“Mar, aku
sedang dirundung kebingungan tak berujung,” keluh Bagong kepada Semar
tiba-tiba. “Bingung apa toh Gong? Begitu menyenangkannya kehidupan
langit ini lo. Tidak ada lagi perang Paregreg atau Giyanti.” Semar
menanggapi dengan santai, sembari mengangkat satu kakinya dan menyantap
hidangan di depannya. “Sampean ini harusnya tanya tentang apa yang aku
pikirkan hingga membuat otak kecilku kebingungan,” ucap Bagong dengan nada agak
kesal karena keluhannya tak ditanggapi serius. “Ya sudah, memangnya apa yang
membuatmu bingung Gong?” Kali ini Semar mulai duduk bersila dan berhenti
menyantap hidangan, lalu menatap Bagong dengan serius. Kewibawaannya pun muncul.
“Jadi begini
lo, aku melihat apa yang terjadi di bumi ini memang tak separah dahulu
ketika ada peperangan seperti pada akhir masa Majapahit. Mungkin peperangan itu
sudah purna. Tapi apa yang aku amati, terutama bumi nusantara itu sedang
mengalami ketidakjelasan arah. Gengsi mereka seperti menjadi pakaian yang wajib
untuk dipakai. Uang itu benar-benar menjadi berhala yang menyesatkan. Jabatan
seolah menjadi tujuan mutakhir untuk menikmati hidup. Bahkan, agama Muhammad
yang dibawakan para wali mulai terasa tabu. Pertengkaran antar sesama mereka
juga tak kunjung usai. Memang bukan perang, tetapi kebencian di antara satu
sama lain selalu terlihat. Bahkan, manusia-manusia itu tak tahu alasan mereka
untuk saling membenci.” Panjang lebar Bagong mengungkapkan keluh kesahnya
tentang negeri Nusantara.
Semar sedari
tadi memang serius mendengarkan apa yang dikatakan Bagong. Ia menghembuskan
nafasnya sejenak, tersenyum pendek kepada Bagong, lalu berkata, “Yah,
begitulah keadaanya. Kau pikir aku tidak menyadarinya? Mereka mudah membenci, mudah
terhasut, mudah menyalahkan, sementara mereka memiliki kebenarannya
masing-masing.” Singkat saja Semar menanggapi.
“Jadi bagaimana mereka seharusnya bersikap?” Tanya Bagong.
“Seharusnya mereka mau menanggalkan ego
mereka dan saling duduk bersama. Antara tokoh-toko nya, pemimpin-pemimpinnya,
ulama-ulamanya. Sementara sekarang ini, mereka hanya bertengkar tanpa mau
berbicara bersama. Mereka seperti berperang di dunia lain?” Jawab Semar.
“Hah, dunia lain? Dunia media sosial
yang sampean maksud?” Bagong mencoba menebak.
“Nah itu!” Semar membenarkan.
Hari itu, kayangan
tetap pada kedamaiannya. Di antara awan dan langit yang mengelilingi, tempat
itu seakan menjadi serpihan surga yang selalu mengamati apa yang terjadi di
bumi.
Sumber gambar : dokumentasi penulis |
Hasan
Al-Banna
Mahasiswa International University of
Africa
0 Comments
Posting Komentar