![]() |
Aku
meminjam huruf dari simbol-simbol abjad kemudian ku rangkai menjadi bait-bait
sajak lalu ku tulis dengan tinta dalam barisan kalimat pada lembaran-lembaran
kitab yang kau sebut aksara dalam gelap.
"Aksara dalam gelap?" Tanya
temanku dengan tertegun heran melihat ke layar laptop yang masih menyala-nyala
terang. Aku hanya tersenyum, menurutku tidak semua pertanyaan itu harus dijawab
sekarang dan tidak semua jawaban itu harus diungkapkan dengan lisan.
Biasanya pagi selalu menerbitkan
arunika dari timur dengan bias cahaya mengabarkan sebuah harapan baru, tapi
tidak kali ini. Pagi yang menyejukkan, cakrawala dan semesta bersepakat
mengirimkan tetesan-tetesan hujan yang beraturan membentuk ritme dengan
nada-nada dan irama yang bersenandung sempurna, lengkap ditambah secangkir teh
panas seumpama menghirup dinginnya udara di atas puncak gunung Everest. Dari
lantai 20 yang ku tempati, hanya dua layar laptop yang menyala saling memberi
sinyal kelelahan karena bekerja siang malam, punyaku dan punya Rudi. Aku
kembali menatap ke luar gedung, memberi jeda jari-jemari istirahat dari
sentuhan keyboard laptop, menghirup aroma khas secangkir teh pegunungan
yang masih panas.
“Uy,
melamun aja. Ada apa?”
“Gapapa, Bro,
aku masih kepikiran aja.” Mataku beralih ke rudi
seorang rekan
kerja beberapa tahun terakhir. Duduk di atas
meja sambil melahap sepotong roti panggang, tanpa merasa bersalah sesekali
meneguk teh panasku. "Kata pluviophile
hujan itu memberi efek samping mengingatkan kita pada masa lalu,"
cetusku menambahkan obrolan.
“Hmm
bener juga,
sih, tapi apa hubungannya sama tulisanmu yang tadi?”
“Panjang
ceritanya,
Bro.”
sedikit
membuat dia penasaran.
“Singkatnya
gini, sebuah tulisan kalau diletakkan pada tempat yang gelap apakah bisa
dibaca?
Tentu ga bisa, kan? Itu
maksudnya aksara dalam gelap, jadi percuma saja membuat tulisan namun tidak
bisa memberikan pengaruh ke orang lain, masyarakat, bahkan pemerintahan. kita
sebagai perusahaan
media, dan teman-teman wartawan yang lain, hari ini dibungkam, dibatasi,
dikucilkan, apalagi kalau kita sudah masuk ranah pemerintahan, pasti banyak
fitnah yang dilemparkan ke media kita, ini salah satu sebab terjadi demo kemarin."
“Oh,
jadi begitu,
ya”
“Tingkat
kriminal sudah sangat tinggi di negeri ini, pembunuhan, korupsi, pelacuran
sudah jadi bahan obrolan biasa di masyarakat. Tangis rakyat jelata tidak ada
harganya lagi, pekik petani tak didengar, bahkan suara mahasiswa pun
diabaikan.”
“Tapi
ngomong-ngomong pluviophile itu apa?” Memotong
pembicaraannku
“Aduhai, Rudi!”
“Setauku
ya, jadi pluviophile itu adalah orang yang sangat menyukai hujan lebih
daripada normalnya, gitu kira-kira, Bro.”
Obrolan pun
berhenti sejenak, hujan mulai memperlambat geraknya, air yang berteduh di balik
daun mulai berguguran, angin bergulung deras dari celah lubang angin, di Ufuk
Timur
langit semakin membiru bagai kertas putih yang dilukis dengan campuran biru
yang menarik, tapi tetap hawanya masih membuat menggigil, semuanya seperti
menyeru masuk taman dimensi lain dengan nuansa baru.
