![]() |
Dengan menyebut nama
Allah Yang Menciptakan para hamba-Nya berpasang-pasangan. Tulisan sederhana ini
berangkat dari kesadaran diri penulis tanpa keilmuan yang dimilikinya sama
sekali. Sekadar berharap, semoga tulisan yang diangkat dan dinikmati oleh
banyak pembaca bisa membuat penulis semakin konsekuen dengan pendapatnya. Amin.
Kehadiran sosok ayah
diharapkan mampu menjadi singa yang tangguh ‘memburu’ mangsa-mangsanya berupa rezeki
yang berkah berlimpah ketika di luar rumah, dan menjadi sosok ‘selimut’ besar
rumah tangga yang mengayomi dan menghangatkan dengan rasa aman, nyaman, serta
kenyang. Setidaknya itu.
Oh bukan, belum cukup menurut penulis. Kita
bangga dengan keislaman kita, dan Islam telah menunjukkan posisi ayah yang
sangat strategis dalam rumah tangga. Ketika kita mendengar istilah, “Ibu adalah
madrasah pertama bagi anak-anaknya.” Maka sejatinya ayah adalah Kepala
Sekolahnya. Kepala sekolah-lah yang akan memilih siapa guru terbaik yang akan
menjadi pendidik untuk anak didiknya di madrasahnya.
Ya, Islam memberi tahu
kita akan adanya sekolah non formal sejak dini, bahkan sebelum seorang anak hadir.
Kapan itu? Sejak orang tua mereka masih kecil, juga jauh sebelum akhirnya mereka
saling bertemu, menikah, dan memiliki keturunan. Luar biasa keagungan Allah, Maha
Bijaksana-Nya Allah. Alhamdulillah.
Berkali-kali Islam
memberikan bukti melalui kedua buku super saktinya yaitu, Al-Qur’an dan Sunah. Redaksi-redaksinya
pasti bisa menjadi pedoman hidup sejak lahirnya sosok ayah pertama di muka bumi
ini, Nabi Adam hingga ayah terakhir di muka bumi nanti. Ertugrul misalnya, kepala
suku Kayi saat itu, sosok pemberani juga rendah hati. Nabi Muhammad dengan
semangatnya menjunjung akhlak dari salah satu ayat Al-Qur’an dalam surah
Al-Ahzab ayat 21, dikisahkan tentang lahirnya sosok anak-anak mungil nan cerdas
di masa kecilnya, namun berubah menjadi pribadi-pribadi tangguh nan bijaksana
di masa dewasanya. Salah satunya bernama Osman, sosok pendiri Daulah Utsmaniyah
yang mana pada negerinya, ia bisa menjaga dan menunjukkan apa itu perdamaian
dunia yang kurang lebih selama 620 tahun selalu digembor-gemborkan. Allahu
Akbar.
Tak mungkin hal itu
terjadi tanpa hadirnya sosok ayah dengan tangannya yang multifungsi, yang ketika
ke luar rumah berfungsi untuk memegang pedang dan memegang tubuh mungil si bayi
merahnya ketika pulang. Tak hanya tangannya yang difungsikan untuk mengatur
strategi peperangan dan rencana rumah tangganya, juga dari tangannya-lah jabat
tangan diplomasi dengan antar suku hingga imperium besar terjadi, misalnya
Mongol saat itu. Menjadi sosok Ayah memanglah tak mudah.
Zaman telah jauh
berubah, “Anak-anak semakin banyak ulah” kata sang ayah yang egois dengan
kesibukan kerjanya, ia berangkat ketika anak belum siap membuka mata dan pulang
penuh lelah ketika anak sudah lama menutup mata. Ketika sedikit saja ada
kesempatan untuk bertemu, yang dihadirkan ialah amarah. Ya, terkadang anak
menjadi luapan emosi dari kalutnya masalah di kantor. Ketika tidak marah, sang
ayah sangat ramah dengan gawainya dan sang anak ingin sekali dekat dengannya.
Entah ternyata sudah berapa lama, sudah terlambat atau belum bagi sang ayah
untuk menyadarinya. Ketika menyadari, ternyata sang anak sudah tenggelam dalam
kolam pertemanan yang cinta narkoba, vandalisme, hamil di luar nikah, dan
lainnya.
Ketika sudah seperti
itu, apa yang bisa berbuat seorang ayah? Kekayaan yang dia kumpulkan apakah
bisa membayar kenakalan seorang anak dan mendapatkan keadaannya yang kembali
seperti bayi mungil bersih tanpa noda? Apakah saat itu baru disadari tidak
terlalu pentingnya sosok ayah hadir siaga di depan
layar kaca kecilnya yang ia sebut gawai?
