![]() |
Merefleksi peran dan tantangan
pemuda masa kini untuk menghadapi kerasnya masa depan Indonesia, menjadi salah
satu hal yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini, terlebih bila hal
tersebut dikaitkan dengan pengawalan era digital yang saat ini sedang melangit.
Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan “pemuda”. Dalam hal ini, penulis mendefinisikan
istilah “pemuda” menjadi tiga istilah yaitu; pertama, pemuda sebagai
generasi, kedua, pemuda sebagai transisi, lalu ketiga, pemuda
sebagai pencipta dan konsumen budaya (Jones 2009).
Generasi muda dari zaman ke zaman memang
berbeda. Saat ini pengkajian tentang kepemudaan lebih mengarah kepada pemaknaan
pemuda itu sendiri dalam perspektif mereka,
sehingga memunculkan suatu pemahaman dan pemaknaan yang utuh
dalam suatu kajian. Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan beberapa
dekade sebelumnya yang mana pengkajian tentang kepemudaan cenderung mengarah
kepada disiplin keilmuan seperti kriminologi, kerja sosial, kajian kesehatan dan keluarga.
Landasan ilmiah dan sosial dalam kepemudaan, lebih fokus dikatakan
sebagai masa transisi dari anak-anak menuju kedewasaan, dari dimensi
pembelajaran menuju dimensi pekerjaan, dan dari keluarga inti menuju
pembentukan keluarga yang baru (Lloyd 2005, Roberts 2009). Sebenarnya hal ini
dapat dipandang atau dikatakan sebagai masa transisi yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya (World Bank 2006).
Terdapat beberapa karakter di mana mereka
tidak menyadari, bahwa sebenarnya sebagai seorang pemuda yang akan menjadi agen
of change di masa mendatang, harus bersikap sesuai dengan bakat dan
keterampilan yang dimilikinya. Sikap acuh tak acuh dan terlalu sibuk swngan
dunia masing-masing yang saat ini bisa dikatakan menjadi salah satu karakter
pemuda zaman sekarang. Hal ini tentunya memberikan
suatu pemaknaan bahwa berkurangnya identitas pemuda sebagai agen of change
di dalam menyongsong masa depan di negara Indonesia.
Kajian mengenai peran dan tantangan pemuda
Indonesia masa kini sebenarnya lebih mengikuti pola dan kecenderungan umum dan
lebih luas mengikuti kajian kepemudaan. Kajian-kajian tersebut cenderung ditemukan pada pemuda
perkotaan, khususnya di kota-kota metropolitan. Saat ini, banyak kajian tentang kepemudaan yang terpusat pada bidang budaya dan pola hidup
pemuda itu sendiri, tanpa melihat lebih jauh akan produktivitas dan material para pemuda, seperti
transisi dari masa sekolah ke masa kerja dan
pengangguran, atau setengah pengangguran yang merupakan
bagian dari tantangan pemuda saat ini.
Makna Pemuda
Untuk selanjutnya, mengamati dimensi di mana
pemuda merupakan masa transisi dari remaja ke dewasa, sehingga banyak di antara
mereka yang ditemukan kesiapaannya sudah matang secara biologis namun secara
finansial dan sosial masih ditangguhkan. Pemaknaan dewasa di mata masyarakat
Indonesia bukan lagi dipandang dari aspek umur, namun lebih melihat kepada
status sosial seperti, pernikahan dan dapat menghidupi dirinya dan keluarganya,
walaupun mereka masih berumur belasan tahun. Sedangkan pada remaja yang masih
kuliah, belum menikah, dan kehidupannya masih dibiayai orang tuanya, maka tetap
dinilai belum dewasa. Bergesernya pemaknaan pemuda yang seperti ini, dilihat yang awalnya
dilihat dari aspek
batasan umur, lalu beralih kepada status sosial.