Di beberapa tahun terakhir, dalam
bait-bait sajakku sengaja memilih diksi yang begitu ambigu, entahlah mungkin
karena pengaruh negeri ini yang semakin ke sini
semakin ambigu, tidak jelas mau dibawa ke mana.
Bayangkan saja, orang-orang baik mulai disingkirkan dari ranah pemerintahan,
provokasi seperti jadi makanan sehari-hari, agama selalu dikambinghitamkan,
media dibatasi. Ah, wajar mungkin karena akal sehat negeri ini sudah mulai
hilang. Namun di
sisi lain banyak kisah menarik tentang perjuangan.
“Rud, kau lihat kotak cincin dan undangan itu?” Aku
mengarahkan jari telunjuk, bergeser sedikit ke sebelah kanan
tepat pada meja sebelah yang hening dari kegiatan dan aktivitas.
Rudi hanya mengangguk kecil dengan terus mengunyah rotinya.
“Royan dan Indah, tertulis di sana.”
“Aku
prihatin sama Angga, kasihan beberapa hari ini kelihatan ga bernafsu makan.
Dulu dia sama Royan sangat akrab sekali. Ke mana-mana
selalu berdua, memilih tempat makan, baju, sampai tempat tinggal pun
mereka selalu satu pemikiran. Setelah kedua orang tuanya meninggal akibat
kebakaran tahun lalu, Angga hanya memiliki adik satu-satunya, jadi wajar saja
kalau dia begitu menyayangi Royan.” Kata Rudi sambil menatap foto Royan bersama
keluarganya yang sengaja diletakkan Royan di atas
meja kerjanya, agar menjadi penyemangat saat dia lelah. Efek hujan memang
begitu nyata rasanya, dari tadi pagi pembahasan kami tidak lepas daripada
mengingat kejadian beberapa minggu kebelakang ataupun peristiwa yang telah
berlalu.
“Tapi
kesal rasanya sama Angga, dia terus saja menyalahkan Indah, padahal sudah jelas
Royan yang punya rencananya.” kataku.
Tiba-tiba petir menggelegar jantung
kota, diiringi kabut hitam yang datang tanpa permisi seolah membuka jalan
mendung melingkupi jalanan. orang-orang bersiap seakan sudah tahu akan datang
badai hujan besar. kami saling memandang satu sama lain, seperti berbicara dari
hati ke hati. “Sepertinya
besok kita baru pulang.” Rudi menambahkan obrolan kemudian
dia tertawa terbahak-bahak.
“Rud, aku bingung memaknai ketawamu,
itu tertawa bahagia, kesal, lucu, marah atau bagaimana?” Candaku,
lalu ikut tertawa.
Benar saja, beberapa waktu kemudian
hujan turun dengan deras. Setelah selesai dengan urusan ketawa, kami pun
memandangi hujan dari balik jendela kaca, “Dengan
alasan itulah, mahasiswa berkumpul dan berdemo beberapa minggu lalu, wartawan
pun tidak ingin kalah dengan keadaan, mereka juga ikut ke sana
dengan segala risiko
yang akan dihadapi, termasuk Royan dan Indah. "Sebenarnya
adikku,
Indah,
sudah kularang untuk ikut ke sana, tapi semuanya karena Royan.”
Belum
selesai aku berbicara, tiba-tiba sesosok orang datang dari arah belakang
kemudian menghantam pipi kiriku dengan pukulan yang cukup keras sehingga
membuatku terdorong jatuh kedepan, yang lebih mengejutkanku lagi sosok itu
adalah Angga.
