“Il, ente sama Wildan tolong
siapin sound di depan BPPM[1]
untuk latihan hymne pondok.”
Aku terkejut mendengarnya, padahal
baru saja sampai di kamar.
“Oh ya, Nam, yaudah
nanti ana kesana.” Ku ambil lagi alas kakiku di depan kotak bajuku.
“Okedeh, Il. Syukron-syukron.” Anam mengangguk, merasa semuanya aman-aman
saja.
“Ayo, Dan, ke sana!”
“Iya il, tunggu ana.” Dia
buru-buru mengenakan jas, menyusulku.
Kami berdua berjalan menuju gudang,
mempersiapkan alat-alat yang akan dibawa ke tempat. Wildan membuka pintu, lalu menyerbu
barang-barang yang diperlukan. Satu buah stander mic, stander sound, sound huper, kabel cannon[2],
dan kabel PA [3]
untuk keyboard yang akan dimainkan nanti. Kedua tanganku penuh
memikul beberapa perangkat, sedangkan si Anak Saburai berotot itu memopong sound huper di punggungnya.
Santri-santri satu
pondok menunggu kami di depan aula, Ustaz
Rofi dan seorang musikus juga sudah siap di teras depan. Kami dengan cekatan
mennyiapkan segalanya, mendirikan sound huper, memposisikan stander
mik, dan mencolokkan kabel-kabel di tempatnya.
“CEK-CEK, Shoutu tajriba wahid, isnani, tsalasah.”[4] Wildan
mencoba suara di mik ustaz.
Ustaz Rofi meliriknya penuh perhatian.
“Kaifa, Akhi?” sapanya.
“Kholas, Ustaz.”[5] Ia menyodorkan
miknya ke ustad itu.
Urusan sound huper dan mik sudah aman, tahu-tahu muncul masalah yang lainya. Keyboard
tidak keluar suaranya dari sound huper. Santri
musikusnya bingung, Ustaz riayahnya terheran-heran,
ratusan anak curiga kenapa belum mulai-mulai latihannya.
Dan aku kalang kabut mencoba berbagai cara berkali-kali tapi tetap saja tidak
bisa.
“Dan, ini gimana ya kok ga
bisa?” Bisikku senyap penuh ketakutan.
“Haduh ana juga pusing, Il, padahal biasanya bisa kalau
gitu.” Balasnya dengan menahan rasa panik.
“Ini caranya bener, kan?”
“Iya bener, Il, kabel PA_nya dimasukin ke alat musik sama huper-nya.
Tapi kok ga bias, ya?”
“Ga tau, Dan. Atau jangan-jangan kabelnya rusak?”
“Bisa jadi, Il, gimana kalau ente ke gudang ambil kabelnya. ana jaga
disini.”
“Yaudah kalau gitu, tunggu sebentar ya, ana coba cari kabel yang lain.”
Bergegasku berjalan secepat kilat ke
ruangan penyimpanan perabotan, Dengan was-was ku buka
pintu kayu jati itu, kutemukan Husein sedang berdiri menaruh barang. Tanpa
basa-basi lagi, meminta tolong darinya sebagai salah satu tekhnisi andalan di Qismul
I’lam. Dia belajar dengan cepat permasalan-permasalahan sound system di
lapangan dengan terus mencoba dan banyak bertanya kepada para pendahulu. Namun
dengan segala keahlianya, ia tetap terlihat sejuk tampil dengan rendah hati
setiap harinya.
“Sen, ini gimana, ya? Tadi udah ana coba Qoah
pake kabel PA yang ini tapi ga bisa-bisa. Apa rusak atau rusak atau gimana
sen?”
“Perasaan itu kabelnya bisa tau, Il kemarin, Yaudah deh ana ke sana.”
Husen mengambil beberapa kabel yang lainya, dan kami melangkah
kencang menemui Wildan. Belum genap satu menit, kami sudah sampai. Si Anak Tekhnisi
Sound itu lekas
beraksi dengan gesit, memeriksa masalah dan menyelesaikanya satu-persatu dengan
sempurna. Aku hanya bisa terdiam kagum. Ustaz Rofi berterima kasih
kepada kami, lalu memulai latihannya.
Kami pun bersama-sama kembali ke kamar, di
tengah perjalanan aku banyak bertanya kepada Husein. Apa sebenarnya masalahnya,
bagaimana mengatasinya, lalu dia menjawabnya dengan sederhana.
Kejadian tadi membuatku sadar, betapa sempit ilmu yang kupunya. Aku masih perlu
banyak belajar di CID, skill menggulung kabel dan menggakat sound
saja tidak cukup karena masih banyak sekali masalah-masalah yang lainnya.
Atmosfer pendidikan di
pondok, selalu terhirup sejuk dalam jiwa. Bukan hanya dengan suri tauladan sang
kiai,
ustaz-ustaz,
dan kakak
kelas. Tapi juga dari penugasan-penugasan yang diberikan. Hal yang memaksa kami
untuk berfikir mencari solusi, dan menyelesaikanya sebaik mungkin. Dengan semerbak
harum keikhlasan di pondok membuat dinamika santri mengalir dengan tenang. Ustaz ikhlas
memberikan tugas, santri pun ikhlas menerima tugas,
bersama-sama kami membantu pondok dengan semata-mata mengaharap rahmat Allah SWT.
* * * * * * * *
*
Perutku sangat kenyang kali ini, pentol dengan tumpahan
saos kacang dari dapur berhasil memuaskanku malam ini. Ku sempatkan mampir ke
kamar sebelum beranjak Shalat Isya di Masjid. Di meja tamu tergeletak majalah Audio
Enginerring, aku penasaran lalu membacanya perlahan. Zain tiba-tiba masuk
kamar mendekatiku, heran dengan apa yang kubaca.
