![]() |
Manusia hidup di dunia ini akan mengalami beragam masalah yang dihadapinya. Dan semua itu sebenarnya sudah tertulis di dalam Lauhu al-Mtahfudz. Selebihnya manusia akan mencari jati dirinya dalam pengembaraan di dunia.
Manusia
merupakan mahkluk yang Allah ciptakan berbeda dari makhluknya yang lain.
Manusia memegang peranan penting dalam kehidupan di dunia. Selain dibekali
nafsu manusia dibekali akal sebagai barometer dalam setiap tindakannya. Inilah
yang membedakan antara manusia dengan hewan ataupun dengan malaikat.
Hewan
yang hanya memiliki nafsu tidak ada hal lain yang dilakukannya selain makan dan
kawin. Begitupun malaikat yang diciptakan Allah tanpa nafsu tidak ada hal lain
selain hanya menaati semua yang Allah perintahkan kepadanya. Sementara manusia
yang memiliki keduanya akal dan nafsu memiliki ujian tersendiri untuk bisa
mengontrol keduanya. Jika nafsu terlalu dominan maka ia akan menyifati
binatang, namun jika bisa menekan nafsunya dan membesarkan peran akal atau hati
maka akan menyifati malaikat.
Pentingnya
manusia memahami hakikat penciptaan adalah untuk lebih mengenal Sang Pencipta.
Namun untuk memahaminya tidak gratisan alias membutuhkan usaha untuk bisa
sampai kepada-Nya. Maka, di sinilah peran dari akal untuk bisa mengantarkan
seseorang kepada hakikat Pencipta. Namun, akal saja tidak cukup untuk bisa
sampai kepada-Nya. Diperlukan pedoman untuk membimbingnya sehingga tidak
tersesat pada rel yang sudah digariskan.
Begitu
banyak umat manusia tersesat diperbudak oleh akal yang hanya mengantarkan
seseorang pada lapisan-lapisan terluar dari sebuah hakikat. Apalagi akal yang
hanya berjalan mengikuti alur logika berpikir tanpa ada pemandu. Maka, semua
akan dinalar sesuai dengan kapasitas akal. Padahal akal sendiri memiliki
batasan, dan ada titik di mana sesuatu tidak bisa dirasionalisasikan sesuai
kehendak otak. Itulah yang kita sebut dengan alam metafisik.
Semua
hal yang berbentuk dan bisa diindera dengan panca indera akan sangat
memungkinkan untuk bisa dinalar, namun hal-hal yang non fisik atau metafisik
akan sangat sulit dinalar, dan hanya bisa ditempuh dengan menggunakan jalur
hati sebagai media untuk menggapainya. Maka, peran hati di sinilah yang
kemudian dijadikan pijakan sebagai sumber menuju kepada Zat Yang Tidak Bisa Diindera,
namun kita berkewajiban untuk mengimani-Nya.
Akal
yang tumbuh melalui bimbingan wahyu akan sangat mudah sekali menggapai sebuah
hakikat kebenaran, karena akan langsung direspon oleh hati. Sementara akal yang
tumbuh bukan karena bimbingan wahyu, akan sulit melihat hakikat kebenaran.
Karena baginya ilmu hanya bisa diindera, selain yang bisa diindera bukanlah
ilmu. Maka, sampai titik ini seorang tidak akan mencapai Ilmullah
jikalau di dalam hatinya masih terisi oleh materi yang lain.
Akal
sendiri sebenarnya secara fitrah akan bersandar kepada suatu zat Yang Maha
Besar yang tidak bergantung kepada sesuatu yang lain, maka ketiadaan
pengetahuan tentang petunjuk mengakibatkan akal tersesat dalam mencari
kebenaran. Dari ketersesatan itu akhirnya akal berlabuh kepada hal yang
menurutnya baik padahal itu adalah keburukan. Keputusan akal tersebut akhirnya
diamini oleh hati, sehingga membekas di hati bahkan hingga mengakar kuat. Dari
situlah kesesatan itu melahirkan kesesatan-kesesatan yang lain, dari generasi
ke generasi.
Sebuah
seruan kembali kepada fitrah merupakan upaya manusia untuk memahami hakikat
dari peciptaan ini, karena dengan melihat luasnya alam semesta ini akan
mengantarkan kita kepada sebuah himam
(keingintahuan yang kuat) untuk memahami alam ini. Namun, jika himam tersebut
hanya terhenti sampi duniawi saja, maka masih tergolong himam dani’ah dan tidak akan mengantarkan seseorang sampai
kepada hakikat. Maka, diperlukan himam a’liyah untuk bisa sampai kepada Al-Khaliq
Al-Haqiqi yaitu Allah SWT. Wallahu a’lam bi-s-Showwab
Sumber gambar : Ahlulbait Indonesia
Al-Faqiir
Ila Rahmati Rabbi
Falah
Aziz
0 Comments
Posting Komentar