Pemuda sangat lekat kaitannya dalam hal
generasi. Dalam hal ini, penulis akan menyajikan tiga pemaknaan yang saling berkaitan dengan “generasi”. Makna
pertama mengenai generasi lebih mengarah kepada demografis untuk suatu kelompok
umur atau dapat didefinisakan secara biologis. Yang kedua adalah fokus pada konsep fundamental yang memfokuskan konsep relasional dan
fenomena struktural dalam hal kelas, etnisitas, gender dan lain sebagainya,
yang semuanya berkaitan dengan disiplin ilmu sosial. Untuk selanjutnya yang ketiga, hubungan generasi dan sejarah Indonesia yang sangat serasi, yang mana hal ini tersebut diungkapkan bahwa generasi pemuda
merupakan suatu bentuk kesadaran diri dalam membangun segala sektor dan juga
senantiasa melewati batas yang menjadi penghalang dalam perkembangan diri, mulai dari aspek gender, etnis, kelas dan
pendidikan dan lain sebagainya(Manheim 1928).
Pemuda pada dasaranya merupakan
barisan terdepan dalam mengawal perkembangan sosial,
ekonomi dan politik suatu bangsa. Namun juga perlu diingat kembali bahwa hal
ini tidak menutup kemungkinan bahwa pemuda juga dapat menjadi suatu ancaman
dalam ketiga sektor tersebut.
Secara lebih spesifik pemuda juga diartikan
sebagai masa kehidupan pertama dalam pencarian identitas, baik identitas
tersebut berada dalam bagian politik, agama, maupun etnitas. Hal ini dibentuk
secara kolektif dan dalam berbagai proses yang terstruktur sedemikian rupa. Beberapa deologi barat
seperti pluralisme dan sekularisme yang memiliki sudut pandang ingin memisahkan
agama dengan kepemerintahan. Sedang dalam hal ini generasi “pemuda” tampil
dalam garda terdepan sebagai pemuda dan cendekia muslim dalam mengawal
keberagaman suatu negara yang telah diperjuangkan oleh para ulama dan santri
dalam kemerdekaannya. Hal ini disadari atau tidak pemuda generasi masa kini
juga mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat baik dalam ranah
pembaharuan Islam dari pemuda Islam perkotaan kelas menengah keatas di berbagai
kampus Islam, serta mengawal tradisi lokal yang diperankan oleh gerakan pemuda
Islam tradisionalis
Hal yang berkaitan dengan sektor keamanan baik
skala lokal, nasional, maupun internasional, seringkali menghantui keutuhan suatu bangsa dengan adanya bibit-bibit
radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Hal ini seringkali menyasar kepada
generasi pemuda, dan juga menjadi tantangan tersendiri bagi para pemuda untuk selalu mewaspadai gerakan dari luar negeri atas dasar iming-iming harta yang melimpah dan jaminan
surga. Hal tersebut sangat menentukan generasi pemuda masa kini dalam
menyongsong keamanan dan kemajemukan suatu bangsa sehingga menciptakan tatanan
yang baik dan modern tentunya (Harrera 201, h.129).
Kemunduran Pemuda Indonesia dan Langkah Preventif Pemerintah
Perasalahan di sektor ekonomi adalah ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan
berbagai lahan pekerjaan dan memberikan bimbingan yang terarah untuk
meningkatkan kuantitas SDM yang telah ada. Harusnya pemuda saat ini, ketika
melihat neraca logika neoliberal, dapat melihatnya dari sisi yang berbeda
yaitu, memanfaatkan momen ini sebagai modal besar untuk dapat mengembangkan
potensi. Dengan adanya kesibukan berupa pencegahan terhadap perilaku-perilaku
yang beresiko baik pada mereka, dan masyarakat di sekitarnya yang ditimbulkan
oleh pemuda itu sendiri.
Undang-undang baru menegenai konsepsi
kepemudaan dalam hal peningkatan life skill baik yang tertera dalam
kurikulum sekolah nasional telah beredar. Di mana hal tersebut memberikan pengertian terkait pemuda
sebagai harapan ataukah resiko bagi suatu bangsa. Dalam hal ini penulis menawarkan sebuah rancangan agar bagaimana pemuda dapat ikut serta dalam pembangunan dan membantu
meringankan persoalan suatu negara. Rancangan tersebut antara
lain sebagai berikut:
1. Keikutsertaan
pemuda dalam lembaga sosial demi terciptanya masyarakat yang madani.
2. Adanya suatu
legalitas dari pemerintah daerah terkait kebebasan pemuda dalam melakukan
hal-hal yang dinilai maslahat kepada rakyat.
3. Dorongan dan
kepercayaan yang besar dari pemerintah setempat untuk diajak bekerjasama dalam
membesarkan wirausaha yang disertai dengan adanya pembekalan.
4. Kesadaran dari
para pemuda untuk tidak iku-ikutan terjerumus dalam benda-benda yang membuat
kerusakan secara mental dan jasmani, seperti narkoba.
5. Memberikan cerminan
akhlak yang baik kepada masyarakat dengan tidak melakukan hal-hal yang
melanggar aturan hukum atau norma setempat.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Pemuda Indonesia
Mobilitas dan peran anak rantau terutama di
bidang pendidikan dan finansial, dinilai positif untuk peningkatan
kelas sosial dan finansial dalam pandangan masyarakat. Pemaknaan pemuda sebagai pencipta dan konsumen budaya merupakan salah
satu bagian yang tidak kalah penting dalam kajian kepemudaan, terlebih lagi di
zaman digital pada saat ini.
Di luar negeri, para pemuda sudah berada dalam status memiliki pekerja atau menjadiburuh, sedangkan
pemuda Indonesia masih lekat dengan budaya konsumerisme, dikarenakan faktor termarginalkannya ekonomi mereka (Commaroff 2005). Banyak pemuda
yang masih tinggal di pelosok dan belum merasakan pemberdayaan pemerintah, hal
ini dapat menyebabkan ketimpangan sosial yang tetap berlanjut antara
pemuda perkotaan dengan pemuda pedesaan.
Jika mengacu pada sila kelima yang
berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Hal
ini nyatanya dapat merefleksikan mengingat tidak meratanya sentuhan tangan
pemerintah dalam memberikan suatu pemaknaan bahwa pemuda harus menjemput bola
sendiri (berusaha mandiri) tanpa menunggu perintah atasan dalam menyelesaikan
dan mengaplikasikan nilai sila kelima.
Pola Pikir Pemuda Indonesia di Era Digital
Tantangan pemuda dalam dunia global
di era digital saat ini, sebenarnya lebih dominan dalam media sosial.
Tercatat pada tahun 2006-2014,
perkembangan internet sangat pesat pada 3 jejaring sosial yaitu, Facebook, Twitter dan Youtube. Sedangkan dari tahun 2014-2021, kita jumpai berbagai macam jejaring sosial yang mana banyak di antaranya adalah pemuda yang
masih sibuk menghabiskan waktunya dengan bermain game online seperti
PUBG dan Mobile Legends.
Hal ini tentunya akan menggerus dan
menyebabkan kemunduran kecerdasan pemuda masa kini bila tidak ada upaya dari mereka terhadap perlawanan
budaya barat yang menginginkan runtuhnya intelektualitas suatu bangsa. Demikian
ini sesuai dengan yang diungkapkan pada buku Barendregt 2006, h.160.
Penulis mengutarakan bahwa keberadaan seorang
pemuda sebenarnya pilihannya terdapat dua saja. Pertama, pemuda yang kehadirannya dapat mengatasi masalah.
Kedua, pemuda yang
kehadirannya tidak membawa masalah baik itu dalam skala individu atau sosial (Sumardi Widodo
UNDIP, hal.2).
