termasuk walisantri juga. Karena bisa menggunakan cara
lainya, seperti meminta penjaga gerbang Bapenta untuk memanggil anaknya.
Panjang lebar Ustaz Abadi memberi wejangan, semakin
lama semakin memunjak, dan ditutupi dengan satu kalimat tajam.
“TADZUNNU HADZA
MA’HAD LAKA!"[10]
Anak berasal dari
Kalimantan Utara itu hanya menunduk. melipat tanganya ke depan, dan menahan
rasa malu dilihat banyak orang lalu lalang di depan kamar. Aku pun yang
mendengarnya terkejut. Menatap heran apa yang sebenarnya terjadi.
Ustaz Abadi sepertinya sudah
puas menyampaikan nasehatnya lalu pergi. Najieb yang terbebas dari hadapanya
mengehela nafas kecil.
“Haaaah, tadzhunnu
haza ma’had laka.” Ujarnya dengan pelan sembari mengibaskan tangan.
“Jieb-jieb,
kholas,
ishbir faqot."[11] Kataku dengan santai.
“Ente gapapa kan, Jieb?”
Nafi khawatir mendekatinya.
“La’arif pee, ana
la’ubali."[12] Ia menjawabnya dengan
santai lalu masuk ke dalam kamar.
Kami teman-teman CID
yang berkumpul di dekatnya tertawa senang melihat
nasib Najieb yang sial siang ini, niatnya mau membantu ibu-ibu berakibat
dimarahi Ustaz Senior. Terkadang memang seperti itu, tidak semua
yang baik menurut kita, baik untuk orang lainya.
* * * * * * * * *
Hari yang
ditunggu-tunggu akhirnya tiba, sembilan puluh persen santri sudah mendapatkan
lemarinya masing-masing dan menetap di asrama. Selama ini kami hanya bisa
siaran dari kamar, dan belum sama sekali menggunakan stander mic setelah
magrib seperti siaran-siaran CID pada hari biasa. Sore ini Zain tampil
pertama menyambut kedatangan santri dengan idza’ah[13]-nya.
Dia adalah wakil ketua bagian pengembahan bahasa di CID, bahasanya memang
hebat. Si gembul putih itu pandai sekali menyusun
kata-katanya dengan rapi dan sesusai kaidah bahasa yang benar, dituliskan
dengan cara yang sederhana. Tapi walaupun begitu ada yang lebih hebat darinya.
Waktu senja kali itu banyak pekerjaan yang harus
kulakukan, sampai aku terlambat pergi ke masjid. Untung saja ustaz
pengasuhan memakluminya, pondok
masing belum kondusif karena hari ini batas terakhir kedatangan santri. Aku
bergegas berjalan mencari tempat duduk
dari depan masjid, tiba-tiba suasana masjid berubah. Awalnya gemuruh suara
tilawah Al-Qur’an seketika senyap, lalu terdengar suaar.
“Alkuhduu..Walikhtimam
nahwa hazihil idzaaa’ah.[14]
Bismillahirrahmanirrahim..
Asslamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh..
Kaifa halukum jami’an? Hal
antum bil khair?” [15]
Suara
Zain terdengar jelas dari bawah masjid, nada dan intonasinya berbeda dari yang
ku dengar dulu saat di kampus tiga, lebih santai dan mengalir apa adanya.
Syair-syairnya juga terdengar nikmat di telinga, mengena di hati. Mungkin tedengar biasa saja bagi orang lain
karena sudah hal yang wajar, tapi tidak bagiku. Semenjak itu aku sangat
menantikan giliranku bisa siaran di masjid berhadapan dengan ribuan santri.
Tekadku semakin bulat dan kuat untuk
menjadi CID setelah mendengar siaran malam itu. Kugantungkan kepada yang maha
kuasa. Karena aku yakin akan janjinya dan firmanya dala Al-Qur’an, “Faizza
Adzamta fatawakkal alaallah!"[16]
[1] Tempat pemeriksaan barang dan pemberian buku tabungan santri yang
baru datang..
[2] Selamat datang atas kedatangan kalian di pondok kita yang mulia
ini, marilah berbicara dengan bahasa arab dan inggris.
[3] Maaf ga sengaja.
[4] Otak ente ga bener
[5] Tanya hati kecil kamu bro!
[6] kaka
[7] Tempat stand CID di Area Custom House
[8] Bagian penerimaan tamu
[9] Panggilan, Panggilan ke Kantor Bagian Penerangan sekarang, dia
adalah Rizal dari kelas 3B. NB ibunya menunggu.
[10] Kamu kira ini pondok punyamu!
[11] Udah sabar aja.
[12] Ga tau ah, ana ga peduli
[13] Siaran
[14] Tenang dan perhatikan siaran ini.
[15] Gimana kabarnya semuanya apa semuanya baik-baik saja?
[16] Jika kamu memiliki tekad maka sandarkanlah kepada Allah.
Sumber gambar : almunawwir.com
Oleh: M. Ismail
Mahasiswa International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar