![]() |
Pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, tentu
sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang berupa letak geografis,
pendidikan, juga tak terlepas dari sumber hukum yang ada. Imam Abu Hanifah
dikenal sebagai Ulama Al-Ra’yi, yang mana dalam menetapkan hukum
Islam banyak menggunakan nalar, baik yang diistinbatkan dari Al-Qur’an atau
Hadis.
Dari keterangan di atas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam
menetapkan hukum syarak yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy
(tetap dan jelas hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis) menggunakan ra’yu yang
dipengaruhi oleh perkembangan situasi di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah
sebagai kota tempat tinggal Rasulullah saw.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwasanya Imam Abu
Hanifah berijtihad untuk mengistinbatkan hukum apabila suatu masalah tidak
terdapat hukum yang qath’iy atau masih bersifat dzanni. Beberapa
dasar dan sumber yang Imam Abu Hanifah gunakan dalam mengistinbatkan hukum
adalah dengan berpedoman pada:
1. 1. Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber hukum yang paling utama. Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang tertulis dalam
mushaf berbahasa Arab, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan
membacanya mengandung nilai ibadah, serta dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An-Nas.
Di sini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan
sendi syariah dan tali Allah yang kokoh. Bersifat universal yang seluruh hukum
kembali padanya dan tidak ada satu sumber hukum apa pun, melainkan harus tunduk
padanya.
2. 2. As-Sunah
Kata سنة berasal dari kata سنة-يسن-سن secara etimologi berarti cara yang bisa
dilakukan, baik itu merupakan cara adalah sesuatu yang baik atau buruk. Sunah
dalam istilah ulama ushul adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat
Nabi. Sedangkan sunah dalam istilah ulama fikih adalah sifat hukum bagi suatu
perbuatan yang dituntut untuk melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak
pasti, dengan pengertian diberi pahala jika melakukannya dan tidak berdosa
tidak melakukannya.
Menurut Imam Abu Hanifah, sunah berfungsi sebagai penjelas dan
perinci kandungan Al-Qur’an yang mujmal sebagaimana fungsi Nabi saw
menyampaikan wahyu yang diturunkan padanya, menjelaskan dan mengajarkan.
3.
3. Aqwal as Shahabat
Fatwa-fatwa sahabat (Aqwal al Shahabat) dijadikan Imam Abu
Hanifah sebagai sumber pengambilan atau penetapan hukum. Ia tidak mengambil
fatwa dari kalangan tabiin, karena para tab’in dianggap sebagai ulama,
sedangkan ia juga merupakan seorang ulama. Pendapat para sahabat diperoleh
dari talaqy dengan Rasulullah saw, bukan hanya berdasar pada
ijtihad semata. Diduga, para sahabat tidak mengatakan itu sebagai sabda Nabi,
karena jika salah berarti berdusta atas Nabi.
4.
4. Qiyas
Secara etimologi, kata qiyas berarti قدر artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Sedangkan arti qiyas secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang
saling berdekatan. Salah satunya adalah pendapat Abu Zahrah yakni
“menghubungkan (menyamakan) hukum perkara yang tidak ada ketentuan nash-ya
dengan hukum perkara yang sudah ada ketentuan nash-nya karena terdapat
persamaan ‘illat hukum antara keduanya”.
Dari definisi di atas, maka Djazuli (2010) berpendapat bahwa para
ulama ushul menetapkan rukun qiyas menjadi 4 macam, yaitu:
1.
Ashal, yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi
tempat meng-qiyas-kan. Ashal ini harus berupa ayat Al-Qur’an atau
sunah, serta mengandung ‘illat hukum.
2.
Far’u, yaitu cabang atau sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya,
yaitu yang di-qiyas-kan, dan yang disyaratkan tidak memiliki hukum
sendiri, memiliki ‘illat hukum yang sama dengan ‘illat hukum yang
ada pada ashal, tidak lebih dahulu dari ashal, dan memiliki hukum
yang sama dengan ashal.
3.
Hukum
ashal, yaitu hukum syara’ yang di-nash-kan pada ashal,
kemudian menjadi hukum pula pada far’u yang disyaratkan bersifat hukum
amaliah. Pensyariatannya rasional, bukan merupakan hukum yang khusus (seperti
khusus untuk Nabi) dan hukum ashal yang masih berlaku.
4.
‘Illat hukum, merupakan sifat nyata tertentu yang berkaitan dengan ada
dan tidak adanya hukum. ‘Illat hukum disyaratkan dapat diketahui dengan
jelas adanya dan dapat dipastikan terdapatnya ‘illat tersebut pada far’u.
‘Illatt merupakan penerapan hukum untuk mendapatkan Maqashid al
Syar’iyyah dan ’illat tidak berlawanan dengan nash.
5.
5. Istihsan
Secara bahasa kata istihsan adalah bentuk mashdar dari يستحسن-استحسن
-إستحسانا artinya menganggap sesuatu lebih baik,
adanya sesuatu itu lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah syara’
adalah penepatan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan
tersebut.
6. 6.
Ijma’
Secara bahasa ijma’ berasal dari bahasa arab yang
memiliki beberapa arti, di antaranya; ketetapan hati atau keputusan untuk
melakukan sesuatu dengan sepakat.
Sedangkan secara istilah syara’ adalah kesepakatan
para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap hukum syara’
yang bersifat praktis (amaly). Para ulama telah sepakat, tidak
terkecuali dengan Imam Abu Hanifah bahwa ijma’ dapat dijadikan
argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’.
7.
7. ‘Urf
Dilihat dari segi kata, ’urf berasal dari bahasa Arab yang berarti
sesuatu yang dikenal. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah sesuatu
yang sudah diyakini menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan melekat
dalam urusan-urusan mereka. Para ulama sepakat apabila ’urf bertolak
belakang atau bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, maka ’urf
tersebut tertolak (tidak bisa diterima).
Sumber gambar : Fakultas Mendemologi
Suprianto
Mahasiswa University of The Holy Qur’an and Islamic Science
Referensi:
Hanafi, Muchlis Muhammad. 2013. Biografi Lima Mazhab: Imam
Abu Hanifah, Peletak Dasar-Dasar Fiqih Pendiri Mazhab Hanafi
0 Comments
Posting Komentar