“Zain, bagus ya bukunya? Kayanya mahal-mahal banget ya alat-alat sound
system?”
“Iyalah il, mahal. Ente tau ga alat-alat di gudang tuh
harganya jutaan, bahkan sampai puluhan juta ada.”
“Wah, mahal banget pee.”
“Makanya harus di jaga il. Jangan asal taruh sound sama
kabel sembarangan abis kerja.”
“Oh iya pe, ana kadang-kadang suka asal taruh Sound,
lagian cape banget.”
“Jangan gitu il besok-besok.” Zain menepuk bahuku.
“Iya Zain, afwan.” Ku tutup majalahnya dan menaruh sajadah ke
pundak.
“Eh ente tau ga ente il, harga belajar sound system diluar
berapa harganya?”
“Ga tau pee, emanyanya berapa?”
“Dulu tuh il, Ustad Riza sebelum bimbing CID, pernah kuliah tentang
Sound Engenerring beberapa lama, tapi karena terlalu banyak teori yang
diajarkan daripada prakterknya akhirnya beliau berhenti. Katanya sih sekali
biayanya habis sampai puluhan juta il.”
“Wah, ngolin jiddan pee haqiqotan[6].”
“Iya il makanya ente bersyukur, bisa belajar langsung di
CID, gratis.”
“Soheh pee... Yaudah
yuk ke masjid, sebentar lagi Adzan.”
Kami berdua lekas meninggalkan ruang
tamu, dan pergi. Rasanya tak heran lagi, mengapa teman-teman merasa begitu
beruntung bisa berkesempatan menjadi Bagian Penerangan. Karena ini pelajaran mahal harganya, tidak setiap orang dapat merasakanya, dari ratusan kelas enam hanya kami yang terpilih. Bukan karena kepandaian
yang kami miliki, namun karena Allah azza wa jalla telah menentukan tempat
terbaik untuk kami.
Rasa
beruntung itu hinggap dalam jiwa-jiwa kami, lalu menjadi semangat dalam
menyelesaikan berbagai perkerjaan tanpa mengharap apapun. Contohnya saja Raka,
selalu tanggap menempelkan koran setiap harinya, ke etalase-etalase CID yang
menyebar di sekitar pondok. Tidak pernah ada jadwal
penempelan koran, cukup menggunakan ketanggapan teman-teman. Nafi, Aidil, aku
dan yang lainya juga suka membantu menaruhnya. Namun sebelum koran disebar ke
seluruh pondok kami periksa dulu seluruh isinya, jika ada gambar yang tidak
pantas lekas kami coret-coret dengan pulpen. Datangnya tukang koran kedepan
kamar setiap harinya juga menjadi keutungan tersendiri bagi teman-teman, karena
bisa menitip buku-buku majalah ataupun koran yang lain selain merek yang biasa
dipakai pondok. Itulah yang sesekali kami namakan, kesejahteraan bagian.
Kawan-kawan
Qismul I’lam tidak saja mengontrol suara ketika acara, saat di masjid, ataupun
dari studio. Kami juga mengontrol seluruh Pengeras Suara yang ada di pondok, membuat
instalasi dari tempat ke tempat. Ada yang di dalam Aula ataupun terikat rapih
di asrama-asrama. Sesekali kami seperti bagian Diesel mengerti bagaimana
mengurus arus listrik, tak jarang harus menggunakan tangga
ataupun memanjat ke tempat yang tingi. Seperti membuat Instalasi suara di Gedung
Saudi, Husein dan Aidil tanpa ragu memanjat tembok-tembok yang menjelang tinggi untuk memasang Sound diantara tiang-tiang. Apapun kami
upayakan agar santri-santri dapat mendapatkan informasi dengan jelas dan
menikmati lagu-lagu terbaik.
Diantara ribuan jiwa di pondok, ada saja yang
tidak suka kami menaruh sound di dekatnya karena merasa
terganggu. Bagian Diesel salah satunya, tepat diatas kamarnya ada sebuah kotak
pengeras suara kecil. Mereka merasa terusik setiap pagi dengan
nyanyian-nyanyian yang keluar di atas kamarnya. Salah satu dari Qismul
Makinah [7]pernah
memutuskan kabel instalasinya, karena kesalnya. Namun dengan cepat kami
menyadarinya, dan segera memperbaiki. Kejadian itu terulang-ulang berkali-kali,
sampai akhirnya selesai dengan saling memahami satu sama lainya.
Sebulan sudah
diamanahi menjadi Panitia Bulan Syawal. Kabarnya beberapa hari lagi akan ada
pemilihan anggota resmi dari OPPM[8].
Hari-hariku semakin menengangkan, karena khawatir akankah aku tetap menjadi CID
atau keluar karena teman-teman yang lainya terlihat lebih pantas. Apapun nanti
keputusanya, itulah yang terbaik yang Allah berikan maka akan ku trima dengan
sepenuh hati. Takdirku tidak
akan menjadi milik orang lain begitu pula sebaliknya.
Sumber: quipper.com |
M. Ismail
Mahasiswa International University of Africa
[1] Balai Pertemuan Pondok Modern
[2] Kabel yang diujungnya terdapat colokan female tiga bolongan
mendalam dan male dengan tiga besi tusukan
[3] Kabel yang ujungnya satu tusukan besi memanjang.
[4] Suara dicoba, 1,2,3.
[5] Udah ustad
[6] Mahal banget sumpah.
[7] Bagian diesel
[8] Organisasi Pelajar Pondok Modern
0 Comments
Posting Komentar