Beberapa poin yang harus dimiliki pemuda masa
kini di antaranya adalah bijaksana dalam berbuat,
senantiasa melakukan persiapan semaksimal mungkin, memiliki semangat yang
tinggi dan mulia, dan memiliki kesadaran beramal positif demi terciptanya
tatanan sosial yang baik. Kemudia hal yang tidak kalah
penting adalah selalu introspeksi diri, karena ada dua manfaat yang bisa dipetik jika
senantiasa melakukan muhasabah. Pertama, mereka akan
terhindar dari propaganda asing yang dengan sengaja ingin meruntuhkan bangsa
kita menggunakan media pemuda-pemudanya. Kedua, adanya
kecenderungan yang positif untuk selalu memotivasi diri sendiri ke arah yang
lebih baik.
Beberapa poin penting menurut penulis dalam
memberikan sumbangsih pada Indonesia selaku pemuda milenial di era digital di antaranya
sebagai berikut, pertama, moralitas yang tinggi, kedua, berjiwa
dan bermoral negarawan yaitu patriotisme dan nasionalisme, ketiga, ikut
serta dalam mengawal stabilitas sosial dan politik, dan keempat adalah berkarya dengan keikhlasan pengabdian,
mempersiapkan diri sebagai pemimpin, taat dan sadar hukum, serta membangun semangat juang dan persaudaraan sesama masyarakat Indonesia tanpa
membedakan kelas, agama, etnitas, ras dan budaya.
Syaifur Rahman, S. Pd
Daftar Pustaka
-
Abdullah,
T. & Yasin, M. (eds) (1974) Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta.
-
Alanen,
L. (2001) ‘Explorations in generational analysis’, dalam Conceptualizing Child-Adult Relations,
eds L. Alanen & B. Mayall, Routledge, London.
-
Ali,
M., Amir, P. & Duse, I. (penyunting) (2007) Narkoba: Ancaman Generasi Muda,
DPD KNPI Kalimantan Timur, Yogyakarta, Pustaka Timur, Samarinda.
-
Anderson,
B. (1972) Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, Cornell
University Press, Ithaca.
-
Aspinall,
E. (1995) ‘Students and the military: Regime friction and civilian dissent in
the Late.
-
Barendregt,
B. (2006) ‘Cyber-Nasyid: Transnational soundscapes in Muslim Southeast Asia’, dalam
Medi@asia: Communication, Culture, Context, ed. T. Holden & T. Scrase,
Routledge, London.
-
Barendregt,
B. (2008) ‘Sex, cannibals and the language of cool: Indonesian tales of the
phone and modernity’, The Information Society, vol. 24, no. 3, h. 160–70.
-
Baulch,
E. (2007) Making Scenes: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali, Duke
University Press, Durham.
-
Bayat,
A. & Herrera, L. (2010) ‘Introduction: Being young and Muslim in neoliberal
times’, dalam Being Young and Muslim. New Cultural Politics in the Global South
and North, ed. L. Herrera & A. Bayat, University Press, New York, Oxford.
-
Bodden,
M. (2005) ‘Rap in Indonesian youth music of the 1990s: ‘‘Globalization’’,
‘‘outlaw genres’’, and social protest’, Asian Music, vol. 36, no. 2, h. 1–26.
-
Bodden,
M. (2005) ‘Rap in Indonesian youth music of the 1990s: ‘‘Globalization’’,
‘‘outlaw genres’’, and social protest’, Asian Music, vol. 36, no. 2, h. 1–26.
-
Brenner,
S. (1996) ‘Reconstructing self and society: Javanese Muslim women and ‘‘the
Veil’’’, American Ethnologist, vol. 23, no. 4, h. 673–97.
-
Brenner,
S. (1999) ‘On the public intimacy of the New Order: Images of women in the
popular Indonesian print media’, Indonesia, vol. 67, April, h. 13–37.
0 Comments
Posting Komentar