![]() |
Sumber: freepik.com |
Oleh: Amanda Dheazeta*
Apa yang harus dipersiapkan ketika seseorang memasuki usia 25 tahun? Yang pasti fokus kita bukan lagi tentang baju tren atau checklist koleksi film terbaru. Ada baju yang bisa dipakai dan tidak lusuh saja sudah bersyukur, apalagi hanya sebatas tontonan update alias ‘udah ga banget deh musingin hal-hal begituan.’ Bayangan mengenai kehidupan adulting mulai tergambar jelas saat menginjak usia 20 tahun hingga seterusnya, lalu ketika mencapai puncaknya di usia 25 persoalan hidup terlihat semakin pelik dan melelahkan.
Kenyataan ini membangkitkan ingatan saya terhadap satu unggahan sensasional pada salah satu platform media sosial. Tepat seminggu lalu, ada konten menarik muncul di twitter dan sempat menjadi trending topic. Cuitan tersebut berisikan pencapaian pada usia 25 yang idealnya sudah memiliki tabungan 100 juta, mobil dan rumah. Hal ini sontak mengundang banyak perdebatan para netizen. Melihat kesejahteraan warga Indonesia yang masih di bawah rata-rata, dalam artian jumlah orang kaya hanya 1000 dari sekian juta penduduk Indonesia menjadikan para sobat misqueen yang hanya mampu beradu di media sosial ini mencerca habis-habisan tweet tersebut.
Beberapa dari mereka melontarkan cuitan balasan bernada sarkas seperti, “Umur 25 sih idealnya jadi orgil (orang gila)” atau “Umur 25 punya mental yang baik aja udah bagus, gausah muluk-muluk,” bahkan ada yang menjadikannya jokes receh seperti, “Umur 25, I eat all the time. Because 25 is selawe, means selak luwe”. Hahaha, ada-ada saja ulah netizen satu ini. Terlepas dari reaksi di atas, usia 25 mau tidak mau sudah menjadi momok menakutkan karena berkaitan dengan akan dibawa ke mana hidup kita kedepannya.
Barangkali ketakutan itu hadir karena di usia 25 kita sudah mengalami fase a quarter life crisis, di mana segala aspek kehidupan mendadak berada pada klimaks kekhawatiran. Bagaimana kita memandang diri sendiri 5 tahun kedepan, akan jadi orang seperti apa kita kelak, berapa gaji yang akan kita peroleh, akankah ada seseorang yang bisa kita jadikan pasangan nantinya, dan beribu keresahan lainnya. Perasaan tersebut hampir dialami semua orang tak terkecuali Sisca Kohl, yang tentu saja dengan bentuk pertanyaannya berbeda, karena ia adalah cucu dari salah satu orang terkaya di Indonesia.
Pertanyaan yang muncul mungkin seperti bagaimana cara menginvestasikan uang karena sadar ia masih tergolong muda dan rentan menghamburkannya (walaupun sudah pasti hartanya tidak akan habis juga). Perbedaan yang sungguh signifikan jika dibandingkan dengan rakyat jelata yang hanya memiliki uang 20 ribu sudah bingung hendak dibelikan nasi warteg atau bensin. Keduanya merupakan pilihan yang cukup sulit karena menyangkut kelangsungan hidup mereka pada hari itu. (Kalau saya sih, lebih baik dibelikan bensin saja. Urusan makan bisa numpang di rumah teman dulu, hehe).
Baiklah, hal demikian kerap terjadi dan secara tidak langsung dapat memengaruhi semangat hidup kita. Keluhan semacam “hidup kok ya gini amat” seringkali berseliweran memenuhi rongga kepala. Ditambah ketika melihat teman seusia kita yang sudah mencapai suksesnya, sedangkan hidup kita terkesan hanya begini-begini saja membuat rasa insecure semakin sering hinggap.
Padahal jika dipikir dengan kepala dingin, kita seharusnya tidak perlu berlebihan menanggapi, toh permulaan start setiap orang berbeda, yang tentu akan berimbas kepada garis finish kehidupan yang berbeda pula. Tapi agaknya memang susah betul bersikap tenang mengandalkan kalimat bijak tanpa menyertakan kegundahan di dalamnya. Lantas, sikap apa yang harus kita upayakan?
Ada dua senjata yang selama ini sedikit ampuh untuk mengurangi rasa anxiety saya ketika memikirkan perkara hidup. Pertama yaitu milikilah sikap yang baik atau good behavior. Ketika kita tidak bisa dikenal sebagai orang yang sukses, setidaknya kita dianggap sebagai orang yang baik. Berbaurlah dengan orang-orang dari berbagai kalangan dan dengarkan kisah hidup mereka.
Menjadi pendengar yang baik bisa jadi pilihan tepat, sebab semua orang merasa senang apabila didengarkan. Ringan tangan dalam membantu juga bisa menumbuhkan apresiasi yang tinggi terhadap sesama manusia. Setidaknya dengan menjadi baik, keberadaan kita dapat diakui serta dibutuhkan. Kendati demikian, jika kita mau berusaha lebih keras dan bisa merangkap menjadi orang sukses sekaligus orang baik, ya kenapa tidak?
Kedua, berhentilah bersikap naif. Kita boleh merancang mimpi setinggi mungkin, tapi harus tetap disertai pengorbanan dibaliknya. Jangan hanya mengandalkan keberuntungan semata atau berharap kesuksesan datang secara cuma-cuma, karena dunia itu keras bak medan tempur. Kita akan mendapati beragam rintangan dan watak seseorang yang bermacam-macam.
Tak bisa dipungkiri bahwa apabila ada orang yang disebut baik, maka disitu juga ada orang dengan perangai buruknya. Demikianlah kita diharapkan hidup dengan memiliki prinsip dan selalu meningkatkan kewaspadaan. Dunia bukanlah cerita dongeng yang hanya berisikan kebaikan saja, jadi carilah pengalaman seluas mungkin agar kedepannya kita tidak menjadi pribadi yang polos-polos amat.
Intinya, dibalik bisingnya bahasan usia 25 ini, perihal ini jangan sampai mengacaukan kita hingga tak sempat mensyukuri nikmat yang ada. Hidup dibawa santai sajalah, nanti juga akan kelihatan hasilnya (syarat dan ketentuan berlaku). Chill!
*Mahasiswi International Univesity of Africa
1 Comments
uda cantek baek lagi. parah si dhea wkwk
BalasHapusPosting Komentar