Semoga hal ini tak terjadi kepada kita,
wahai Ayah dan calon Ayah.
Berbicara tentang
negara Indonesia, ternyata memiliki fakta yang cukup mengerikan tentang
hadirnya sosok ayah dalam keluarga, terlebih sosoknya yang dirindukan
anak-anak. Indonesia adalah negara dengan peringkat tiga terbesar angkanya
dalam Fatherless Country setelah Amerika dan Australia. Rata-rata seorang
ayah menghabiskan waktu dengan anaknya hanya 60-70 menit saja sehari! Miris
sekali. Data ini diambil dari tulisan Ulum A. Saif dalam bukunya Saatnya
Ayah Mengasuh.
Fakta kedua yang coba
penulis hadirkan adalah dalam acara Indonesia Lawyers Club edisi 16 Februari
2016 di TV One, yang mengangkat tema “LGBT Marak, Apa Sikap Kita?” Ibu Elly
Risman, seorang psikolog menyamikan bahwa pada tahap tumbuh kembang anak
tidak hanya membutuhkan figur ibu, namun sosok ayah juga diperlukan secara
bersamaan, baik untuk anak perempuan maupun laki-laki.
Memangnya apa sih dampaknya ketika sosok
ayah tidak hadir memberikan sentuhan kasih sayang untuk anaknya?
Semua anak pasti
membutuhkan pujian dari ayahnya. Darinya akan muncul rasa percaya diri, rasa
memiliki ‘pelindung’ diri dari berbagai masalah, terlebih anak perempuan. Sebab
jatuhnya mereka masuk kedalam masalah hamil di luar nikah, tidak sedikit
disebabkan karena kurangnya tarbiah yang diberikan seorang ayah padanya. Sangat
mudah bagi anak perempuan memberikan kepercayaan bagi orang lain, karena
ayahnya sendiri tak pernah memberinya perhatian, lebih-lebih kalimat pujian
atas tumbuh-kembangnya selama itu. Alhasil, kejadian-kejadian buruk selanjutnya
pun terjadi.
Bagaimana jika seorang ayah
sudah memberikan kasih sayangnya sedari kecil, bahkan sebelum mengetahui kalau sosok yang dilihat adalah ayahnya? Anak perempuan tidak akan mudah menerima
kepercayaan orang lain, karena ia akan berkonsultasi dengan ayahnya sebagai superhero-nya. Sekali
pun diberikan hadiah atau yang lain, ia tidak menerimanya dengan sangat
bahagia, karena ayahnya jauh lebih sering memberikan hadiah untuknya.
Lalu, bagaimana efeknya
dengan anak laki-laki? Berangkat dari nakalnya seorang anak yang merasa tidak
penting akan kehadirannya dalam keluarganya sendiri dan amarah dari seorang ayah
yang ia dapatkan tiap hari. Cepat atau lambat akan merubah kepribadiannya
menjadi agresif hingga akhirnya mudah sekali terpengaruh, walau alasannya untuk
mencari jati diri. Ya, dia salah alamat. Mentalnya hancur setelah ia tertangkap
balapan liar, memakai ganja, dan melakukan kenakalan remaja yang lain.
Lebih dari itu
semua, bayangkan yang ada di pundak kalian semua merupakan amanah dari Allah
lewat ayat-Nya yang terdapat pada surah At-Tahrim ayat 6;
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah
diri kalian dan keluarga kalian (dari) api neraka..”
Misi besar dimulai dari diri masing-masing
kita!
Berapa pun umur penulis
maupun pembaca saat ini, semoga belum terlambat bagi kita untuk menyiapkan diri
menjadi sosok ayah maupun calon ayah yang baik. Ingat! Indonesia merdeka dengan
perantara dua Proklamator tangguh yang anak keturunannya menjadi kontributor
bagi negara ini hingga detik ini.
Apa yang kita siapkan,
pastikan ada kaitannya dengan cita-cita mulia kita. Menjadi sosok ayah terbaik
untuk anak-anak kita nanti. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami pasangan dan anak-anak
yang salih juga salihah, menjadi penyejuk bagi mata kami, dan jadikanlah kami
termasuk pemimpin dari orang-orang yang bertakwa. Amin.
Oleh: Farrel Izham
Mahasiswa International University of
Africa
0 Comments
Posting Komentar