“Ngga, ada masalah apa?” Tanya Rudi
yang mengerutkan keningnya
Seperti belum puas melihat darah
yang keluar dari ujung bibir kiriku, Angga kembali menggenggam tangan kanannya
lalu mengarahkannya tepat ke arahku, beruntunglah kakiku dengan sigap menerjang
dadanya hingga dia terdorong ke meja dan membuat laptop dan alat kerja yang lain berserakan, Ujung
sikutnya
mengenai cangkir teh panas lalu membuatnya jatuh dan pecah. Belum
menyerah,
Angga kemudian mengambil bekas pecahan cangkir yang jatuh, lalu bangkit
menjulurkan tangannya ke depannku, aku tahu
dia mengincar leherku, tidak ingin kalah aku memutar badan mengikuti
gerakan sapuan tangannya dan mengangkat kaki kiri kemudian menghantam pundak
lehernya yang berdekatan dengan kepala bagian pitalnya, itu membuatnya langsung
terkapar tak berdaya.
Suara petir terus saja menggelegar
dengan kuat saling berlomba dengan derasnya suara hujan seakan ingin meredam
suara perkelahian kami. Nafasku terengah-engah, keringat berkucuran mengalir
dari kening kemudian menetes bersama darah dari lukaku, di sana
Angga juga terlihat seperti itu.
“Hei,
apa masalah kalian berdua? Apa yang kalian pikirkan?”
Rudi menengahi
“Kalau
bukan karena Indah mana mungkin adikku ikut dalam demo kemaren hingga
nyawanya
terenggut.” Jawab
Angga, seolah tak mau menerima kalau adiknya sudah meninggal.
Nalarku hampir tidak berfungsi lagi,
duduk sambil memeluk dua lutut memandang ke arah
jendela, bagaikan merasakan satu demi satu tetes hujan yang jatuh ke tanah. Aku
paham beban yang dihadapi Angga, jadi aku hanya mendengarkannya sampai dia
berhenti sendiri, dia hanya perlu untuk mencurahkan apa yang selama ini
dipendamnya.
“Ngga, sudahlah. Seandainya Royan
dan Indah di
sini mungkin
mereka sangat sedih melihat kakak-kakaknya seperti ini, tapi mereka
sudah tenang di
sana, tak perlu lagi dipermasalahkan dan ini bukan
soal siapa yang salah. Mereka bukan meninggal karena sia-sia belaka, mereka
adalah salah satu manusia yang memperjuangakan keadilan yang selama ini kita
sama-sama perjuangkan dan suarakan. Ada fakta yang perlu kamu ketahui,
Ngga, sebelum Royan dibawa kerumah sakit, dia sempat berbicara denganku ‘Bang,
maafin aku,
ya, akulah yang memaksa Indah untuk pergi, jadi jangan salahkan dia kalau ada
apa-apa yang terjadi dengannya, akulah yang bertanggung jawab atas kejadian ini.’
itu terakhir kali kalimat yang dia ucapkan kepadaku.”
cetusku.
Mendengar itu Angga meneteskan air
mata beriringan dengan dentuman petir dan derasnya hujan di luar.
Hujan membawa kami ke lorong waktu, berhenti pada salah satu fase kemudian
mempermasalahkannya,
"Ini
bukan tentang masa lalu yang perlu dipertanyakan, tapi masa depan yang perlu
diperjuangkan, ada rencana-rencana yang perlu kita lakukan sekarang, masyarakat
yang membutuhkan kita, di mana jiwa berani yang dulu kita tanamkan bersama,
misi yang perlu tindakan bersama dan persahabatan kita yang perlu kita jaga." tambahku.
Terakhir kata yang diucapkan Rudi, “Lupakan semuanya, kita ini sudah sepuluh tahun berteman bahkan sudah menjadi sahabat, jangan sampai persahabatan ini rusak karena ini. Cukup pembahasan Royan dan Indah sebatas ini saja dan tidak perlu dilanjutkan lagi, anggap saja cerita hari ini hanya hujan dan secangkir teh.”
Bersambung...
Sumber gambar : kompasiana.com
Oleh: Toni Suhendra
Mahasiswa KIFAL
0 Comments
Posting Komentar